Cegah Mafia Tanah, Kementerian Agraria Digitalisasi Dokumen Pertanahan

Semua arsip pertanahan dan alas hak berupa fisik akan dilakukan digitalisasi secara bertahap.

Tempo

Jumat, 23 April 2021

JAKARTA --- Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melaku­kan transformasi digital di bidang pertanahan dengan mendigitalkan semua arsip dan alas hak berupa fisik (warkah) secara bertahap. Saat ini, digitalisasi diprioritaskan untuk aset­-aset milik negara dan peme­rintah daerah. Lewat digitalisasi semua bidang tanah akan divali­dasi buku tanahnya, beserta perubah­an-perubahannya.

Tenaga Ahli Menteri Agraria/Kepala BPN Bidang Hukum dan Litigasi, Iing Sodikin Ari­fin mengatakan, cepat atau lambat Kemente­rian Agraria akan kewalah­an mengumpulkan alas hak berupa fisik yang jumlahnya jutaan bidang tanah dan berisiko rusak atau rapuh termakan usia.

“Sementara, arsip pertanahan merupakan arsip hidup yang sewaktu-waktu digugat di pengadilan karena sistem publikasi di Indonesia stelsel negatif bertendensi positif (Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA jo. Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997),” kata dia, pada awal April 2021. 

Tak hanya itu, Iing mengimbuhkan, digitalisasi juga diharapkan bisa meng­antisipasi gerak mafia tanah. Menurut dia, mafia tanah selama ini bisa bergerak bebas karena bekerja sama dengan oknum orang dalam Kementerian ATR/BPN dengan mengambil warkah­-warkah asli yang ada di kantor pertanahan, sehingga pada saat terjadi sengketa di pengadilan, pihak BPN sering kalah sedangkankan pihak mafia menang, karena warkahnya hilang.  

“Jadi, mau tidak mau harus berbasis digital, supaya penyalahgunaan wewenang oleh petugas Kementerian ATR/BPN tidak terjadi lagi, karena harus masuk ke sistem yang sudah terlindungi dan butuh validasi untuk mengaksesnya,” tutur Iing.

Apalagi sekarang, posisi dokumen digital atau alat bukti digital telah diperkuat dan bisa dipakai sebagai alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 147 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo. Pasal 84 PP Nomor 18 Tahun 2021.

Iing mengungkapkan, banyak mafia mengguna­kan data alas hak lama berupa girik, kekitir, pipil, verponding Indonesia, surat keterangan tanah, grosse akte van eigendim, dll yang dimanipulasi de­ngan menggunakan ­blangko lama, namun dengan tulisan dan stempel baru.

Berdasarkan data Kementerian Agraria, jumlah kasus kejahatan pertanahan yang ditangani pada periode 2018 - 2020  sebanyak 188 kasus, melebihi target 183 kasus. Kasus-kasus tersebut ditangani di BPN dengan status K1 (selesai) sebanyak 48 kasus, K2 (surat penyelesaian kasus ke kantor wilayah BPN provinsi) 62 kasus, K3 (bukan kewenangan BPN) 21 kasus, dan dalam proses 13 kasus.

Sedangkan jumlah penanganan kasus berdasarkan kriteria penyelesaian oleh polisi atau aparat penegak hukum terdiri dari, penyelidikan 38 kasus, penyidikan 44 kasus, ditetapkan tersangka  44 kasus, diterbitkan surat perintah penghentian penyidikan 15 kasus, P19 (pengembalian berkas perkara untuk dilengkapi) 11 kasus, dan P21 (hasil penyidikan sudah lengkap) 54 kasus.

Dalam pengujian dokumen palsu di Kepolisian, pihak kepolisian sudah mempunyai metodenya, yang hasilnya disampaikan dalam bentuk laporan Labkrim.

Di sisi lain Dia menimpali, berdasarkan Pasal 41 ayat (3) UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, untuk memberikan kajian terkait dokumen palsu, bahwa arsip senantiasa harus dilihat dari sudut struktur (structure), isi (content), dan konteks (context). Dari sisi struktur (structure) suatu arsip, meliputi: Kop Surat, Logo Organisasi, Nomor Surat, Kertas, Tinta, Paraf, Tanda Tangan, dsb. Dari sisi isi (content) meliputi : bahasa atau ejaan, dan dari sisi konteks (context) dengan cara membandingkan dengan arsip/dokumen lainnya.

Dari sisi akademis, girik palsu bisa dideteksi dengan ilmu history opinion. Ia mengatakan, Louis R. Gottschalk seorang filosif asal Prancis dalam bukunya Understanding History menyebutkan suatu dokumen dapat diuji dari sisi material/esktern (kertas, tinta, tanda tangan, stempel, dan sebagainya), dan  substansi/intern (isi, bahasa, ejaan, tanggal, dan sebagainya). Dari pengujian tersebut dapat diketahui tahun pembuatan girik palsu tersebut.

“Contoh penyelesaian kasus girik palsu adalah yang dilakukan Kapolda Banten dengan menyita girik palsu,  termasuk peta rincian asli, dari seorang pensiunan Kantor Pelayanan Pajak Pratama dan pegawai harian Ditjen Pajak untuk diperjualbelikan kepada masyarakat dan mafia tanah,” ucapnya.  

Karena itu, dia menambahkan, arsip­-arsip atau warkah­-warkah di Kementerian ATR/BPN akan dibuat dalam bentuk digital.  Iing memastikan pemerintah akan memikirkan faktor keamanan supaya dokumen digital terhindar dari peretasan.

Hal yang sudah mulai di­lakukan adalah menerbitkan sertifikat hak tanggungan elektronik sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik.

Dari segi pelayanan, digital­isasi juga sangat membantu masyarakat, apalagi di masa pandemi Covid­-19. “Tidak mungkin datang bawa fisiknya, diperiksa, khawatirnya di situ ada ­virus. Mungkin secara bertahap, tidak sekaligus, daerah-daerah yang sudah lengkap, semua warkah divalidasi secara bertahap,” ujarnya.

Penggunaan sertifikat hak tanggungan elektronik, dia mengklaim, sudah banyak memberikan manfaat karena masyarakat tidak perlu lagi mengantre di pelayanan Kantor Pertanahan. Sertifikat elektronik juga sudah diterima oleh perbankan (kreditur) dan notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah, hal ini senada juga dengan visi Presiden “Dilan” Digital Melayani.

“Yang jadi masalah ialah penafsiran terhadap Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2021 mengenai sertifikat elektronik.  Pada Pasal 6 ada asumsi pemerintah akan menarik semua sertifikat konvensional di masyarakat secara serentak. Asumsi itu muncul karena kurangnya sosialisasi, komunikasi, serta kepercayaan kepada BPN,” kata Iing.

“Tanpa validasi digital, ya, gak mungkin. Kemudian data par­sialnya, pemetaannya, juga harus divalidasi. Bagaimana tanah yang belum di-landing­-kan, jangan sampai orang me­ngalihkan tanah itu tidak tahu letak tanahnya.  Karena itu semua bidang tanah harus di-landing-kan dalam peta pendaftaran,” ia mengungkapkan.  

Iing memaparkan, dalam proses digitalisasi semua data fisik maupuan data yu­ridis yang paling baru divalidasi terlebih dulu, ke­mudian diberikan kode batang (barcode).  “Itu yang sekarang dilakukan. Semua Kantor Pertanahan, pelayanan, SKPT (Surat Keterangan Pendaftaran Tanah), maupun pengecekan, sudah menggu­nakan sistem digital.”

Inforial

Berita Lainnya