Potensi Korupsi Denda Impor Beras

Tertahannya beras impor Bulog di pelabuhan menunjukkan buruknya tata kelola. Tutup ruang bagi kesalahan yang merugikan negara.

Tempo

Kamis, 15 Agustus 2024

SANKSI denda kepada Perum Bulog akibat tertahannya peti kemas berisi beras di sejumlah pelabuhan mengungkap kembali persoalan lama, yaitu karut-marutnya tata kelola impor bahan makanan pokok itu. Bukan sekadar persoalan teknis bongkar-muat, tertahannya peti kemas tersebut merupakan buntut perencanaan impor yang tak matang hingga ada indikasi penyelewengan dalam prosesnya.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mencatat terdapat 1.600 peti kemas berisi 490 ribu ton beras impor yang tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, dan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Dari laporan yang dikirim petugas pabean kepada Kementerian Perindustrian, barang-barang itu merupakan bagian dari 26.415 peti kemas yang tertahan di pelabuhan akibat melanggar aturan impor.

Akibatnya, Bulog terkena demurrage Rp 350 miliar karena peti kemas itu tertahan sejak awal tahun ini. Demurrage adalah denda yang harus dibayar oleh pemilik barang kepada pemilik peti kemas dan pelabuhan karena melewati batas waktu pemakaian peti kemas di dalam pelabuhan.

Bulog berdalih bahwa keterlambatan bongkar-muat akibat masalah teknis, dari keterlambatan kapal hingga masalah cuaca dan hari libur. Namun, menurut laporan pabean, peti kemas berisi beras impor itu tertahan karena masalah dokumen impor. Komisi Pemberantasan Korupsi juga tengah menyelisik persoalan ini setelah menerima aduan dari sebuah lembaga yang menyebutkan tertahannya beras impor di pelabuhan berhubungan dengan dugaan proses pengadaan dari Vietnam yang bermasalah, antara lain karena penggelembungan harga.

Persoalan ini tak perlu terjadi seandainya Bulog memiliki proses perencanaan hingga teknis pengadaan beras impor yang baik. Demurrage menjadi beban tambahan dalam pengadaan beras yang pada akhirnya harus ditanggung oleh Bulog dan menjadi kerugian negara. Terutama karena beras impor tersebut akan dijadikan cadangan beras pemerintah untuk program penstabilan harga. Masalah semacam itu kemungkinan besar terulang karena Bulog masih akan mengimpor beras untuk menutup kekurangan produksi yang mencapai 4 juta ton hingga akhir tahun ini.

Dengan mekanisme pengadaan yang bermasalah, bagaimana mungkin Bulog bisa menjalankan tugasnya sebagai penstabil harga pangan, khususnya beras. Tak berhenti pada membengkaknya beban anggaran negara, impor beras yang bermasalah bakal berujung pada kelangkaan pasokan dan kenaikan harga. Bulog seperti hendak mengulangi kesalahan pada akhir 2023 hingga awal tahun ini ketika pasokan beras menghilang dan harga melambung hingga mendekati 50 persen di sejumlah daerah.

Karena itu, pembenahan tata kelola perberasan nasional mutlak diperlukan. Koordinasi antarlembaga, dari Kementerian Pertanian, Badan Pangan Nasional, hingga Bulog selaku pelaksana teknis, harus diperbaiki. Tanpa adanya kerja sama yang solid, proses pendataan, perencanaan pengadaan, hingga pembelian beras, baik dari petani maupun dari pemasok di luar negeri, bakal terus bermasalah. Keputusan untuk mengimpor pun tak boleh lagi terlambat, mengingat pasokan beras dari beberapa negara produsen tersendat dan harganya terus naik.

Di luar urusan perbaikan tata kelola, penegak hukum serius mengusut persoalan pengadaan beras impor yang sudah berkali-kali terjadi. Jangan memberi ruang pada kesalahan atau penyelewengan, seperti suap dan korupsi, dalam tata kelola komoditas pangan yang bakal merugikan negara serta membebani masyarakat.

Berita Lainnya