Diam-diam, pembawa berita Metro TV Andini Effendi punya kebiasaan unik, yakni memulung sampah plastik dari tempat-tempat yang ia kunjungi. Senin lalu, misalnya, perempuan kelahiran 12 Desember, 36 tahun lalu, ini memperlihatkan isi tas kulitnya yang disesaki sebuah botol minuman ringan dan beberapa sampah plastik. "Ini bukan sampahku lho, aku ambil dari mobil taksi online waktu mau ke sini," kata Andini di Hotel Pullman, Jakarta Pusat.
Selain memungut sampah dari taksi atau kantornya, Andini bahkan kerap mengumpulkan sampah dari taman dan ruang publik. "Aku kan suka joging di Gelora Bung Karno, biasanya pulangnya aku sambil mungut sampah untuk dibawa ke rumah," ujarnya. Sampah-sampah plastik itu lalu ia kumpulkan di sebuah ruangan kosong di rumahnya.
Agar tidak menimbulkan bau dan mengundang serangga atau lalat, Andini mencuci sampah-sampah kemasan itu terlebih dulu. Tak hanya botol minuman, semua jenis sampah plastik seperti kemasan makanan atau wadah styrofoam kerap ia cuci sampai bersih. Setiap dua bulan sekali, aneka "sampah bersih" tersebut akan dijemput oleh kolektor sampah dari Kampus Diakonia Modern (KDM) Jakarta Green Project. "Mereka semacam bank sampah yang menampung sampah-sampah daur ulang," ujar Andini.
Siang itu, saat ditemui Tempo, Andini baru saja menjadi moderator untuk sebuah seminar yang membahas soal pentingnya daur ulang kemasan produk dalam acara Indonesia Circular Economy Forum 2019. Saat menjadi moderator, Andini sempat bercerita juga soal kebiasaannya memilah sampah di rumahnya, lalu menyalurkannya ke bank sampah. Kebiasaan ini, kata dia, sudah dilakukan sejak 2012, setelah ia menyelesaikan studi masternya di New York University. "Kebiasaan memilah sampai dimulai dari sana."
Dalam keseharian, Andini juga berusaha untuk benar-benar mengurangi produksi sampah. Ia menunjukkan botol minum berbahan kaleng yang kerap ditentengnya ke mana-mana. "Ini contoh sederhana," ujarnya. Saat membeli makanan di luar pun, Andini selalu mengupayakan menggunakan wadah sendiri.
Perempuan yang dikenal lewat program televisi Metro Malam dan Q&A ini melakukan aneka kebiasaan tersebut tak lain karena kesadaran akan lingkungan. Dulu, sebelum bisa mengelolanya, selalu ada perasaan bersalah menghadapi sampah rumah tangga. Apalagi, sebagai jurnalis, dia sering melihat berita tentang kerusakan lingkungan dan pencemaran. "Sekarang aku jadi merasa less guilty karena meminimalisasi sampah."
Apa yang dilakukan Andini adalah bagian dari gaya hidup minim atau bahkan nol sampah yang populer dengan istilah zero waste lifestyle. Konsep ini sebetulnya bukan barang terlalu baru, terutama di kalangan pemerhati lingkungan hidup internasional. Istilah ini muncul pertama kali dalam konferensi Zero Waste di Kataia, Selandia Baru.
Konsep tersebut memperkenalkan gaya hidup meminimalkan pemborosan dengan cara penggunaan kembali, mendaur ulang, dan membuat kompos yang selama ini terbuang sia-sia. Konsep ini dibawa oleh pendiri Zero Waster Selandia Baru, Warren Snow, ke Amerika Serikat dan mulai populer selepas 2000-an.
Di banyak negara kemudian muncul organisasi nol sampah yang mengadvokasi dan mengkampanyekan gerakan ini secara lokal maupun internasional sampai akhirnya terbentuklah Aliansi Zero Waster Internasional pada 2002. Namun konsep gaya hidup nol sampah baru benar-benar menggelinding kencang menjadi tren di masyarakat luas sekitar 5-7 tahun terakhir, ketika isu kerusakan lingkungan semakin banyak diperbincangkan.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Kemasan & Daur Ulang bagi Indonesia yang Berkelanjutan (PRAISE), Sinta Kaniawati, persoalan sampah menjadi isu gawat di Indonesia pasca-tragedi longsoran sampah di tempat pembuangan akhir Leuwi Gajah, Cimahi, Jawa Barat, pada 2005. "Sejak saat itu, regulasi terkait sampah semakin serius dibahas," ujarnya saat ditemui di kawasan Menteng, pekan lalu.
