Kapal Perang

Yusi Avianto Pareanom

Semarang, 1975-1981

SATU hal yang lebih menjengkelkan Abdullah Yusuf Gambiranom daripada harus membersihkan lantai rumahnya pada sembarang pagi setelah banjir surut adalah pertanyaan tidak perlu dari tetangga-tetangganya tentang suatu perkara yang sudah terang-benderang bagi semuanya: "Ngepel, Pak Yus?"

Kepada penanya pertama, Abdullah Yusuf akan memberi senyum palsu. Kepada penanya kedua, ia akan mengangguk dan ujung bibirnya tertarik ke bawah. Dan kepada penanya ketiga dan seterusnya, ia tak memberi tanggapan apa-apa selain memalingkan tubuh ke dalam rumah sembari menggerutu, "Hei, wong sudah ngerti, kok masih tanya." Kejengkelan Abdullah Yusuf ini akan terasa lebih legit lagi jika kau mendengarnya dalam versi aslinya, bahasa Jawa Semarangan. Pertanyaan itu mungkin tak dimaksudkan tetangganya sebagai ejekan, tapi Abdullah Yusuf tetap sulit menerimanya sebagai kepedulian. Rasa gusar yang muncul akibat pertanyaan itu makin membesar dari tahun ke tahun. Lagi-lagi karena perkaranya memang sudah terang sehingga ia merasakannya seperti penegasan bahwa ia tak kunjung sanggup memutar balik peruntungannya.

Minggu, 1 September 2013

Yusi Avianto Pareanom

Semarang, 1975-1981

SATU hal yang lebih menjengkelkan Abdullah Yusuf Gambiranom daripada harus membersihkan lantai rumahnya pada sembarang pagi setelah banjir surut adalah pertanyaan tidak perlu dari tetangga-tetangganya tentang suatu perkara yang sudah terang-benderang bagi semuanya: "Ngepel, Pak Yus?"

Kepada penanya pertama, Abdullah Yusuf akan memberi senyum palsu. Kepada penanya kedua, ia akan mengangguk dan ujung bibir

...

Berita Lainnya