Alarm Perangkap Negara Berpendapatan Menengah

Indonesia bisa terjebak dalam perangkap negara berpendapatan menengah. Investasi tak diikuti infusi dan inovasi.

Tempo

Sabtu, 5 Oktober 2024

INDONESIA butuh mukjizat agar bisa lepas dari perangkap negara berpendapatan menengah atau middle-income trap. Menurut laporan Bank Dunia, Indonesia masuk dalam 108 negara berkembang yang masyarakatnya sulit mencapai pendapatan tinggi. Penyebabnya, pemerintah Indonesia mengandalkan strategi menggenjot investasi tanpa menciptakan inovasi. 

Ada empat kategori status negara dilihat dari produk domestik bruto (PDB) per kapita menurut Bank Dunia. Negara berpendapatan rendah jika nilai PDB sebesar US$ 1.035, negara menengah-bawah dengan PDB US$ 1.036-4.045, negara berpendapatan menengah-atas dengan PDB US$ 4.046-12.535, dan negara berpendapatan tinggi jika PDB di atas US$ 12.535. Indonesia masuk klasifikasi menengah dengan PDB per kapita US$ 4.940,5 pada 2023.

Kesulitan Indonesia naik tingkat menjadi negara berpendapatan tinggi adalah hilangnya daya saing dalam ekspor barang manufaktur. Ekspor Indonesia tidak mampu bersaing dengan negara-negara maju karena tak bisa memberikan nilai tambah untuk bahan baku. Menurut Bank Dunia, dengan melihat kondisi sekarang, Indonesia butuh 70 tahun untuk mencapai seperempat pendapatan per kapita Amerika Serikat. 

Selain daya saing, ekonomi Indonesia mandek karena pertumbuhan ekonomi tak dinikmati secara merata oleh setiap kelas masyarakat. Dalam lima tahun terakhir, jumlah kelas menengah turun dari 21 persen menjadi 17 persen karena pemutusan hubungan kerja marak di pelbagai sektor. Pembukaan impor untuk komoditas industri padat karya membuat produk dalam negeri tak bisa bersaing dengan barang murah dari luar negeri.

Sebaliknya, kenaikan nilai investasi dalam lima tahun terakhir dinikmati oleh orang kaya yang menjadi pengusaha karena terkonsentrasi di industri hulu yang padat modal, terutama sektor pertambangan. Penghiliran atau hilirisasi sumber daya mineral tak diikuti oleh industri turunan karena pemerintah berbangga dengan ekspor barang setengah jadi yang nilai tambahnya kecil.

Dalam bahasa Bank Dunia, setelah investasi, Indonesia belum beranjak ke tahap berikutnya dalam menghidupkan ekonomi, yakni infusi dan inovasi. Padahal, untuk menggenjot ekonomi, setelah investasi, sebuah negara mesti menyerap teknologinya melalui peniruan (infusion) yang melahirkan kreasi dan inovasi baru. Korea Selatan menjadi contoh negara yang memakai tahap investment, infusion, dan innovation dengan gemilang. Dengan tiga tahap itu, PDB Korea yang hanya US$ 504 pada 2001 melesat menjadi US$ 35.569 per kapita pada 2023.

Korea Selatan mengubah kebijakan ekonomi dari berbasis ekspor bahan baku dan industri ringan pada 1960-an menjadi industri berat pada 1970-an. Di tengah kekurangan modal dan sumber daya setelah perang, mereka membuka investasi asing besar-besaran pada kurun waktu itu. Mereka meniru dan menyerap teknologi dari investasi yang masuk tersebut untuk melahirkan inovasi sendiri.

Indonesia sebetulnya mencoba mengikuti tahap-tahap tersebut. Namun pemerintah lupa menciptakan iklim investasi di sektor lain setelah investasi sumber daya alam di hulu. Investasi industri ekstraktif dan hilirisasi sumber daya alam tak mendorong infusi karena teknologi dibawa dari negara asal, terutama Cina. Hilirisasi tak mendorong industri turunan yang memberikan nilai tambah dan lapangan pekerjaan.

Jika terus begini, selain pertumbuhan mandek, Visi Indonesia Emas 2045 akan menjadi pepesan kosong. Prabowo Subianto, sebagai presiden terpilih, perlu menyadari kekeliruan mendasar kebijakan ekonomi pemerintahan Presiden Joko Widodo ini, yang berfokus pada industri hulu seraya menghamburkan anggaran untuk proyek-proyek besar yang tak perlu semacam Ibu Kota Nusantara dan kereta cepat Jakarta-Bandung.

Pembangunan infrastruktur mesti dipilah yang mendorong efek ganda bagi ekonomi masyarakat secara keseluruhan, yakni energi bersih, perhubungan, telekomunikasi, dan teknologi digital. Paralel dengan itu, pemerintahan Prabowo yang dimulai pada 20 Oktober mendatang juga perlu menata kembali sektor pendidikan, kesehatan, dan layanan-layanan publik lain untuk mendorong sumber daya manusia Indonesia yang siap bersaing.

Akibat kesalahan pada era Jokowi itu, Prabowo tak perlu muluk mengejar status negara berpenghasilan tinggi. Nafsu ini, seperti ditunjukkan Jokowi dengan pelbagai kebijakan insentif dalam investasi, hanya berakhir memperkaya orang kaya. Tak ada gunanya PDB naik berkali lipat jika kekayaan berkumpul di 1 persen lapisan atas, sementara kelas menengah yang mendominasi jumlah penduduk Indonesia hidup merana akibat kehilangan mata pencarian.

Berita Lainnya