Menangkal Hoaks Politik di Grup WhatsApp
Pemilu 2024 akan kembali menyulut penyebaran hoaks, termasuk di grup WhatsApp keluarga. Didorong rendahnya literasi digital.
Tempo
Kamis, 20 Juli 2023
Menjelang Pemilihan Umum atau Pemilu 2024, Indonesia tampaknya menghadapi tantangan yang cukup pelik perihal penyebaran berita atau informasi palsu (hoaks). Banyak riset membuktikan bahwa penyebaran hoaks masih tumbuh subur di media sosial.
Namun ada satu hal yang lebih menantang, yakni penyebarannya melalui aplikasi pesan personal, termasuk WhatsApp. Sering kali kita menemui penyebaran hoaks di grup-grup percakapan WhatsApp, bahkan grup yang hanya berisikan anggota keluarga kita sendiri.
Satu riset terbaru menunjukkan bahwa pada Pemilu 2019, banyak grup WhatsApp keluarga beralih fungsi menjadi wadah untuk berbagi omong kosong dan hoaks, yang kemudian berkembang menjadi tempat perdebatan di antara dua kubu anggota keluarga.
Di media sosial saja, selama triwulan pertama pada 2023, sudah ada 425 isu hoaks yang menyebar, menurut temuan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Angka ini lebih tinggi dibanding pada triwulan pertama 2022, yang mencapai 393 isu hoaks.
Belum ada data pasti mengenai temuan penyebaran hoaks melalui pesan-pesan personal. Namun angkanya ada kemungkinan besar tidak jauh berbeda atau bahkan jauh lebih parah karena belum ada aplikasi pesan personal yang bisa menyaring informasi yang benar dan yang salah.
Baca: Ancaman TikTok di Pemilu 2024
Fenomena penyebaran hoaks ini bisa berdampak signifikan karena bisa sangat mempengaruhi persepsi penerima informasi.
Pada masa pandemi Covid-19, misalnya, penyebaran hoaks—mencakup tentang pengobatan alternatif, vaksin, hingga konspirasi perihal virus—begitu masif sampai menghalangi berbagai upaya penanggulangan Covid-19.
Banyak masyarakat yang menolak vaksinasi karena percaya pada informasi palsu bahwa vaksin tidak berguna atau adanya cip dalam vaksin.
Umumnya, secara psikologis, individu yang menerima informasi palsu secara perlahan membangun keyakinan mereka yang baru. Hal ini akan mendorong mereka bertindak lebih jauh, dari menyebar informasi hingga mengutarakan dukungannya pada isi informasi tersebut.
Pada tahun politik, penyebaran hoaks bisa berdampak pada rusaknya rasionalitas pemilih dan menurunnya kualitas penyelenggaraan pemilu. Lebih jauh lagi, ini bisa menimbulkan permusuhan antara pihak yang pro dan yang kontra terhadap informasi palsu tersebut.
Pengendara melintas di bawah mural mengenai pemilu tanpa Hoax di Serpong, Tangerang Selatan, Banten. ANTARA/Muhammad Iqbal
Mengapa terjadi penyebaran hoaks?
Ada dua pihak yang secara sengaja atau tanpa sadar menjadi penyebar hoaks. Pertama adalah pihak yang sengaja menyusun atau membuat berita palsu itu. Kedua adalah pihak yang termakan berita palsu, lalu menyebarnya secara sukarela. Masing-masing pihak memiliki motif berbeda dalam melakukan penyebaran.
Dalam tulisan ini, saya hanya akan membahas motif pihak kedua. Hal ini karena motif pihak pertama jelas untuk mencapai tujuan tertentu secara kelompok dan ini merupakan hal yang dilakukan secara sadar. Namun pada pihak kedua, motifnya kerap tidak mereka sadari dan bersifat sangat personal.
Dalam teori psikologi, ada yang disebut processing fluency effect, yaitu proses kognitif ketika individu lebih mudah merespons dan menerima berbagai informasi yang sederhana untuk dicerna karena ia tidak membutuhkan usaha lebih untuk memahaminya. Dalam konteks berita, proses ini dapat memotivasi seseorang untuk mau membagikan informasi yang didapatkan.
Profesor psikologi dari Amerika Serikat (AS), Daniel Kahneman, menjabarkan tentang sistem 1 dan sistem 2 yang ada pada sistem kognitif manusia. Kedua sistem itu berinteraksi dalam proses pemikiran dan pengambilan keputusan. Sistem 1 secara otomatis menghasilkan respons yang lebih cepat dan intuitif. Sedangkan sistem 2 terlibat saat situasi yang membutuhkan analisis lebih mendalam, evaluasi, dan pemikiran yang lebih lambat.
Kehadiran berita dan informasi palsu yang dibuat semenarik mungkin kerap hanya menggerakkan sistem 1, sehingga sistem 2 tidak perlu digunakan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak individu yang memiliki keterampilan rendah untuk memverifikasi berita atau menelaah informasi secara kritis. Mereka cenderung hanya melalui sistem 1—mudah percaya dengan berita yang biasanya viral—lalu menyebarkannya tanpa melalui sistem 2 alias tidak mengkritik ataupun menganalisis kebenarannya.
