Pekan Olahraga Amburadul

Buruknya penyelenggaraan PON XXI potret dari buruknya perhatian pemerintah dalam pembinaan olahraga. Kacau sejak awal.

Tempo

Kamis, 19 September 2024

PELBAGAI kekacauan dalam pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional XXI 2024 di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara sungguh memalukan. Dari perhelatan event olahraga setiap empat tahun tersebut, kita bisa mencari cara yang gampang melihat perhatian pemerintah dalam pembinaan atlet muda.

Panitia penyelenggara PON XXI, yang berlangsung pada 9-20 September 2024, mempertontonkan sejumlah kejadian yang tidak sepatutnya. Hingga menjelang pembukaan PON, pembangunan tempat pertandingan dan sekitarnya masih menjadi persoalan. 

Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, pemerintah daerah dan pusat tidak segera membangun akses yang layak dan nyaman ke venue pertandingan. Pengadaan transportasi pun seadanya. Para atlet itu hanya disediakan angkutan kota menuju tempat pertandingan. 

Lihat saja atlet cabang olahraga voli. Dari hotel tempat menginap, mereka harus mengikuti perjalanan berat menyerupai petualangan Benteng Takeshi. Setelah turun dari angkot, mereka mesti berjalan meniti balok sebagai jembatan dadakan untuk menutup jalanan berlumpur ke lokasi pertandingan sepanjang lebih-kurang 300 meter. 

Dua hari lalu, pertandingan di cabang olahraga menembak urung digelar lantaran atap gedung ambrol dihantam hujan deras. Beruntung, atap yang ambrol itu tidak mengenai orang, terutama atlet yang hendak bertanding. 

Begitu pula masalah konsumsi. Beberapa atlet mengeluhkan makanan yang datang telat. Selain itu, menu makanannya tak sebanding dengan anggaran yang diberikan, yakni sebesar Rp 50 ribu, dan dipukul rata. Padahal kebutuhan gizi atlet untuk setiap cabang olahraga bisa berbeda. 

Kejadian memalukan lain adalah soal sportivitas dalam pertandingan. Memang, tuan rumah biasanya mencari keuntungan dengan merekayasa pertandingan yang berat sebelah. Tapi apa yang dipertontonkan saat pertandingan sepak bola Provinsi Sulawesi Tengah versus Aceh itu benar-benar di luar nalar. 

Demi meraih kemenangan, wasit diduga berat sebelah kepada tim tuan rumah. Tercatat tiga kali wasit memberikan kartu merah kepada anggota tim Sulawesi Tengah. Namun, ketika pelanggaran dilakukan tuan rumah, pengadil lapangan tidak menerapkan hal yang sama. Situasi yang panas itu berakhir kala seorang pemain dari Sulawesi Tengah memukul leher wasit dan langsung membuatnya terkapar. Kericuhan di luar nalar yang lebih menyerupai pertandingan antarkampung alias tarkam. 

PON sejatinya dirancang untuk mencari atlet-atlet berprestasi yang dapat dikirim ke pesta olahraga regional hingga dunia. Dalam pembukaan PON pun Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa kegiatan ini bertujuan melahirkan lebih banyak calon peraih medali emas di event yang lebih tinggi dan mampu memecahkan rekor dunia.

Alih-alih bisa mencari atlet-atlet yang bersinar, PON hanya menjadi ajang penghamburan uang negara. Anggaran PON XXI Aceh-Sumatera Utara 2024 mencapai Rp 3,94 triliun. Dari anggaran itu, Provinsi Sumatera Utara mendapat Rp 2,09 triliun, lebih besar dari Aceh yang memperoleh Rp 1,8 triliun. 

Anggaran yang besar itu tak sebanding dengan berbagai kekacauan selama pelaksanaan PON XXI. Kekacauan demi kekacauan yang memperlihatkan ketidaksiapan penyelenggara ini makin menegaskan bahwa pemerintah tidak sungguh-sungguh memperhatikan pembinaan olahraga.

Sudah seharusnya evaluasi menyeluruh dilakukan, bukan hanya kelayakan dua provinsi tersebut dalam menyelenggarakan multievent olahraga terbesar di Indonesia ini. Koordinasi yang dilakukan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga serta penggunaan anggaran negara juga mesti dievaluasi. Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo tidak boleh lepas tangan atas buruknya penyelenggaraan PON XXI ini. 

 

Berita Lainnya