Jalan Politik Menyelesaikan Sengketa Politik

Hak angket DPR melempem. Untuk menjaga demokrasi dan kepercayaan publik, partai harus membentuk oposisi.

Tempo

Kamis, 25 April 2024

GAGASAN penggunaan hak angket untuk menyelidiki kecurangan pemilihan presiden 2024 seperti bunga yang layu sebelum berkembang. Bergairah setelah pemilu usai pada 14 Februari lalu, redup setelah Mahkamah Konstitusi menolak gugatan sengketa pilpres dari kubu calon presiden Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo pada 22 April lalu.



Elite partai kedua kubu itu langsung menyatakan menerima putusan MK tersebut. Mereka terang-terangan menyatakan siap berkoalisi dengan kubu Prabowo Subianto yang kini sah menjadi presiden terpilih 2024-2029. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang paling aktif mengusung hak angket, menyerahkan penggunaan hak DPR menyelidiki kebijakan pemerintah itu kepada individu anggota fraksi.

Ini masa yang genting bagi partai-partai: menempuh jalan pragmatis berkompromi dengan kekuasaan ataukah beroposisi dengan pemerintahan baru. Menilik semangat mereka menyoalkan kemenangan Prabowo yang mereka anggap penuh pelanggaran etik dan hukum di MK, seharusnya partai-partai itu akan beroposisi dengan menolak masuk pemerintahan dan menjadi lawan tanding perumusan kebijakan pemerintah di DPR.

Harapan yang ideal ini tipis melihat rekam jejak partai politik di Indonesia. Tak punya ideologi yang kuat, sejumlah elitenya menghela partai sekadar kendaraan untuk berkuasa. Oposisi acap diasosiasikan dengan kesengsaraan akibat tak kebagian kue proyek negara. Elite politik kita belum sampai pada pemahaman bahwa partai sebagai mesin utama demokrasi yang mesti mewujudkan keseimbangan kekuasaan.

Tak mengherankan, meski pengacara partai dan calon presiden menggugat kemenangan Prabowo ke MK, sejumlah elitenya tak sungkan membicarakan adanya kemungkinan berkoalisi dan berbagi kursi menteri di pemerintahan mendatang. Mereka tak ragu menyoalkan etika di sidang MK seraya menodai etika dalam berpolitik. Gugatan hukum malah menjadi alat negosiasi berbagi kuasa.

Watak pragmatisme partai ini punya daya rusak yang serius. Pada periode kedua kekuasaannya, Presiden Joko Widodo leluasa mempraktikkan legalisme otokratik karena disokong koalisi besar 80 persen anggota DPR. Dengan dukungan DPR, ia bisa mengebiri Komisi Pemberantasan Korupsi, membuat omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja yang berpihak pada investasi yang merusak lingkungan, hingga mengantarkan keinginannya memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur meski membebani anggaran.

Jalan kompromistis elite partai dengan kekuasaan sesungguhnya menodai kepercayaan pemilih mereka dalam pemilu. Jika digabungkan, pendukung Anies dan Ganjar sebanyak 42 persen dari 204,8 juta pemilih. Sedangkan perolehan kursi partai pendukung keduanya di DPR sebanyak 300 kursi atau 51,7 persen.

Jumlah kursi di DPR itu cukup menjadi oposisi yang bermakna bagi koalisi pemerintahan Prabowo Subianto. Kekuatan oposisi akan menjadi penyeimbang pemerintah sehingga legalisme otokratik seperti yang dilakukan Jokowi bisa dicegah. Suara publik yang tak memilih Prabowo akan tersalurkan melalui DPR. Dengan begitu, partai tak akan dicap sebagai pengkhianat dan bisa mengembalikan demokrasi Indonesia yang merosot dalam sepuluh tahun terakhir.

Jika jalan hukum melalui MK gagal, saatnya partai-partai memakai jalan politik membereskan urusan politik. Kecurangan pemilu, penyalahgunaan anggaran negara, serta cawe-cawe kekuasaan melanggengkan dinasti adalah problem politik yang membalikkan arah reformasi. Memakai hak angket dan menjadi oposisi adalah cara politik menyembuhkan luka demokrasi yang kadung menganga.

Berita Lainnya