Namun gaya hidup minim sampah baru menjadi tren dua tahun belakangan sejak penggunaan media sosial semakin masif dan banyak yang mengkampanyekan gerakan ini. "Masyarakat jadi sadar untuk mulai meminimalisasi sampah," kata Sinta.
Salah seorang aktivis gaya hidup zero waste yang aktif berkampanye, baik di media sosial maupun langsung kepada masyarakat, adalah D.K. Wardhani. Ibu rumah tangga berusia 40 tahun asal Malang, Jawa Timur, ini memulai aktivitas minim sampah saat masih mengajar sebagai dosen perencanaan wilayah kota di Universitas Brawijaya sekitar 2008.
Waktu itu, ia mulai terpapar oleh isu sampah dan kerap berdiskusi tentang pengolahan sampah dengan koleganya. Dia menyadari bahwa masalah sampah tidak hanya berakhir setelah sampah diangkut tukang. "Dampak lingkungannya ternyata sangat panjang," ujar perempuan yang akrab disapa Dini itu kepada Tempo.
Dini perlahan mempelajari ilmu pengolahan sampah dan menerapkannya di rumah sendiri. "Saya mulai dengan memilah sampah, membuat kompos, membuat lubang biopori, dan stop penggunaan kantong kresek."
Di kampus, ia menginisiasi program bank sampah dan mengajak mahasiswanya terlibat. Karena semakin intens mendalami masalah sampah, Dini menyadari bahwa memilah sampah dan menjadi nasabah bank sampah saja tidak cukup. "Pengelola bank sampah juga kewalahan karena banyaknya sampah yang masuk," katanya. Dia lalu bertekad untuk mengurangi bahkan menihilkan jumlah sampah yang dihasilkan dari rumahnya.
Ia lalu berkenalan dengan konsep gaya hidup zero waste. Tapi, karena berasal dari luar negeri, konsep ini terkesan mahal dan sulit dilakukan oleh pemula. Agar lebih murah, dia mempelajari sendiri cara membuat barang-barang yang lebih ramah lingkungan, seperti detergen, pengharum ruangan, cairan pembersih lantai, sampai menyetop konsumsi makanan pabrikan. "Tujuannya untuk mengurangi sampah kemasan."
Secara perlahan, gaya hidup zero waste yang ia jalani menjadi kebiasaan dan bagian hidup sehari-hari bersama suami dan kedua anaknya. "Kami sudah tidak pernah belanja di toko," tuturnya.
Godaan bukan berarti tak ada. Dini mengaku, saat sedang bepergian, sering kali ia dan keluarganya ingin membeli makanan atau jajanan. Tapi, karena ia tak mau menghasilkan sampah, keinginan itu terpaksa ditunda. Apalagi jika ia tak membawa rantang atau wadah makan sendiri. Gara-gara kebiasaan itu, pola konsumsi keluarganya pun turut berubah.
"Kami sudah tak impulsif membeli barang, hanya mengeluarkan uang untuk keperluan yang benar-benar penting dan mendesak," katanya. Tujuan Dini mengurangi produksi sampah juga tercapai. Sudah tiga tahun terakhir ini bak sampah di rumahnya kosong alias tak menyumbang sampah ke tempat pembuangan sampah di kotanya.
Di media sosial, Dini kerap membagikan pengalaman dan aneka resep menjalani gaya hidup zero waste. Rupanya, konten karya Dini disukai banyak orang, terutama para ibu rumah tangga. Beberapa orang lalu berminat belajar langsung.
Dini membuka kelas daring melalui grup percakapan WhatsApp. "Peserta awalnya hanya 20 orang," ujarnya. Tapi dia menjalankannya secara serius dengan menyusun kurikulum hingga membuat sistem penilaian dan kelulusan untuk peserta. Kini, peserta kelas gratisnya tercatat sudah lebih dari 200 orang dan tersebar di banyak kota di Tanah Air.
Materi zero waste yang disusun Dini itu menarik minat editor untuk diterbitkan dalam bentuk buku. Karena Dini terdorong untuk menyebarkan ilmu ini lebih luas, maka ia sepakat menerbitkan buku berjudul Menuju Rumah Minim Sampah pada akhir September 2018.
