Pengadil yang Mencari Keadilan

Para hakim di seluruh Indonesia berencana cuti bersama. Mereka menuntut kenaikan gaji yang tak mengalami perubahan selama sepuluh tahun.

Tempo

Selasa, 1 Oktober 2024

RENCANA mogok kerja massal berbungkus cuti bersama para hakim untuk menuntut perbaikan kesejahteraan harus mendapat perhatian serius Mahkamah Agung sebagai lembaga yang menaungi para pengadil. Walau bukan satu-satunya faktor, kenaikan gaji bisa menjadi pendorong untuk mewujudkan peradilan yang bersih dan adil. 

Gerakan cuti bersama ini dimotori oleh Solidaritas Hakim Indonesia. Per 27 September 2024, tercatat sudah lebih dari 1.300 dari total sekitar 7.700 hakim di Indonesia yang akan cuti selama lima hari kerja pada 7-11 Oktober 2024. Rencananya, sebagian hakim juga akan melakukan aksi solidaritas di Jakarta. Para hakim yang tak punya jatah cuti diminta mengosongkan jadwal persidangan pada periode tersebut. 

Aksi para hakim mogok bersama ini merupakan hal wajar. Yang penting penyaluran aspirasi tersebut tak mengganggu pencarian keadilan di pengadilan. Sejauh ini para hakim menjamin perkara yang penting dan mendesak tetap ditangani sesuai dengan prosedur. Artinya, hak para pencari keadilan tak lantas tersandera aksi hakim.

Sejak 2019, para hakim, melalui Ikatan Hakim Indonesia, sudah mendorong perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang mengatur soal gaji hakim. Mereka menempuh berbagai upaya resmi dan formal agar pemerintah memberikan perhatian serius terhadap kesejahteraan para hakim, tapi belum ada perhatian serius dari MA ataupun pemerintah.

Besaran gaji hakim saat ini dianggap tak layak karena tidak mempertimbangkan kondisi inflasi. Gaji hakim golongan III A atau golongan terendah hanya sekitar Rp 2,05 juta. Sedangkan hakim dengan masa kerja 32 tahun golongan IV E, atau golongan tertinggi, sebesar Rp 4,9 juta. Memang, di luar gaji pokok, mereka juga mendapat tunjangan senilai Rp 8,5-14 juta, bergantung pada kelas pengadilan tempat mereka bertugas. 

Besaran gaji mereka sangat timpang dengan gaji para hakim agung yang bisa memperoleh tunjangan jabatan senilai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Hakim agung juga mendapat hak honorarium penanganan perkara sebesar Rp 2,5 juta per perkara. Ketimpangan penghasilan hakim biasa dengan hakim agung ini tak boleh dibiarkan lebar. Bagaimanapun para hakim di pengadilan negeri ataupun tinggi merupakan ujung tombak penegakan keadilan. 

Harapan kita memiliki hakim yang berintegritas lebih sulit terwujud jika mereka masih bergelut memenuhi kesejahteraannya. Toh, hakim yang sudah mendapat penghasilan besar saja masih menerima suap. Tengok hakim agung Gazalba Saleh yang terbukti bersalah menerima suap Rp 37 miliar dalam peninjauan kembali kasus pungutan liar di Pelabuhan Samarinda dengan terdakwa Jafar Abdul Gaffar. Padahal dia bergaji pokok Rp 77 juta per bulan dan honorarium penanganan perkara yang besarnya bisa mencapai Rp 300 juta sampai Rp 1 miliar. 

Karena itu, peningkatan kesejahteraan hakim harus disertai perbaikan struktural secara kelembagaan agar kualitas putusan pengadilan menjadi lebih baik. MA boleh saja berbangga karena pada tahun lalu rasio produktivitas pemutusan perkara di pengadilan tingkat pertama pada empat lingkungan peradilan mencapai 97,75 persen. Tapi sejumlah putusan masih mengusik rasa keadilan. Misalnya, vonis bebas kasus pembunuhan Dini Sera Afriyanti oleh hakim Pengadilan Negeri Surabaya.

Hal lain yang tak kalah penting dalam memperbaiki kualitas hakim adalah memperkuat pengawasan. Tapi pengawasan sulit dilakukan jika Komisi Yudisial, sebagai lembaga pengawas hakim, masih menghadapi keterbatasan, baik dalam hal wewenang maupun jumlah personel. Padahal jumlah aduan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim yang diterima komisi ini naik, dari 1.062 aduan pada 2022 menjadi 1.592 laporan pada 2023. Di luar itu, MA sendiri harus menegakkan kode etik dengan lurus. Tak boleh ada maaf bagi hakim yang tercela agar memberikan efek jera kepada yang lain.

Kenaikan gaji memang tak bisa berdiri sendiri. Para hakim pun harus menyadari bahwa tuntutan tersebut harus dibarengi peningkatan integritas dan kinerja. Pada gaji yang besar, ada tanggung jawab yang lebih besar.

Berita Lainnya