Yeremia
Abul Muamar, lahir di Perbaungan, 6 November 1988. Menulis kumpulan cerpen bertajuk Pacar Baru Angelina Jolie (Gorga, 2019).
Tempo
Minggu, 24 Desember 2023
Yeremia
Abul Muamar
Awal mula petaka terkutuk itu datang suatu siang tatkala Pendeta Yeremia baru saja hendak masuk ke rumah setelah menyemai benih padi tegalan di kebunnya. Ia menghentikan langkah dan menoleh ke belakang karena mendengar seorang pemuda memanggilnya dengan teriakan kecil. Pemuda bertubuh ramping dan kekar itu mempercepat langkah untuk menghampirinya, lalu membungkuk dan mencium tangan Sang Pendeta dengan takzim. Pendeta Yeremia mencoba menghalau tindakan pemuda itu karena tangannya masih kotor, tapi ia terlambat karena gerakan pemuda itu terlalu cepat. Tampak ketulusan di mata pemuda itu saat memperkenalkan diri.
"Nama saya Alpius, Bapak Pendeta."
"Alpius?"
"Ya, Bapak. Sa dari Poso."
"Ah, selamat datang, Anakku," kata Pendeta Yeremia setelah memperhatikan wajah pemuda itu. "Selamat datang di tanah yang subur ini."
"Terima kasih, Bapak Pendeta. Terima kasih."
Pemuda itu diajak masuk. Mereka duduk di ruangan kecil, tempat Pendeta Yeremia biasa menerima tamu.
"Sudah berapa lama bertugas di sini?"
"Baru, Bapak Pendeta. Baru dua minggu."
Pendeta Yeremia tahu bahwa tamu di hadapannya adalah seorang tentara yang ditugaskan di markas komando rayon. Meski masih muda, dia diberi mandat sebagai wakil komandan.
Tak lama berselang, Mama Meriam, istri Pendeta Yeremia, keluar dari dapur membawa minuman. Sama seperti yang dilakukannya kepada Pendeta Yeremia, pemuda itu mencium tangan Mama Meriam saat memperkenalkan diri.
"Panggil saya Mama saja. Orang sini semua panggil saya Mama."
"Siap, Mama!"
Mereka pun mengobrol bertiga. Pendeta Yeremia dan Mama Meriam secara bergantian menanyai pemuda itu, mulai soal karier kemiliterannya hingga urusan asmara si pemuda. Suasana di ruang tamu itu terasa seperti keluarga kecil yang sedang berkumpul. Ketika obrolan sudah begitu mencair, pemuda itu mulai tak sungkan lagi.
"Bapak Pendeta, bolehkah saya menumpang mandi? Saya belum mandi sejak pagi," kata pemuda itu, setelah berjam-jam mereka mengobrol.
"Tentu saja. Anggap rumah ini rumahmu.”
Sejak hari itu, pemuda tersebut semakin akrab dengan keluarga Pendeta Yeremia. Hampir setiap hari, pemuda itu menumpang makan dan mandi di rumah Pendeta Yeremia. Sesekali ia juga menginap di rumah Pendeta Yeremia dan membantu Pendeta Yeremia menggarap ladang. Ia ikut menanam, menyiangi, hingga memanen padi tegalan di kebun Pendeta Yeremia. Ia juga menanam kacang tanah, ubi jalar, jagung, dan singkong di lahan yang masih kosong.
Pendeta Yeremia dan Mama Meriam tampak sangat bahagia dengan keberadaan pemuda itu di rumah mereka. Diam-diam mereka menganggap pemuda itu seperti anak sendiri. Tak cuma dekat dengan keluarga Pendeta Yeremia yang tak punya anak, pemuda itu juga akrab dengan penduduk di sekitar gereja. Ia sering mengajak anak-anak kecil bermain, menggendong mereka ke sana-kemari dan anak-anak pun senang dibopong-bopong olehnya.
