Jangan Jadi Komisi Politisasi Korupsi
Ketua KPK Firli Bahuri disebut-sebut memaksakan pengusutan kasus Formula E tanpa bukti memadai. Pertanda KPK telah menjadi Komisi Politisasi Korupsi?
Tempo
Senin, 26 Desember 2022
UPAYA Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri memaksakan pengusutan kasus Formula E membuktikan kerisauan banyak kalangan ihwal rontoknya independensi lembaga antirasuah tersebut. Sejak dilemahkan lewat revisi undang-undang pada akhir 2019, gejala bahwa KPK semakin terpolitisasi kian nyata saja.
Dalam gelar perkara kasus Formula E di Gedung KPK pada pertengahan Desember lalu, Firli meminta status kasus Formula E dinaikkan dari tahap penyelidikan ke penyidikan tanpa menunggu adanya tersangka. Padahal, selama ini, kasus dugaan korupsi di KPK biasanya naik ke penyidikan bersamaan dengan penetapan tersangka yang didasari sedikitnya dua alat bukti.
Kekompakan tim penyelidik dan penyidik KPK yang menolak permintaan Firli layak mendapat acungan jempol. Apalagi, meski tidak disokong penuh oleh semua pimpinan KPK, permintaan Firli juga didukung setidaknya oleh dua pimpinan KPK lainnya. Meski didesak Firli, tim penyelidik dan penyidik berkukuh bahwa tudingan korupsi pada perhelatan balapan mobil listrik di Jakarta itu belum cukup bukti untuk dinaikkan ke tahap penyidikan.
Andai saja cukup bukti, publik layak mendukung agar kasus Formula E naik ke tahap penyidikan. Siapa pun yang terlibat, tak peduli jabatan dan status politiknya, harus diseret ke jalur hukum agar bisa dimintai pertanggungjawaban. Namun, manakala pimpinan KPK memaksakan pengusutan kasus Formula E tanpa bukti yang memadai, kemunculan syak wasangka sulit dicegah.
Maka, jangan salahkan publik yang menyangka penyidikan kasus Formula E merupakan bagian dari agenda politik untuk menjegal Anies Baswedan, gubernur penggagas Formula E di Jakarta yang hendak maju dalam pemilihan presiden pada 2024. Selama ini, Anies telanjur dipersepsikan sebagai figur paling potensial untuk menantang calon presiden yang bakal didukung Presiden Jokowi dan PDI Perjuangan. Karena itu, ketika pengusutan kasus Formula E mengarah ke peran Anies, kecurigaan akan adanya politisasi kasus tersebut tak terhindarkan.
Alasan Firli, yang mengacu pada praktik di kepolisian dan kejaksaan bahwa pengusutan perkara bisa dinaikkan ke tahap penyidikan tanpa adanya tersangka, juga mencurigakan. Kita tahu, KPK pada mulanya lahir sebagai koreksi atas kebobrokan di kedua lembaga penegak hukum tersebut. Salah satu bentuk koreksi itu adalah KPK tidak mengenal gigi mundur dalam pengusutan kasus korupsi. Sekali perkara masuk tahap penyidikan, KPK tak bisa mengaborsi perkara di tengah jalan. Karena itu pula, penetapan tersangka dan dimulainya penyidikan di KPK biasanya dilakukan secara hati-hati. Itulah tradisi warisan Undang-Undang KPK lama yang tak mengenal pembatalan perkara.
Celakanya, dalam Undang-Undang KPK hasil revisi, pengusutan sebuah perkara korupsi boleh dihentikan di tengah jalan. Akibatnya, KPK bisa saja serampangan menetapkan tersangka dan memulai penyidikan. Kalaupun kemudian tidak cukup bukti, KPK tinggal menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) seperti kebiasaan di kepolisian. Maka, pintu "jual-beli" perkara di KPK pun kian terbuka.
Setelah Undang-Undang KPK direvisi pada akhir 2019, lembaga antikorupsi itu menjadi bagian dari eksekutif alias di bawah kontrol presiden. Karena itu, setelah ditendang tak keruan oleh Firli, bola liar kini kembali kepada Presiden Jokowi. Bersama semua pimpinan KPK, Jokowi seharusnya membuktikan bahwa lembaga yang pernah dihormati di dalam dan luar negeri itu tak berubah menjadi Komisi Politisasi Korupsi.