Nazar Seorang Perawan Tua

A. Warits Rovi, lahir di Sumenep, Madura, Jawa Timur, 20 Juli 1988. Sejumlah cerpen dan puisinya dimuat di media massa.

Tempo

Minggu, 26 November 2023

Nazar Seorang Perawan Tua
A. Warits Rovi

Setiap melihat kalender, selalu ada ketakutan di benak Arum. Tangannya gemetar saat meraba deretan angka-angka. Ia takut pada umurnya sendiri. Jika bisa, ingin waktu berjalan sangat pelan agar tidak segera tiba pada 22 Maret. Sebab, ia tak ingin merayakan hari ulang tahun dalam keadaan masih tak punya suami. Ia takut umurnya terus bertambah tua, tapi tetap hidup sendirian.

Tahun lalu, ia merayakan ulang tahun yang ke-38 sendirian di kamarnya. Tak ada kue, lilin, dan tepuk tangan. Hanya dengan sebuah lentera yang lidah apinya menyala tipis kekuningan. Lentera itu ia biarkan terus menyala, menghadirkan kenangan masa kanaknya ketika mendengar cerita dan doa almarhumah ibunya saat malam hari. Kala itu, ibunya sering berdoa agar Arum kelak mendapat suami yang baik.

Semenjak ibunya meninggal, Arum hidup hanya dengan dirinya sendiri, tanpa seorang suami. Karena kesendirian itulah ia sering mendapat julukan perawan tua tak laku. Telinga dan dadanya terlalu sesak menerima julukan itu dari banyak orang. Sebuah julukan yang teramat mengiris perasaannya, membuat dirinya kerap berurai air mata. Kadang memaksanya beranjak ke depan cermin, mematut wajahnya yang samar-samar mulai ditatah garis keriput, tanda awal datangnya masa tua.

Tangis Arum semakin tak terbendung. Di depan cermin itulah biasanya Arum kemudian bernazar; jika sudah mendapatkan suami, ia akan melakukan sesuatu, sesuatu yang wajar hingga—tak disadari sampai ada—sesuatu yang tidak wajar. Seperti misalnya ia pernah bernazar, jika punya suami, ia akan meniti buaya hidup, akan tidur di dahan pohon semalam suntuk, dan hal ganjil lainnya. Tapi sampai kini nazar-nazar itu tak satu pun yang membuat Arum benar-benar mendapatkan suami, kecuali hanya membuatnya meratap, menangis, dan membolak-balik kalender dengan ketakutan yang mendera, berharap waktu tak lekas melaju melangkahi angka-angka hingga usianya semakin tua. Beruntung, dalam keresahannya itu, Arum masih punya Muyas, teman karibnya sejak kecil yang hingga kini juga masih belum bersuami. Sehingga Arum bisa membagi kesepian, luka, nasib, dan cerita kelam lainnya bersama Muyas.

***

Arum menatap botol kaca pemberian Bi Jiah yang teronggok senyap beralaskan koran bekas di pojok meja. Botol itu ia abaikan tanpa penutup, sehingga air kembang di dalamnya meruap wangi ke seantero kamar. Masih terbayang dalam ingatannya. Dini hari, di tanggal ganjil bulan Muharram, Bi Jiah mengiris lima jenis kembang ke dalam air itu di dekat kuburan Nyi Rustam beberapa saat sebelum disiramkan ke tubuh Arum. Bi Jiah bercerita bahwa Nyi Rustam adalah ratu kecantikan pada zamannya, membuat para lelaki tergila-gila, bahkan pemimpin tentara Jepang juga dibuat takluk olehnya. Setelah Nyi Rustam mati, banyak wanita melakukan ritual mandi kembang untuk memperoleh kecantikan di dekat kuburan itu, terutama wanita-wanita yang tak kunjung dicintai seorang lelaki. Hasilnya pun sesuai dengan harapan; wanita-wanita itu akhirnya segera menemukan jodoh.