Dalam buku ini, ia menjelaskan langkah-langkah yang bisa dilakukan oleh seseorang untuk mengurangi produksi sampah. Ketimbang mengkampanyekan prinsip 5R: refuse, reduce, reuse, recycle, rot (tolak, kurangi, gunakan kembali, daur ulang, dan mengkompos), Dini memilih prinsip cegah, pilah, dan olah yang lebih membumi bagi kalangan ibu rumah tangga.
Dini mengklaim orang yang mengikuti metodenya itu bisa mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke tempat pembuangan sampah sebesar 60-90 persen. Kini, Dini aktif menjadi pembicara untuk workshop mengenai gaya hidup nol sampah. Jumlah pengikut akun Instagram-nya mencapai 34,5 ribu akun. Tahun ini, dia berencana menerbitkan buku kedua tentang gaya hidup minim sampah di dalam lingkup yang lebih luas.
Berbeda dengan Dini yang lebih banyak membagikan ilmu zero waste di lingkungan rumah tangga, Siska Nirmala-pegiat zero waste asal Bandung-lebih menyasar kalangan anak muda. Sama seperti Dini, Siska juga pernah menerbitkan buku tentang gaya hidup nol sampah. Bedanya, Siska mengambil tema petualangan. Buku berjudul Zero Waste Adventure karyanya itu terbit pada 2017 dan berisi pengalaman serta kiat melakukan petualangan di alam terbuka tanpa menghasilkan sampah.
Siska mulai menekuni dan menjalani gaya hidup minim sampah ini sejak 2009. Waktu itu, ia mempelajari cara-cara meminimalkan produksi sampah melalui sebuah lokakarya di Bandung. Sama seperti pelaku zero waste lain, perempuan 32 tahun yang bekerja sebagai jurnalis ini mulanya hanya memilah sampah, membuat kompos, dan mengurangi konsumsi produk-produk berkemasan.
Tapi Siska terpanggil untuk menyebarkan konsep hidup minim sampah ini setelah ia mendaki Gunung Rinjani pada 2010. "Di sana banyak sekali sampah."
Pengalaman itu membuatnya heran. Menurut dia, seharusnya orang-orang yang gemar mendaki gunung merupakan orang-orang yang lebih sadar lingkungan dan tak mengotori alam bebas. "Ternyata yang terjadi justru banyak dari pencinta alam yang tak peduli."
Siska lalu menyusun metode melakukan pendakian gunung tanpa menghasilkan sampah. Dia menguji metode itu dengan cara melakukan ekspedisi ke lima gunung: Gede, Papandayan, Lawu, Tambora, dan Argopuro sepanjang 2013 sampai 2015 dengan misi nol sampah. "Ternyata bisa dan berhasil," kata dia. Pengalaman itulah yang ia tuliskan dalam bukunya.
Lewat buku ini, Siska ingin mendobrak tradisi petualangan di Indonesia. Selama ini, dia melanjutkan, para penggemar kegiatan alam bebas selalu memegang prinsip "jangan meninggalkan sampah di alam", tapi kenyataannya gunung tetap kotor. "Jadi bagaimana kalau prinsipnya diganti, jangan membawa sumber sampah ke gunung, menolak sampah sejak awal."
Dalam keseharian, Siska juga terus meningkatkan taraf zero waste-nya. Dia sudah tak pernah mengkonsumsi makanan ataupun camilan yang menggunakan kemasan. "Sudah lebih dari lima tahun saya enggak makan mi instan," katanya. Siska memilih memasak makanannya sendiri, itu pun dengan membatasi penggunaan bumbu. Setiap kali mengolah makanan, Siska hanya memakai garam, lada, dan gula. Penggunaan minyak goreng juga dibatasi, hanya untuk menumis. "Awalnya karena enggan ribet mengolah sampahnya, tapi lama-lama jadi terbiasa," ujarnya.
Siska mengatakan, setelah hampir tujuh tahun menjalani gaya hidup ini, banyak manfaat yang dia rasakan. Meski ia tak mau mengklaim zero waste lebih menghemat pengeluaran, gaya hidup ini membentuk pola pikir pelakunya menjadi tak konsumtif dan impulsif saat berbelanja karena memikirkan dampak lingkungan yang akan terjadi. "Jadi lebih berpikir panjang sebelum membeli barang." PRAGA UTAMA
Menolak Sampah Sejak dalam Pikiran