Bagi Wahyu Budi Nugroho, mempelajari pemikiran para filsuf mampu memberikan berbagai sudut pandang dalam memandang suatu masalah sosial, ekonomi, dan politik. Dosen sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana sekaligus Direktur Sanglah Institute itu menganggap filsafat mampu memberikan sudut pandang yang mengejutkan dalam menyelesaikan persoalan.
"Kita bisa menggunakan filsafat untuk mendukung atau menyerang satu sama lain. Filsafat itu cara berpikir yang bisa diaplikasikan untuk semua bidang keilmuan. Inilah yang membuat saya gembira terus bisa melanjutkan hidup," kata Wahyu kepada Tempo, Kamis lalu.
Melalui komunitasnya, Wahyu punya target berat untuk mematahkan stigma bahwa orang-orang yang gemar berfilsafat adalah ateis atau kurang kerjaan. Ia bungah terhadap antusiasme anak muda yang mulai tertarik mengikuti acara-acara diskusi filsafat yang rutin dilakukan. "Kami memberikan wacana tandingan terhadap pemikiran mainstream yang dibawa anak muda. Misalnya, pemikiran bernuansa kiri, dan banyak juga yang merespons."
Antusiasme masyarakat juga terlihat dari jumlah pengikut Sanglah Institute di media sosial. Mereka punya 32 video filsafat di kanal YouTube dengan pengikut mencapai 25 ribu. Akun Instagram-nya memiliki seribu lebih pengikut dengan 253 unggahan. Mereka punya tiga kegiatan utama, yaitu publikasi, diskusi, dan advokasi. Namun sejauh ini yang aktif dilakukan adalah publikasi dan diskusi. "Ini strategis untuk mendapatkan daya tarik untuk para milenial," ujar dia.
Arif Fakhri Iwansyah, laki-laki 27 tahun, yang bekerja sebagai konsultan di perusahaan inspeksi di bidang minyak dan gas bumi, salah seorang yang kerap memanfaatkan media sosial untuk belajar filsafat. Ia semakin giat mendengarkan diskusi filsafat di kanal YouTube dan podcast ketika memutuskan untuk melanjutkan studi di program pascasarjana Departemen Filsafat Universitas Indonesia. "Gue ngambil kuliah filsafat ini bukan buat kerja atau apa, tapi emang pengin ilmunya saja," kata lulusan teknik sipil Institut Teknologi Bandung itu.
Buat Arif, filsafat bukanlah barang baru. Ia tertarik pada filsafat sejak sekolah menengah pertama. Namun bakat di bidang ilmu-ilmu eksakta, seperti matematika dan fisika, membuatnya diarahkan untuk mengikuti program akselerasi hingga pendidikan jenjang sekolah menengah atas. "Pas SMP itu gue menamai komputer pertama: Plato," kata dia.
Setelah bekerja sekitar lima tahun di perusahaan inspeksi migas itu, Arif pun memenuhi keinginan masa kecilnya untuk berfilsafat. Meskipun mengikuti perkuliahan yang cukup berat, menurut dia, rasa penasaran terhadap filsafat mulai terpenuhi. Berbeda pendekatan dengan ilmu alam yang saklek, Arif mengakalinya dengan banyak membaca, berdiskusi, serta mendengar podcast dan video diskusi di YouTube. "Salahnya dulu enggak belajar lebih banyak sebelum masuk kuliah master. Jadi boleh dibilang gue masuk dengan keadaan nge-blank."
Arif tidak sendirian. Dimitry Ratulangie Ichwan, 24 tahun, lulusan teknik lingkungan Universitas Surya, juga gemar filsafat. Ia mengenal filsafat ketika hendak membuat materi untuk YouTube Channel tentang kesesatan berpikir atau logical fallacies. "Pas cari referensi ternyata semua topik yang ingin dibahas semuanya ada di dalam ranah filsafat," ujar dia. Penemuan itu juga membuat Dimitry, yang sehari-hari menjadi pelatih bisbol, memutuskan untuk menempuh pendidikan master di bidang filsafat.
Berasal dari dua bidang berbeda membuat Dimitry mengalami syok. Ia berusaha menemukan cara belajar filsafat dengan gaya eksak, yaitu mensimplifikasi konsep pemikiran-pemikiran para filsuf dan membuatnya menjadi sebuah rumus. "Akhirnya gue menemukan, filsafat lebih mengajarkan cara berpikir, instead of, bagaimana memikirkan sesuatu," kata dia. "Tapi tujuannya bukan mencari passion, lebih ke belajar karena ingin ilmunya."
Batari Anindita, perempuan 26 tahun, punya cerita berbeda. Meski sudah menempuh pendidikan master di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, ia punya dua alasan memilih pendidikan master ilmu filsafat. Pertama, ia ingin menggenapi ilmu hukum yang sudah digelutinya lebih dari lima tahun terakhir. "Ilmu hukum itu terobsesi banget sama kebenaran yang paling benar, sementara saya merasa dari awal kebenaran mutlak itu enggak ada. It’s all about perspective," ujar dosen ilmu hukum Universitas Hasanuddin tersebut.
Selain itu, Ditabegitu ia akrab disapamempertimbangkan orientasi kariernya. Menurut dia, di Indonesia bagian timur, khususnya, rata-rata pengajar mengambil spesialisasi hukum ekonomi, bisnis, perdata, dan pidana. "Enggak salah juga, cuma sebagai tenaga pengajar junior, saya enggak mau ngalor-ngidul. Tapi ternyata filsafat, dasar ilmu dari semua ilmu, justru saya tidak bener-bener paham." MADE ARGAWA (BALI) | ARKHELAUS WISNU