***
Petaka yang akan dibawakan oleh pemuda itu mulai mendekat. Mulanya, pemuda itu dipanggil menghadap atasannya setelah baku tembak antara tentara Republik dan kelompok separatis yang terjadi dua hari sebelumnya. Baku tembak itu menewaskan seorang tentara Republik, anggota komandonya. Senjata anggotanya lantas dirampas oleh kelompok separatis. Namun, baku tembak itu hanyalah puncak dari informasi yang menyebutkan bahwa ia sering berkunjung ke rumah Pendeta Yeremia. Karena itu, sebenarnya, bukan kematian prajurit tersebut yang membuat komandan distrik turun tangan, melainkan fakta bahwa ia menjalin hubungan dengan Pendeta Yeremia—sosok yang membenci segala bentuk penjajahan dan penindasan, serta dituduh terlibat gerakan separatisme. Senjata yang dirampas itu juga menjadi masalah serius. Tak ingin ada tuduhan memasok senjata kepada kelompok separatis, Komandan Distrik memerintahkan segerombol prajurit menggeledah semua rumah penduduk di Kampung Sugapa Lama, tempat baku tembak itu terjadi, untuk menemukan senjata yang dirampas.
"Kami tidak ingin menduga-duga. Tapi, kami ingin bertanya, untuk siapa sebenarnya kau bertugas?"
"Siap, untuk negara!"
"Ulangi, untuk siapa kau bertugas?"
"Siap! Untuk negara!!"
"Lebih keras!"
"Siap! Untuk negara!!!"
"Bagus! Kalau begitu, siap menumpas pengkhianat?"
"Siap! Siap menumpas pengkhianat!"
"Termasuk pendeta itu?"
Pemuda itu diam sejenak. Matanya terpejam, hatinya merintih.
"Siap! Termasuk pendeta itu."
"Lebih keras!"
"Siap! Termasuk pendeta itu!"
"Lebih keras lagi!"
"Siap!! Termasuk pendeta itu!!!"
"Bagus. Laksanakan tugasmu!"
Saat menerima perintah itu dari atasannya, pemuda tersebut menarik napas panjang, mencoba menghalau perasaan sentimental dalam dirinya. Sampai pada akhirnya nanti ia mampu melaksanakan perintah itu, hatinya tetap saja tersayat-sayat.
Sebelum kuceritakan apa yang akan terjadi selanjutnya, kuberitahukan bahwa kami, penduduk Kampung Hitadipa yang mayoritas merupakan masyarakat suku Moni, sangat menyayangi Pendeta Yeremia. Bagi kami, Pendeta Yeremia bukan sekadar pemuka agama, tapi juga pahlawan. Tanpa dia, kami mungkin tak akan pernah memahami Injil. Selama belasan tahun, Pendeta Yeremia dengan tekun menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Moni sehingga kami bisa memahaminya.
Bukan cuma perkara iman. Kemurahan hati Pendeta Yeremia juga mengalir di luar urusan gereja. Setiap kali panen, Pendeta Yeremia selalu membagi-bagikan padinya kepada penduduk kampung. Begitu juga dengan ternak babinya. Ia tak pernah sekali pun menjualnya. Babi-babi ia pelihara untuk dibagikan kepada warga.
Saat petaka itu semakin mendekat, suasana di Hitadipa semakin mencekam. Dua hari setelah baku tembak itu, para penduduk Hitadipa—laki-laki dan perempuan—dikumpulkan di halaman depan kantor Koramil Hitadipa, di bawah todongan senjata laras panjang, termasuk aku dan beberapa perempuan lain. Kebanyakan dari kami tinggal di Sugapa Lama, kampung yang dihuni orang-orang Moni. Di antara warga yang dikumpulkan itu, ada pula Kepala Suku Moni, Bapak Wandagau. Juga di sana ada Pendeta Yeremia, Mama Meriam, dan Paman Yusak. Para laki-laki ditanyai satu per satu perihal keberadaan senjata milik tentara Republik yang dirampas. Mereka semua menjawab tak tahu. Beberapa orang dihantam dengan gagang senjata karena menjawab dengan intonasi yang terkesan melawan. Kami dibubarkan ketika matahari mulai menyengat dan perut para tentara itu mulai keroncongan.