“Sisa air ini kaubawa pulang, teteskan di jalan yang biasa dilewati lelaki yang kaucintai, hingga ia jatuh cinta padamu,” saran Bi Jiah dengan suara setengah menggigil. Wajahnya semi-kemilau oleh bias cahaya bulan yang jatuh dari rerimbun daun akasia.

Saat itu Arum membayangkan Hamid akan segera jadi miliknya. Duduk berdua sambil berpegang tangan di atas pelaminan, di antara tatap ribuan pasang mata undangan, termasuk di depan Muyas, teman karibnya yang juga tak kunjung diminati lelaki.

Setelah mandi, Arum kemudian pulang membawa sebotol air kembang itu dengan dada dibanjur rasa kebahagiaan. Tersenyum sepanjang jalan, tak peduli dini hari, keadaan masih kelam, ia pun bernazar, jika Hamid benar-benar menjadi suaminya, Bi Jiah akan dibelikan kalung dan gelang emas.

Berhari-hari air kembang itu Arum teteskan di jalan yang biasa dilewati Hamid. Beberapa kali pula ia mendapati Hamid benar-benar melangkahi tetes air kembang di jalan itu, membuat Arum tersenyum puas di balik semak, tempat ia bersembunyi. Dalam penantian yang penuh debar, ia membocorkan nazarnya kepada Bi Jiah, sehingga Bi Jiah bahagia mendengar Arum ingin memberikan kalung dan gelang emas kepada dirinya jika suatu hari benar-benar menikah dengan Hamid.

Hanya belasan hari harapan Arum kepada Hamid berakhir. Hamid malah menikah dengan Muyas. Tentu hal itu membuat Arum terpukul berkali-kali. Sebab, orang yang ia harapkan malah menikah dengan teman karibnya yang selama ini senasib dalam membagi sepi. Akhirnya Arum lebih banyak berdiam di dalam kamar, memeram irisan luka batin yang mendalam, membuat air matanya selalu tumpah. Yang bisa ia lakukan hanya memandangi botol dengan sisa air kembang yang susut ke bagian dasar, mengambang layu dan nyaris kering, mirip nasib dirinya.

Sejak saat itu, Arum berjanji tidak mencari dukun pelet lagi, tetapi ia tetap membuat banyak nazar. Sebagaimana sebelum-sebelumnya, setiap bernazar, ia tidak mempertimbangkan akal sehat dari saking terburu-burunya untuk mendapatkan suami, sehingga nazar-nazar yang ia ucapkan kerap tidak masuk akal dan nyaris mustahil dilakukan.

***

Seusai berdoa, sambil mengelus batu kijing makam Kiai Anam, Arum mengingat puluhan nazar yang gagal karena tak bisa membuatnya mendapatkan suami. Sepasang matanya yang cekung dengan sisa butiran air bening menatap kosong ke rindang ranting bidara yang berlatar langit cerah. Setidaknya ia telah kehilangan sembilan lelaki yang diharapkannya bisa jadi suami. Sebagai upaya untuk mengharap suami, mumpung masih ada di tempat keramat, ia kembali bernazar. Jika dirinya mendapat suami sebelum berumur 40, nanti suaminya itu akan ia gendong sambil mengelilingi pasar sebanyak lima kali.

Hari-hari setelah berziarah ke makam Kiai Anam, Arum lebih banyak beraktivitas di luar rumah. Ia jalan kaki menyusur berbagai tempat meski tanpa tujuan yang pasti. Intinya, ia ingin melupakan kamar sunyinya yang sering disekap pemandangan angka-angka kalender yang menakutkan karena angka-angka itu seperti membawa umur Arum pada cekik ketuaan. Ia juga ingin melupakan nazar-nazar yang gagal, ingin melupakan cerita Muyas yang tiba-tiba menikah dengan Hamid, dan—di balik semua itu—ia juga berharap perjalanan absurdnya itu bisa jadi pintu ajaib yang membukakan jodoh bagi dirinya. Sudah terbiasa, ia pergi setelah subuh dan pulang menjelang magrib hanya dengan bekal dua botol air dan tiga bungkus roti.

