Bagi Ellen Nugroho, menggunakan metode sekolah rumah bukan berarti mengurangi waktu anak untuk bersosialisasi dengan teman-teman sebaya dan lingkungan sekitarnya. Bekerja sebagai direktur eksekutif pada sebuah lembaga non-pemerintah yang bergerak di bidang pendidikan dan toleransi di Semarang, Jawa Tengah, Ellen sering mengajak anaknya berinteraksi dengan rekan-rekan kerjanya.
Ia tak lagi asing apabila harus membawa si buah hati terjun langsung bersinggungan dengan lingkungan yang plural. Si anak pun tak canggung mengikuti ibunya membawa misi untuk meneliti dan membumikan pluralisme dalam acara Parakan Heritage and Pluralism Tour, di Parakan, Jawa Tengah, awal tahun ini. "Saya bisa mengajaknya meneliti keberagaman di sana. Langsung praktik dan memberi pendampingan saat membaca literaturnya," kata Ellen di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Kamis lalu.
Cara itu membuat anaknya terlatih untuk berkomunikasi dengan orang lain dan menerima pendidikan toleransi sejak dini. Berkaca dari pengalaman itu, Ellen pun menyayangkan adanya stereotipe dan prasangka negatif yang menyebut para homeschooler sebagai orang-orang yang dikucilkan secara sosial. Padahal, menurut dia, kebanyakan homeschooler adalah orang tua yang berpendidikan tinggi, berkomitmen memberi perhatian penuh, dan mengoptimalkan potensi anak. "Orang tua homeschooler yakin bahwa sekolah bukan satu-satunya tempat bersosialisasi," ujar Koordinator Nasional Perhimpunan Homeschoolers Indonesia (PHI) itu.
Ellen pun menilai metode belajar untuk anak melalui sekolah rumah kian menjadi pilihan orang tua. Pola pendidikan yang fleksibel dan menggembirakan membuat anak bisa memilih kegiatan-kegiatan yang disukai untuk mengembangkan diri. Orang tua pun langsung menjadi agen utama yang memantau pertumbuhan dan perkembangan anak. "Anak homeschooling itu, ke mana pun orang tua berkegiatan, anaknya ikut."
Meskipun tren cara belajar melalui sekolah rumah meningkat, para homeschooler harus berjuang melawan stigma bahwa orang yang tidak bersekolah di jalur pendidikan formal bukanlah orang berpendidikan. Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi, mengatakan pegiat sekolah rumah seharusnya berani bersuara untuk memutus rantai stigma bahwa orang berpendidikan hanya bisa dibentuk melalui pendidikan formal.
Ia mengatakan pilihan sekolah rumah adalah upaya orang tua memberikan alternatif untuk hak anak mendapatkan pendidikan. "Positifnya, ini menjadi hak anak, bukan paksaan dari orang tua," kata Kak Seto, sapaan akrabnya.
Laki-laki berusia 68 tahun pemilik Homeschooling Kak Seto ini menganggap sekolah rumah merupakan alternatif bagi anak-anak yang tidak cocok dengan jalur pendidikan formal. Beban tugas yang memicu stres anak, kurikulum padat, guru yang galak, hingga kegiatan belajar yang mengabaikan potensi anak kerap menjadi alasan untuk memilih metode sekolah rumah. Sehingga, menurut dia, bukan berarti didikan sekolah rumah tidak berbakat dan tidak berketerampilan. "Hasil didikan sekolah rumah dan sekolah formal pun tak bisa dibandingkan."
Seto menilai lulusan sekolah rumah acap kali menorehkan prestasi cemerlang. Di Homeschooling Kak Seto (HSKS), misalnya, tercatat jebolan sekolah itu bisa berkarya di berbagai bidang, seperti menjadi koki, pebisnis, sutradara, hingga atlet. "Ada yang jadi artis sampai olahragawan. Anak-anak bisa masuk ke semua bidang," kata pencipta karakter Si Komo itu.
Menurut dia, sekolah rumah berarti mengadakan sekolah yang homey, penuh kasih sayang, suasana persahabatan, penuh perhatian individu kepada siswa, dan tidak menggeneralisasi kemampuan anak pada angka-angka. "Kalau ada yang bilang homeschooling itu just school at home, itu enggak benar. Homeschooling itu homey." ARKHELAUS WISNU