Lelaki Kartu Pos

Anggun Prameswari

AKU tidak ingat pasti kapan aku berkenalan dengannya. Mungkin setahun lalu, atau enam bulan silam, entahlah. Waktu terkadang sering memanjang dan memendek tanpa permisi. Saat itu aku hanya duduk menikmati sandwich di sebuah bangku panjang. Siang itu adalah siang yang membosankan seperti kemarin-kemarin. Bocah-bocah berlarian, dengan pekik-pekik girang, yang dengan cepat kuabaikan. Kupu-kupu melayang-layang, berpadu sempurna dengan aroma rumput basah bekas hujan dini hari. Dan dia datang, seperti meletup muncul begitu saja, di hadapanku, memintaku membeli selembar kartu posnya.

Awalnya aku mendongak, dengan sandwich masih tergenggam di tangan dan dahi berkerut. Reaksi paling wajar seorang wanita yang duduk sendiri dan dihampiri lelaki asing adalah, tentu saja, mendirikan tembok benteng setinggi-tingginya, setebal-setebalnya, sekokoh-kokohnya. Aku tidak suka bertemu dengan orang baru. Pernah dengar pepatah "setiap orang datang ke hidupmu dengan membawa koper masa lalunya"? Siapa yang tahu apa isi orang ini? Mungkin berlembar-lembar foto kenangan, setoples kunang-kunang jelmaan kuku pacarnya yang sudah mati, atau rangkaian bola mata orang-orang yang pernah menyakitinya-semua diuntai menjadi sebentuk syal penghangat tubuh. Aku bergidik, tapi wajah di depanku tetap tenang menawariku membeli selembar kartu pos.

"Kartu pos ini saya lukis sendiri," ujarnya.

Minggu, 13 Oktober 2013

Anggun Prameswari

AKU tidak ingat pasti kapan aku berkenalan dengannya. Mungkin setahun lalu, atau enam bulan silam, entahlah. Waktu terkadang sering memanjang dan memendek tanpa permisi. Saat itu aku hanya duduk menikmati sandwich di sebuah bangku panjang. Siang itu adalah siang yang membosankan seperti kemarin-kemarin. Bocah-bocah berlarian, dengan pekik-pekik girang, yang dengan cepat kuabaikan. Kupu-kupu melayang-layang, berpadu sempurna den

...

Berita Lainnya