Hilang Akal Menahan Gelombang PHK Massal
PHK massal kembali terjadi di sektor industri manufaktur. Jumlah orang muda yang putus asa memperoleh pekerjaan meningkat.
Tempo
Senin, 5 Agustus 2024
KEKACAUAN regulasi kembali menjadi petaka bagi sektor industri manufaktur. Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sudah menimpa puluhan ribu pekerja diperkirakan terus berlanjut jika pemerintah tidak bergerak cepat merombak total pelbagai kebijakan yang menjadi benalu bagi pelaku industri dalam negeri. Salah satunya mengkaji ulang kebijakan pelonggaran impor sejumlah barang.
Tanda bahaya datang dari industri garmen dan alas kaki di Jawa Barat serta Jawa Tengah, yang memangkas ratusan pegawainya pada Juni-Juli 2024. Menurut catatan Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara, sejak awal 2024, sudah ada 13.800 pekerja di industri tekstil yang terkena PHK.
Data yang lebih miris disajikan oleh Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jawa Tengah. Ada 15 ribu buruh yang terkena PHK karena 10 pabrik tutup. Jumlahnya bisa lebih banyak karena tidak semua industri tekstil yang gulung tikar melapor ke asosiasi. Di Jawa Barat, data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan menunjukkan jumlah pegawai yang menjadi korban PHK mencapai 10.120 orang sejak Januari hingga Juni 2024.
Bukan hanya soal deretan angka jumlah pengangguran, pelbagai peristiwa PHK juga melahirkan persoalan yang tak kalah mengkhawatirkan, yakni besarnya jumlah orang yang putus asa memperoleh pekerjaan (hopeless of job). Badan Pusat Statistik mencatat jumlah orang berusia 15-29 tahun yang mengalami hopeless of job pada 2024 sebanyak 362.522. Kondisi buruk ini bisa menyebabkan anak muda mengalami frustrasi, putus asa, hingga depresi.
Meledaknya jumlah pengangguran akibat PHK massal merupakan buntut melemahnya daya beli masyarakat. Permintaan di pasar turun sehingga produsen terpaksa memangkas kapasitas produksi. Faktor lain adalah produk lokal kalah bersaing dengan barang impor ilegal.
Barang impor membanjir sejak pemerintah mengubah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Dengan aturan ini, barang impor murah bisa masuk dengan mudah ke pasar Indonesia, terutama tekstil dan alas kaki, keramik, serta kosmetik.
Peraturan pemerintah tentang impor barang sudah berkali-kali diubah, yang menjadi salah satu penyebab kekisruhan. Peraturan Menteri Perdagangan tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, misalnya, sudah diubah tiga kali. Semula aturan impor barang ini bernomor 36 tahun 2023, lalu diubah menjadi nomor 3 tahun 2024, nomor 7 tahun 2024, hingga terakhir nomor 8 tahun 2024.
Perubahan yang terjadi hanya dalam waktu tiga bulan itu menandakan tak ada koordinasi yang baik antara kementerian dan lembaga. Aturan diubah karena adanya protes dari berbagai pihak. Namun peraturan Menteri Perdagangan terakhir, yaitu nomor 8 tahun 2024, justru menuai kecaman dari industri tekstil karena memicu masuknya pakaian impor ke Indonesia secara besar-besaran.
Dengan aturan baru itu, importir umum jadi lebih bebas mendatangkan pakaian jadi dari luar negeri berbekal rencana impor dalam satu tahun. Pemerintah telah menghapus sejumlah syarat, dari kapasitas gudang penyimpanan, penjualan, hingga modal.
Membenahi aturan impor secepat mungkin bisa menjadi salah satu cara menyelamatkan industri manufaktur yang sedang sekarat. Tanpa langkah cepat, sama saja pemerintah membuat bom waktu yang bisa mengacaukan perekonomian nasional. Memang dalam membuat kebijakan tak bisa menyenangkan semua pihak. Pemerintah bisa memilih sektor industri prioritas yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Cara lain adalah menciptakan proyek-proyek padat karya. Ketimbang membuang anggaran besar untuk proyek Ibu Kota Nusantara, lebih baik pemerintah mengalokasikan belanja untuk membangun proyek infrastruktur di daerah yang bisa menampung tenaga kerja korban PHK.