Sorenya, kami kembali dikumpulkan di depan Gereja Imanuel 1 oleh orang nomor dua di Komando Rayon Militer Hitadipa, yang tak lain adalah pemuda itu. Kali itu tidak ada Pendeta Yeremia dan Mama Meriam.
"Pendeta gembala tidak pernah mengajarkan sepuluh perintah Tuhan kepada jemaat gembala untuk membunuh orang, tapi pendeta itu malah membunuh orang," kata pemuda itu mondar-mandir. Semua orang yang dikumpulkan di halaman gereja itu tahu belaka kepada siapa kalimat itu ditujukan.
Paman Yusak, yang tak terima atas ucapan pemuda itu, membantah dengan lantang. "Pendeta kami tidak pernah mengajarkan kami membunuh. Kau jangan sembarangan bicara. Kau tentara tak tahu terima kasih."
Pemuda itu langsung menghampiri Paman Yusak dan menghajarnya dengan popor senjata sampai tersungkur. Kami semua hanya bisa melihat, termasuk para laki-laki. Tak ada yang berani melawan.
"Yang menjadi musuh, pengkhianat negara, ayo lawan dan perang dengan saya!" kata pemuda itu, ditujukan kepada kami semua, setelah puas menghajar Paman Yusak. Beberapa perempuan mulai menangis, memohon agar dipulangkan. Aku mencoba tetap tenang untuk menyaksikan apa yang selanjutnya terjadi.
Saat tangisan para perempuan semakin nyaring, seorang tentara utusan datang ke halaman gereja menghampiri pemuda itu. Ia mengabarkan bahwa seorang anggota komando mereka tewas tertembak di dekat markas mereka. Mereka lantas bergegas pergi dari halaman gereja, meninggalkan begitu saja warga yang sudah dikumpulkan. Pemuda itu mengajak tiga anggotanya menuju rumah Pendeta Yeremia. Kepada anggotanya yang lain, ia memerintahkan untuk mengejar penembak sampai ke balik punggung bukit. Di perjalanan, mereka menembaki perkampungan penduduk di sepanjang muara Sungai Hiyabu dan Sungai Dogabu.
***
Malam ketika petaka itu datang, aku mendengar ketukan yang mendesak di pintu belakang kami. Andai tak mengenal suara itu, aku mungkin tak akan mau membukakan pintu. Namun, suara itu adalah suara Mama Meriam.
"Tolong Mama! Tolong Mama!" kata Mama Meriam dengan napas tersengal-sengal begitu kubuka pintu.
"Ada apa, Mama? Ada apa?"
"Bapak Pendeta, Bapak Pendeta…"
"Kenapa Bapak Pendeta?"
"Pendeta Yeremia ditembak, Pendeta Yeremia ditikam…"
"Di mana Pendeta Yeremia sekarang?"
"Di kandang babi. Cepat ke sana. Tolong Bapak Pendeta. Mama ke rumah Yusak."
Sementara aku berlari menuju kandang babi, Mama Meriam menerobos gelapnya hutan menuju rumah Paman Yusak. Kelak, dua tahun setelah peristiwa yang tak akan terlupakan itu, Mama Meriam bercerita kepadaku bahwa ia tak memedulikan apa pun yang diinjaknya di tengah hutan di bawah naungan malam yang pekat sepanjang jalan menuju rumah Paman Yusak. Duri-duri perdu liar yang menusuk telapak kakinya yang telanjang tak lagi memberikan rasa sakit.
