Sang Kiai, Sang Pencerah, dan Sang Liyan

Mohammad Afifuddin,
MAHASISWA PASCASARJANA SOSIOLOGI FISIPOL UGM

Seorang kawan yang kebetulan santri tulen merasa tidak puas setelah menonton film Sang Kiai. Katanya, suasana yang digambarkan dalam film itu kurang kental ciri pesantrennya. "Enggak terasa girah pesantrennya," katanya sambil menunjukkan mimik muka kecewa. Pada waktu hampir bersamaan, salah seorang santri lain berkisah di laman Facebook-nya perihal pokok serupa. Agak detail dia merinci sisi-sisi minus film garapan Rako Prijanto itu. Intinya, riset historisnya relatif dangkal, dan cara para pemainnya dalam melafalkan ayat suci Al-Quran kurang fasih. Namun yang menarik adalah komentar kawan lainnya yang tidak pernah nyantri tapi gemar menganalisis film. Katanya, "Kok enggak ada adegan ngudut (merokok), ya? Kiai-kiai NU kan terkenal gemar ngudut."

Ya, itulah resepsi karya seni. Seperti halnya resepsi karya sastra, resepsi atau apresiasi terhadap film pun mutlak bernada subyektif. Namun saya tak hendak memperpanjang perdebatan soal persepsi. Bertolak dari sudut pandang lain, saya berniat menelusuri sisi ekstrinsikalitas (dimensi ekstrinsik/sosial-politik-kultural) film Sang Kiai, terutama jika dikontekstualisasi bagaimana narasi sejarah bangsa selama ini disusun dan disosialisasi.

Minggu, 7 Juli 2013

Mohammad Afifuddin,
MAHASISWA PASCASARJANA SOSIOLOGI FISIPOL UGM

Seorang kawan yang kebetulan santri tulen merasa tidak puas setelah menonton film Sang Kiai. Katanya, suasana yang digambarkan dalam film itu kurang kental ciri pesantrennya. "Enggak terasa girah pesantrennya," katanya sambil menunjukkan mimik muka kecewa. Pada waktu hampir bersamaan, salah seorang santri lain berkisah di laman Facebook-nya perihal pokok serupa. Agak detail dia merinc

...

Berita Lainnya