Ketika Kartel Berebut Kursi

Perebutan Ketua Umum Kadin jadi pertarungan kartel untuk mendekat pada kekuasaan. Menegaskan hubungan gelap penguasa-pengusaha.

Tempo

Rabu, 18 September 2024

SUDAH berkali-kali perebutan nakhoda Kamar Dagang dan Industri atau Kadin Indonesia terjadi. Sesering itu pula kita melihat campur tangan politikus dan penguasa terhadap organisasi para pengusaha tersebut. Karena itu, siapa pun yang menang atau kalah dalam perseteruan tak bakal mengubah citra Kadin sebagai kartel pengusaha yang berkongsi dengan elite politik dalam memuluskan kepentingan masing-masing.

Drama terbaru berlangsung pada 14 September 2024 ketika Anindya Bakrie yang menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Indonesia menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa. Hasil persamuhan menetapkan Anindya, putra sulung politikus Golkar sekaligus tokoh Kadin, Aburizal Bakrie, sebagai ketua umum. Anindya mendongkel Arsjad Rasjid, yang mengalahkannya dalam pemilihan Ketua Umum Kadin dalam Musyawarah Nasional VIII pada 30 Juni 2021 di Kendari, Sulawesi Tenggara.

Kubu Anindya mengklaim musyawarah luar biasa digelar karena ada aspirasi dari pengurus daerah dan para anggota luar biasa yang menghendaki Kadin menjadi organisasi pengusaha yang "netral". Sebaliknya, kubu pendukung Arsjad menganggap musyawarah luar biasa tersebut sebagai kudeta karena tak sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Kadin. Perang klaim terus berlanjut hingga terjadi perebutan kantor Kadin oleh kedua kubu.

Pertikaian antara Arsjad dan Anindya menegaskan bahwa organisasi pengusaha di Indonesia tak pernah lepas dari konflik. Pada 1950-1960-an, ada dua organisasi yang masing-masing mengklaim sebagai wadah tunggal para pengusaha. Keduanya kemudian berkembang menjadi Kadin dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), meski pemerintah akhirnya hanya memberikan dasar hukum berupa undang-undang kepada Kadin. Di tubuh Kadin pun beberapa kali terjadi dualisme kepemimpinan, antara lain pada 2013 dan 2015, sebagai buntut perseteruan kandidat yang berlaga dalam pemilihan ketua umum.

Dalam konflik Arsjad dan Anindya, peran penguasa begitu kentara. Majalah Tempo menemukan peran Istana, sejumlah menteri, lembaga intelijen, dan polisi dalam memenangkan Arsjad pada Musyawarah Nasional Kadin di Kendari. Kini, giliran Anindya yang mendapatkan sokongan pemerintah, termasuk dari calon pemimpin yang bakal menggantikan rezim saat ini. Karena itu, siapa pun yang memimpin Kadin tak akan bisa merdeka dari kepentingan pemerintah. Simbiosis itu pada akhirnya memperkuat hubungan gelap penguasa-pengusaha.

Ketika kepentingan penguasa dan pengusaha berkelindan, publik justru terancam. Para pengusaha bakal makin leluasa dalam berburu akses terhadap sumber daya ekonomi, termasuk dengan mempengaruhi pemerintah dalam menentukan kebijakan publik. Penguasa cenderung menikmati posisi tersebut karena bisa terus mendapatkan dukungan kapital untuk mengukuhkan kekuasaannya. Maka, siapa yang bisa menjamin pemerintah akan menempatkan kepentingan publik di atas kehendak pemodal yang menjadi pendukungnya.

Sudah banyak contoh keputusan pemerintah yang berpihak pada kehendak pengusaha dan mengesampingkan kepentingan publik. Undang-Undang Cipta Kerja adalah contoh regulasi yang lahir dari kepentingan pengusaha cum investor, yang digadang-gadang akan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Padahal undang-undang ini berpotensi menimbulkan berbagai kerusakan, dari tergerusnya perlindungan lingkungan dalam berbagai proyek investasi, tata kelola yang rendah karena regulasi yang diterabas, hingga pelanggaran hak pekerja karena sistem pengupahan yang tak adil.

Karena itu, kita tak bisa berharap peralihan kepemimpinan Kadin akan bermanfaat bagi publik. Yang ada hanyalah drama pertarungan kartel pengusaha yang berebut posisi untuk mendekat pada kekuasaan.

Berita Lainnya