Pada hari yang diderai hujan, saat dirinya berteduh di emperan bekas toko, seorang lelaki paruh baya berkumis tebal yang kebetulan juga berteduh di tempat itu perlahan menyapa. Arum meresponsnya dengan lembut hingga keduanya bercakap, dan mengerucutkan pembicaraan pada masalah pernikahan. Hanya, sebelum cakap itu tuntas, hujan sudah reda. Keduanya hanya bertukar nomor WA, sebelum berpisah untuk melanjutkan perjalanan masing-masing.

Arum dan lelaki itu melanjutkan percakapan melalui WA, dan Arum tak menyangka lelaki itu benar-benar serius, hingga lelaki itu melamarnya. Arum sangat bahagia sekaligus terkejut setelah tahu ternyata lelaki itu anak pertama Bi Jiah.

“Bukankah Bi Jiah dukun pelet? Tapi kenapa anaknya tak kunjung menemukan gadis?” gumam Arum dengan dahi berkerut. “Tapi tak apalah, siapa tahu karena dia memang jodohku,” lanjutnya seraya mengingat nazar yang pernah ia ucapkan terakhir kali di makam Kiai Anam.

***

Baru seminggu akad nikah dan selamatan dilaksanakan secara sederhana. Arum kini lebih banyak melempar senyum kepada suaminya, lebih-lebih ketika sedang duduk di tubir ranjang sambil berpegang tangan.

Suatu pagi yang dingin, sesudah Arum dan suaminya salat subuh di kamarnya, ia utarakan nazar yang pernah ia ucapkan di makam Kiai Anam.

“Mas! Saya punya nazar yang harus segera saya tunaikan,” suara Arum lembut.

“Apa itu, Dik?” tanya suaminya melirik manja.

“Jika saya sudah bersuami sebelum genap 40, suami saya akan saya gendong di sebuah pasar sambil berkeliling pasar itu sebanyak lima kali,” ucap Arum seraya mengedipkan mata.

“Ha? Di pasar?” tanya suaminya dengan nada meninggi.

Arum mengangguk dan tersenyum.

“Padahal aku juga punya nazar, Dik,” kata suaminya sambil memalingkan wajahnya yang tampak cemas.

“Apa nazarmu, Mas?”

“Jika aku mendapat istri, istriku tidak akan kubawa pergi ke pasar,” kembali suami Arum melihat wajah Arum. Sementara Arum hanya mematung diam karena sangat terkejut mendengar nazar suaminya yang berseberangan dengan nazar dirinya. Ia lantas teringat kata-kata almarhumah ibunya.

“Nazar adalah monster yang selalu menagih janji. Jika tidak ditunaikan, ia akan mencelakai si penazar itu,” kata almarhumah ibunya ketika masih hidup.

“Lantas apa yang harus kita lakukan, Dik? Jika kamu tetap menggendongku di pasar, kamu akan selamat dari kutukan nazarmu, tapi aku akan celaka karena kutukan nazarku yang tak tertunaikan. Tapi, jika sebaliknya, kamu yang akan celaka dan aku yang selamat karena telah menunaikan nazarku. Sementara kita ingin sama-sama bahagia dan selamat dunia-akhirat?” tanya suami Arum beraut cemas.

Arum bergeming. Tak bicara sedikit pun. Ia hanya memeluk suaminya dengan erat. Sepasang matanya tertuju ke segantung kalender di datar dinding yang dulu ia takuti. Ia berharap agar kalender itu tak menggerakkan waktu, hingga angka-angka tak berganti. Semuanya tetap hari itu saja, agar ia tetap bisa berpelukan, dan nazar itu tak mendatangkan kutukan.


Rumah FilzaIbel, 2023


A. Warits Rovi, lahir di Sumenep, Madura, Jawa Timur, 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, dan artikel memenangi beberapa sayembara serta dimuat di berbagai media massa.

Berita Lainnya