Paradoks Demokrasi Santun Prabowo Subianto

Prabowo menginginkan demokrasi santun tanpa caci maki. Pembatasan kritik dapat mengikis demokrasi. 

 

Tempo

Rabu, 23 Oktober 2024

PIDATO inaugurasi Prabowo Subianto di hadapan 1.100 tamu undangan pada Ahad, 20 Oktober 2024, mencerminkan kekeliruan logika seorang kepala pemerintahan memaknai demokrasi. Kebebasan dan kritik yang dibatasi dalam sistem demokrasi justru dapat mengancam kualitas dan keberadaan demokrasi itu sendiri.

Prabowo menginginkan demokrasi santun khas Indonesia: minim permusuhan dan mengoreksi tanpa caci maki. Mantan menantu Presiden Soeharto itu menganut prinsip demokrasi sejuk dan damai. Sepintas tidak ada yang keliru dari pernyataan tersebut. Namun demokrasi yang diberi syarat ini dan itu justru mencerminkan kontradiksi yang dapat mengikis nilai-nilai demokrasi.

Pidato itu menyiratkan kehendak Prabowo memonopoli makna demokrasi. Demokrasi damai dapat diterjemahkan sebagai pelarangan berbicara dan protes demi menjaga ketertiban umum. Pada akhirnya, kesantunan dalam berdemokrasi hanya diukur dari kacamata penguasa. Monopoli makna demokrasi dapat menjustifikasi praktik-praktik otoritarianisme yang menolak pluralitas politik. Demokrasi seperti itu melahirkan demokrasi semu.

Prinsip utama demokrasi adalah kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat, yang memungkinkan adanya diskursus serta debat terbuka. Semua orang bebas berpartisipasi dalam politik, terlepas dari keyakinan dan aliran politik yang mereka yakini. Negara demokratis membiarkan warganya bebas mengkritik setiap kebijakan pemerintah yang menyimpang. Kritik yang tajam—betapapun sengitnya kritik tersebut—akan melahirkan tata kelola pemerintahan yang bersih.

Batas demokrasi adalah kritik. Sistem politik yang membatasi kritik, baik melalui sensor maupun eufemisme, bukanlah ciri-ciri negara demokratis, melainkan tanda-tanda menuju otoritarianisme.

Lee Morgenbesser, dalam bukunya yang berjudul The Rise of Sophisticated Authoritarianism in Southeast Asia, menyebutkan rezim otoriter dapat berevolusi dari waktu ke waktu untuk mempertahankan kekuasaan sambil seolah-olah terlihat demokratis. Sembari memakai atribut demokrasi, mereka mempraktikkan perilaku tiran, seperti menyensor kritik, untuk meredam perbedaan pendapat. Atas nama stabilitas, penguasa membatasi partisipasi politik.

Tanda-tanda Prabowo ingin meminimalkan perbedaan sesungguhnya sudah tampak saat ia merangkul partai politik ke dalam koalisi pendukung pemerintah. Hampir semua partai kini berada di belakang pemerintahannya. Tak mengherankan bila Kabinet Merah Putih menjadi ajang bagi-bagi kursi dan kekuasaan demi menampung kepentingan partai.

Sulit berharap partai yang telah memperoleh kursi menteri bakal mengkritik kebijakan pemerintah. Ketiadaan lawan politik atau oposisi akan menghilangkan pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif. Nihilnya pengawasan terhadap transparansi dan akuntabilitas pemerintah dapat melanggengkan korupsi serta berkontribusi terhadap kemunduran demokrasi.

Kemunduran demokrasi sesungguhnya mulai terjadi di era pemerintahan Joko Widodo. Salah satu penyebabnya adalah dominasi peran elite oligarki dalam kekuasaan Jokowi. Kelompok kaya dan berkuasa bahu-membahu mengkonsolidasikan kekuasaan untuk mempertahankan status quo. Ini terlihat mulai dari pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui revisi Undang-Undang KPK serta pengesahan Undang-Undang Mineral dan Batubara, Undang-Undang Cipta Kerja, dan Undang-Undang Ibu Kota Negara.

Setahun setelah Jokowi menjadi presiden, The Economist Intelligence Unit mencatat indeks demokrasi Indonesia di level 7,03 poin, tertinggi dalam sejarah sejak reformasi 1998. Hampir satu dekade kemudian, indeks demokrasi Indonesia melorot ke angka 6,53. Skor ini menunjukkan Indonesia berada dalam status demokrasi cacat.

Demokrasi santun tanpa caci maki, plus ketiadaan oposisi, akan menghilangkan proses checks and balances dalam pemerintahan Prabowo. Kontradiksi itu akan membuat kemunduran demokrasi makin menjadi-jadi.

Berita Lainnya