Dari Hardikan Mullah sampai Jilbab Mesir

Perjalanan Lintas Batas diangkat dari safari Musdah Mulia di 51 negara. Menyajikan aneka perbedaan pandangan tentang Islam.

Jihan Ristiyanti

Jumat, 23 Februari 2024

“Muslim Indonesia semuanya kafir karena mempraktikkan keluarga berencana. Muslim Indonesia kafir karena laki-lakinya tidak pakai gamis, malah pakai baju kafir Amerika.” Demikian pernyataan seorang peserta konferensi dan lokakarya tentang penguatan hak dan kesehatan reproduksi di Kabul, Afganistan, pada 2012. Pesertanya kebanyakan mullah, golongan ulama di kelompok Taliban—kelompok nasionalis Islam yang menguasai Afganistan.

Musdah Mulia, yang menjadi pembicara tamu dalam acara itu, awalnya tersenyum. Dia berpikir peserta itu sedang bercanda. Namun senyumnya menghilang saat penanya itu menyuguhkan tatapan tajam sonder senyum. Orang itu serius.

Diskusi pun berlanjut dengan adu argumentasi dengan sengit. Alasannya, kata Musdah, sederhana. Selain memiliki perspektif yang jelas berbeda, para peserta yang semuanya laki-laki berjenggot itu memperlihatkan ketidaksukaannya kepada Musdah. Maklum, di negeri para mullah itu, banyak larangan bagi perempuan untuk berada di tempat publik. Apalagi menjadi pembicara dalam forum resmi.

Uniknya, pada hari terakhir pelatihan, semua mencair. Sejumlah peserta diskusi menghampiri Musdah untuk mengajak foto bareng. “Maaf, saya tidak bisa berfoto dengan laki-laki yang bukan mahram,” ujar Musdah mengulang omongannya saat itu. Tentu saja guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu cuma bercanda.

Penulis Musdah Mulia (kanan) membubuhkan tanda tangan dalam peluncuran buku karyanya berjudul “Perjalanan Lintas Batas: Lintas Agama, Lintas Gender, Lintas Negara” di Perpustakaan Nasional, Jakarta, 22 Februari 2024. TEMPO/Jihan Ristiyanti

Penggalan cerita di Kabul itu menjadi bagian dari 60 kisah perjalanan Musdah Mulia. Dari safari di 51 negara itu, pakar pemikiran politik Islam ini mencoba merangkum ragam pandangan tentang Islam. Hasilnya, perbedaan pandangan nyata adanya.

“Di dunia ini, ada lebih dari 4.000 agama. Kalau kita menganggap kita yang paling benar, bagaimana dengan lain?” kata Musdah kepada Tempo seusai peluncuran buku terbarunya, Perjalanan Lintas Batas: Lintas Agama, Lintas Gender, Lintas Negara di Perpustakaan Nasional, Jakarta, pada Kamis, 22 Februari 2024. Dia mengatakan setiap orang memiliki keyakinan berbeda tentang suatu kebenaran dan itu adalah hak tiap individu. “Maka beragamalah secara rendah hati.”

Ide menulis catatan perjalanan ini muncul pada masa pandemi Covid-19. Selama lebih dari dua tahun, Musdah yang biasa mengajar dan berdiskusi dari satu tempat ke tempat lain merasa tak bisa berkutik. Jadi dia menyalurkan energinya dengan menulis berdasarkan memori dari masa sebelum wabah merebak. Awalnya dia menulis tentang perjalanannya di Kabul. Teman-temannya membaca kisah itu dan tertarik untuk mengetahui catatan safari lainnya. Jadilah buku Perjalanan Lintas Batas.

Data buku Perjalanan Lintas Batas: Lintas Agama, Lintas Gender, Lintas Negara.

Tentu saja tidak semua cerita menegangkan seperti di Kabul, ketika Musdah menyaksikan tentara bersenjata laras panjang ada di semua sudut kota, dari bandar udara hingga hotel dan tempat diskusi. Ada juga bagian yang menyejukkan, seperti keharmonisan persaudaraan muslim dan Kristen di Tirana, ibu kota Albania, negara dengan penduduk 2,8 juta di Balkan. Semua dia tuliskan berdasarkan pengamatan langsung dengan penuturan yang ringan dan mengalir. Membuat pembaca seperti ikut berada di lokasi. 

Pada bab lain, Musdah mengajak pembaca ke Mesir, yang banyak disalahpahami sebagai negara Islam. Dengan populasi 107 juta jiwa, memang 90 persen penduduk Mesir adalah muslim dan berbahasa Arab. Namun Mesir bukan negara Islam. Dalam perjalanan udara dari Madinah ke Kairo pada 1993, Musdah mendapati pemandangan unik. Di pesawat, banyak perempuan yang bersalin baju, menanggalkan jilbab mereka, dan sebagian berganti menjadi bercelana pendek.

“Busana dan jilbab tadi hanya dipakai pada kondisi tertentu. Itu adalah pakaian tradisi. Kami di Kairo tidak mengenakan penutup kepala dan itu biasa saja. Memangnya Anda baru pertama kali ke mari?” Demikian perkataan seorang perempuan Mesir saat Musdah, yang saat itu tercengang, memberanikan diri bertanya.

Musdah Mulia (kedua dari kanan) dalam peluncuran buku “Perjalanan Lintas Batas: Lintas Agama, Lintas Gender, Lintas Negara” di Perpustakaan Nasional, Jakarta, 22 Februari 2024. TEMPO/Jihan Ristiyanti

Ahmad Najib Burhani, peneliti kajian agama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menjadi pembedah buku, mengatakan Perjalanan Lintas Batas menunjukkan pentingnya kerendahan hati untuk menerima perbedaan. “Namun, tentu, tidak semua orang bisa menerima perbedaan itu,” ujarnya. Lewat buku ini pula, Najib melanjutkan, tergores pesan bahwa mengakui perbedaan pandangan keagamaan bukan berarti menghilangkan keyakinan yang seseorang miliki. “Justru itu memperkokoh keimanan.” 

Feby Indirani, editor Perjalanan Lintas Batas, mengatakan pembuatan buku itu memakan waktu sekitar dua tahun. Alasannya, bahan yang disodorkan oleh Musdah sangat kaya dan penyuntingan berlangsung secara berangsur-angsur. Mantan wartawan itu memotong banyak bagian hingga buku tersebut ia nilai tidak terlampau tebal, 630 halaman.

JIHAN RISTIYANTI

Berita Lainnya