Situasi demikian bisa menjadi lebih buruk jika berita atau informasi yang tersebar memiliki kaitan dengan identitas si pengirim atau penerima. Pengaruh identitas dan afiliasi kelompok dapat mempengaruhi sejauh mana orang mempercayai berita palsu.
Hoaks dan pilihan politik
Gordon Robert Pennycook adalah seorang peneliti psikologi asal Kanada yang berfokus pada tema riset belief, misinformation, metacognition, judgment, dan hal-hal yang berkaitan dengan area tersebut. Salah satu topik yang belakangan ia geluti adalah maraknya berita palsu atau hoaks di masyarakat.
Berangkat dari maraknya hoaks ketika pemilihan presiden Amerika Serikat pada 2016, isu berita palsu dalam dunia politik hingga hari ini masih menjadi masalah yang belum bisa sepenuhnya diatasi.
Dalam sejumlah penelitian, salah satu yang menjadi tantangan untuk mengurangi hoaks adalah hadirnya motivated reasoning atau “penalaran termotivasi” pada setiap pendukung politik. Motivated reasoning ini adalah kecenderungan kognitif, baik yang disadari maupun tidak disadari, untuk mencari informasi yang mendukung keyakinan mereka yang sudah ada. Proses ini biasa disebut confirmation bias.
Motivated reasoning membuat seseorang lebih mungkin mempercayai informasi palsu yang sejalan dengan pandangan mereka saja karena informasi tersebut memperkuat apa yang sudah mereka percayai selama ini. Afiliasi kelompok, seperti dukungan ke salah satu kandidat, pada akhirnya akan berperan dalam membangun kepercayaan yang dimiliki seseorang.
Jika ada hoaks yang tersebar di grup WhatsApp keluarga, misalnya, beberapa anggota keluarga ada kemungkinan akan menolak mengakui bahwa informasi itu hoaks. Hal ini terjadi karena mereka telah mengalami bias terhadap kandidat yang mereka dukung.
Baca: Alasan WhatsApp jadi Aplikasi Chatting paling Populer
Menurut suatu studi yang terbit pada 2020, kecenderungan mempercayai berita palsu meningkat saat berita tersebut mendukung keyakinan yang ada atau keyakinan kelompok. Saat seseorang mengalami bias terhadap informasi, sistem 2 ada kemungkinan tidak akan bekerja dan membiarkan sistem 1, yang cepat serta otomatis, mengambil peran lebih besar. Maka, tidak mengherankan jika seorang simpatisan pendukung, dengan berbagai siasat akan menyebarkan berbagai berita-berita yang mewakili bentuk dukungannya, terlepas apakah berita itu benar atau salah.
Jadi, bersiaplah untuk melihat media sosial hingga grup WhatsApp keluarga kita yang ada kemungkinan akan dipenuhi kembali oleh debat atau saling serang dengan berita yang memperlihatkan kehebatan kandidat masing-masing.
Ilustrasi aplikasi WhatsApp. Omar Marques / SOPA Images via Reuters
Cara menghadapi atau mencegah fenomena ini
Beberapa studi menyebutkan bahwa grup WhatsApp keluarga berpotensi menjadi wadah penyebaran hoaks akibat rendahnya literasi media dari generasi yang lebih tua.
Studi lain juga mendukung ihwal adanya perspektif generasi tua yang belum mampu memaksimalkan pemahaman perihal informasi yang tersebar sehingga berita hoaks dengan mudah berkembang. Isu yang paling sering dibahas dalam grup WhatsApp keluarga juga berkutat pada isu politik dan agama.
Karena itu, peningkatan literasi media dapat menjadi salah satu upaya serius untuk menghadapi masalah—ini harus segera dimulai.
Pendidikan literasi media akan dapat membantu seseorang atau kelompok dalam memahami metode verifikasi fakta, pengenalan sumber berita yang tepercaya, dan pemahaman tentang berbagai taktik manipulatif yang digunakan dalam berita palsu. Langkah ini bisa dilakukan oleh berbagai pihak, dari komunitas, kelompok masyarakat sipil, hingga pemerintah.
Selain itu, perlu adanya penguatan transparansi platform. Ini mencakup peningkatan aturan dan kebijakan ihwal penyebaran informasi palsu, memberikan akses yang lebih mudah ke algoritma dan mekanisme penyaringan, serta memperkuat upaya untuk melawan akun palsu dan bot otomatis.
Langkah ini ada kemungkinan telah dilakukan oleh pemerintah dan para pegiat hak digital. Namun informasi yang mengalir deras kadang tidak terbendung sehingga dibutuhkan upaya yang lebih maksimal.
Terakhir, kita butuh kolaborasi berbagai instansi, seperti jaringan jurnalis, lembaga riset, serta pemeriksa fakta untuk dapat terlibat aktif mengawasi dan merespons berbagai berita atau isu yang berkembang di masyarakat.
Sudah waktunya pemerintah mencari strategi yang lebih terperinci dan solutif dalam menghadapi penyebaran hoaks. Semua ini demi menjaga iklim politik tetap aman dan stabil.
---
Artikel ini ditulis oleh Wawan Kurniawan, peneliti di Laboratorium Psikologi Universitas Indonesia. Terbit pertama kali di The Conversation.