Paman Yusak, yang badannya masih memar-memar karena dipukuli tentara Republik, tengah merokok di ambang pintu rumahnya yang dibiarkan terbuka. Batinnya menangkap sesuatu yang tak beres saat melihat Mama Meriam berlari tergopoh-gopoh dari jarak belasan meter sebelum mencapai halaman rumahnya.
"Ada apa, Mama?"
Mama Meriam sebentar ragu memberi tahu Paman Yusak.
"Yusak…," kata Mama Meriam setengah berbisik.
"Kasih sa tahu ada apa, Mama?" Paman Yusak ikut memelankan suara.
"Bapak Pendeta, Yusak. Bapak ditembak. Ditembak dan ditikam, Yusak."
Bayangan tubuh Pendeta Yeremia yang tergeletak bersimbah darah di kandang babi membuat tangis Mama Meriam pecah.
"Siapa pelakunya, Mama?"
"Anak muda itu!"
Paman Yusak langsung menangkap siapa yang dimaksudkan Mama, lalu bergegas menuju kandang babi. Namun, Pendeta Yeremia sudah tidak bernyawa ketika aku dan Paman Yusak tiba. Tubuhnya tergeletak memilukan di antara babi-babi yang masih ketakutan.
Sekitar enam jam sebelumnya, pemuda itu tiba di rumah Pendeta Yeremia sebelum petang. Tanpa menggubris ajakan untuk masuk dan minum dari Mama Meriam, ia langsung pergi bersama tiga anggotanya, menuju kandang babi. Di tempat terpisah, berkompi-kompi prajurit dari Komando Distrik dikerahkan untuk membakar Kampung Taunduga, termasuk puskesmas dan rumah sakit. Mereka mengira bahwa anggota kelompok separatis bersembunyi di kampung itu.
Tak lama berselang, si pejabat koramil sampai di jalan setapak menuju kandang babi milik Pendeta Yeremia.
"Kalian di sini saja," perintahnya kepada dua anggotanya. Ia meminta mereka mengawasi.
Bersama seorang anggotanya, ia berjalan mengendap-endap menuju kandang babi Pendeta Yeremia.
"Angkat tangan!"
Babi-babi di kandang itu panik. Sebagian lari ke luar kandang. Pendeta Yeremia pasrah mengangkat tangannya. Bola matanya segera berpindah ke arah tentara yang satunya, si pejabat koramil yang telah ia anggap sebagai anak. Ia menyebutkan nama tentara muda itu, lirih.
"Semua pengkhianat akan sa tembak!" kata pemuda itu tanpa melihat wajah Pendeta Yeremia.
"Sa hamba Tuhan, sa bukan pengkhianat, Nak."
Tepat setelah Pendeta Yeremia mengucapkan itu, peluru bersarang di lengan kirinya. Pendeta Yeremia segera roboh di antara babi-babinya yang berputar-putar ketakutan di dalam kandang. Sejurus kemudian, sebilah pisau militer menembus punggungnya. Dua tentara itu pergi tanpa memastikan ia sudah mati atau belum.
Saat langit sudah gelap, Mama Meriam memberanikan diri ke kandang babi untuk menjemput suaminya. Di sana, Mama Meriam melihat Pendeta Yeremia tergeletak telungkup di tanah, di luar kandang babi. Mungkin saat itu, Pendeta Yeremia mencoba mencari pertolongan setelah tentara-tentara itu pergi, mengesot-ngesot keluar dari kandang babi.
Dalam keadaan sekarat, dengan sisa-sisa napas terakhirnya, Pendeta Yeremia membisikkan sesuatu ke telinga Mama Meriam, tentang sosok yang telah menembak dan menikamnya. (*)
Catatan:
Sa: saya
Abul Muamar, lahir di Perbaungan, 6 November 1988. Menulis kumpulan cerpen bertajuk Pacar Baru Angelina Jolie (Gorga, 2019).