Menyokong Gerakan Kotak Kosong

Rekayasa "calon tunggal" merusak esensi demokrasi pilkada. Layak dilawan dengan "kotak kosong".

Zacharias Wuragil

Jumat, 4 Oktober 2024

PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) yang seharusnya menjadi pesta demokrasi rakyat kini berubah menjadi ajang transaksi kekuasaan di kalangan elite politik. Fenomena calon tunggal yang terus merebak menandakan adanya kemunduran demokrasi dan menguatnya oligarki hingga ke daerah.

Pilkada semestinya memberi ruang yang lebih luas bagi pilihan rakyat, bukan malah dikooptasi oleh kepentingan segelintir elite untuk mempertahankan kekuasaan. Faktanya, dalam pilkada pada November mendatang, sebanyak 35 daerah hanya memiliki satu pasangan calon. Padahal Mahkamah Konstitusi sudah melonggarkan ambang batas pencalonan kepala daerah.

Setelah ambang batas pencalonan kepala daerah diturunkan oleh Mahkamah Konstitusi, partai politik seharusnya terdorong untuk memperkuat demokrasi dengan mengajukan lebih banyak pasangan calon kepala daerah. Namun yang terjadi justru sebaliknya: partai politik makin terjebak dalam politik transaksional dengan ramai-ramai mengusung calon tunggal. Mereka merusak sistem kontestasi politik yang sehat—hal yang sangat penting dalam demokrasi.    

Di beberapa daerah, perlawanan terhadap rekayasa calon tunggal memang ada, tapi sering kalah oleh intervensi kekuasaan pusat. Di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, misalnya, koalisi penantang harus mundur meski sudah mendaftar di Komisi Pemilihan Umum. Calon tunggal yang tersisa adalah Annisa Suci Ramadhani, yang punya hubungan kekerabatan dengan Presiden Joko Widodo.

Jakarta pun hampir menyaksikan drama calon tunggal. Meski akhirnya muncul dua pasangan calon tambahan, kehadiran mereka tidak mencerminkan kompetisi yang sehat. Dinamika politik di Jakarta justru menggambarkan bahwa partai politik lebih berfokus pada mempertahankan kekuasaan ketimbang menyodorkan kandidat terbaik bagi rakyat.

Yang mengkhawatirkan adalah meningkatnya fenomena calon tunggal dari waktu ke waktu. Dalam pilkada 2015, hanya ada tiga daerah dengan calon tunggal. Jumlah ini naik menjadi sembilan calon tunggal pada pilkada 2017, 16 pada 2018, dan 25 pada 2020. Angka-angka ini menunjukkan bahwa ruang demokrasi makin menyempit dan rakyat makin kekurangan pilihan calon pemimpin.

Di tengah situasi ini, wajar muncul gerakan memilih kotak kosong. Gerakan ini merupakan simbol perlawanan terhadap kemunduran demokrasi. Para pemilih yang mendukung kotak kosong menolak suara mereka digunakan untuk mendukung demokrasi yang telah dimanipulasi. Mereka memilih kotak kosong daripada mendukung calon yang dipaksakan oleh elite politik perusak demokrasi.

Memilih kotak kosong adalah sikap politik yang sah dan dijamin undang-undang. Ini merupakan bentuk penolakan terhadap calon tunggal tanpa persaingan yang adil. Meski kemenangan kotak kosong berarti pilkada harus diulang dengan biaya tambahan, ini harga yang layak dibayar demi menjaga martabat demokrasi.

Karena itu, gerakan kotak kosong di berbagai daerah perlu disokong. Negeri ini memerlukan partai politik yang memiliki ideologi jelas dan mau berkompetisi secara sehat, dengan menyediakan banyak pilihan calon pemimpin daerah. Jika partai politik terus terjebak dalam politik transaksional, pilkada hanya akan menjadi ajang tawar-menawar atau bahkan saling sandera oleh segelintir elite.*

Berita Lainnya