Beban Besar Kabinet Besar

Prabowo sedang membalas budi kepada pendukungnya. Sebagian calon menteri dan wakil menteri tak punya riwayat yang meyakinkan.

Tempo

Kamis, 17 Oktober 2024

SEJAK awal, tekad presiden terpilih Prabowo Subianto membentuk kabinet zaken hanyalah tebu di bibir. Alih-alih menempatkan para ahli untuk mengisi sebagian besar posisi di kabinetnya, Prabowo justru bakal memilih para politikus dan orang yang miskin kompetensi. Amburadulnya sejumlah kementerian kelak sudah bisa diperkirakan sejak sekarang.

Melihat sekilas saja kita bisa paham bahwa kabinet ini bertujuan mengakomodasi kepentingan politik. Wakil partai politik memenuhi kursi menteri dan wakil menteri ketimbang para teknokrat. Kompensasi politik Prabowo kepada pendukungnya ini akan berakibat buruk. Wakil partai yang duduk di kabinet tidak akan berfokus membantu presiden karena sarat konflik kepentingan. Mereka tidak hanya bekerja menjalankan perintah presiden, tapi juga memikirkan kepentingan partai.

Kesan bahwa Prabowo sedang membalas budi pun terlihat dari latar belakang para calon menteri dan wakil menteri. Sebagian tak punya riwayat yang meyakinkan untuk memimpin kementerian. Ketimbang mengurus negara, mereka mungkin akan lebih sibuk mengurus dirinya sendiri.

Alasan Prabowo membentuk kabinet besar agar para menteri fokus bekerja diragukan bakal tercapai. Alih-alih sukses menjalankan program, kabinet besar sudah barang tentu akan memboroskan anggaran. Masih mending jika penambahan anggaran tersebut untuk program yang berguna bagi rakyat. Penambahan jumlah anggaran yang nyata justru untuk belanja pegawai dan keperluan birokrasi.

Kelak, kabinet Prabowo diisi 48-50 menteri dengan tiap menteri memiliki satu-tiga wakil menteri. Selain menambah jumlah kementerian koordinator, Prabowo memecah sejumlah kementerian menjadi nomenklatur baru. Setidaknya ada 108 orang yang telah dipanggil Prabowo untuk mengisi posisi menteri, wakil menteri, dan kepala badan.

Penambahan jumlah gaji dan fasilitas tak hanya buat menteri dan wakilnya. Nanti di tiap kementerian baru akan ada pejabat eselon I dan pejabat lain di bawahnya. Juga staf khusus dan staf ahli, yang masing-masing punya staf juga. Selain anggaran untuk gaji dan fasilitas, ongkos perjalanan dinas dan tetek-bengek lain akan bertambah. Di tengah ruang fiskal yang sempit, penambahan jumlah kementerian dan lembaga kian memperberat beban anggaran.

Sialnya lagi, kabinet gemuk ini kemungkinan besar tak akan optimal bekerja, terutama pada satu-dua tahun pertama. Pemisahan atau penggabungan kementerian membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Perubahan struktur organisasi menuntut perubahan alokasi anggaran, rentang kendali, serta tanggung jawab. Juga, yang sederhana: perubahan kop surat dan plang kantor. Dalam tahun-tahun awal, kementerian akan lebih sibuk membereskan urusan internal ketimbang langsung tancap gas bekerja.

Di negara-negara maju, jumlah menteri tak sebanyak di kabinet Prabowo nanti. Baik presidennya dari Partai Republik maupun Partai Demokrat, Amerika Serikat punya 15 kementerian. Jerman juga cuma punya 15 kementerian. Cina, yang punya penduduk sekitar 1,4 miliar, memiliki 26 kementerian. Jumlah kementerian yang ramping tersebut justru efektif untuk mengurus negara.

Postur besar kabinet Prabowo justru menyiratkan bahwa pemerintahannya kelak tak efektif. Bagi-bagi kursi menteri juga menunjukkan bahwa Prabowo dalam menjalankan pemerintahannya akan cenderung berkompromi dengan kepentingan politik ketimbang mengakomodasi kepentingan publik.

Berita Lainnya