"Hai, rek. Apa kabare? Ketemu lagi sama saya Ini Vindy di Malang." Kalimat itu menjadi salam pembuka Harfrida Vindy Agustie di saluran YouTube-nya bernama Ini Vindy. Ahad lalu, Vindy mengulas lima jenama face palette lokal. Ia memberikan urutan dari nomor lima sampai nomor satu.
Vindy mengulas dengan memberikan informasi kepada penonton ihwal kelebihan dan kekurangan lima produk face palette tersebut. Dengan aksen Jawa yang kental, ia me-review produk riasan wajah itu, termasuk harga di pasar.
Saluran Ini Vindy sudah memiliki sekitar 1,6 juta pelanggan (subscriber) di YouTube. Akun Instagramnya pun sudah diikuti 367 ribu pengikut. Sebagai beauty vlogger di platform digital, Vindy memberi ulasan mengenai aneka produk tata rias di salurannya itu.
Baginya, membicarakan produk tata rias tak hanya mengatakan kepada penonton bahwa produk tersebut bagus, tapi juga menjelaskan hal apa yang membuat produk itu bagus dan memiliki kandungan apa. "Itu harus dijelaskan secara gamblang," katanya kepada Tempo melalui WhatsApp, Selasa lalu.
Vindy, 34 tahun, mulai menjadi beauty vlogger sejak 2012 melalui medium blog. Ia kemudian beralih ke medium audio visual di YouTube sejak 2014. Awalnya, ia membuat saluran YouTube sebagai persyaratan mengikuti lomba blog. Video pertama yang diproduksinya mengenai tutorial hijab.
TEMPO/ NITA DIAN
Bidang ini menarik perhatian Vindy sejak bekerja di salah satu media daring pada 2010. Ia ditugasi kantornya mengurus konten tentang perempuan. Tugas itu otomatis membuatnya lebih mendalami dunia wanita. Selain itu, ia merasa tata rias masih mirip dengan seni lukis yang disukainya. Perbedaannya terletak pada media aplikasinya saja.
Sejak 2014, ia membuat sejumlah konten seorang diri. Kini, dalam satu setengah tahun terakhir, ia sudah mempekerjakan seorang editor video untuk membantunya. Salah satu konten yang menjadi krea-sinya adalah ulasan produk tata rias. Ia beralasan setiap hari memakai satu produk tata rias sehingga ia ingin membagikan informasi mengenai produk itu, dan bagaimana produk itu cocok untuk wajahnya.
Vindy menjelaskan, ia memiliki batasan ketika bercuap-cuap tentang sebuah produk. Misalnya, bila klien memintanya mengulas produk mereka, ia akan meminta waktu untuk mencoba produk itu dan, jika tidak cocok, akan dikembalikannya kepada klien tersebut. Ia juga akan menolak produk yang belum bersertifikasi BPOM. Produk seperti pelangsing, pemutih, dan peninggi sudah pasti ia tampik. "Saya tak mau menerima semua yang terkesan palsu," katanya.
Ulasannya tentang produk tata rias tak hanya bisa dilihat di YouTube, tapi juga di Instagram. Tapi tak semua ulasan produk dibuat atas permintaan klien. Ia juga sering membeli sendiri satu produk tata rias yang kemudian ia unggah ke YouTube.
Benarkah para pengulas atau yang lazim disebut reviewer ini sering tak jujur dalam mengulas suatu produk? Vindy mengatakan, para pengulas itu bukannya memberi informasi palsu, melainkan biasanya berusaha membuka sisi baik dari produk itu. Para pengulas, kata Vindy, memiliki batasan masing-masing dan klien menyetujui hal itu. "Aku, misalnya, tak boleh me-ngucapkan sesuatu yang tak sesuai dengan apa yang aku rasakan."
Dari pekerjaan ini, Vindy menangguk rezeki yang lumayan. Tapi ia enggan memberitahukannya. Social Blade, situs web yang melacak statistik dan analitik media sosial, memperkirakan pendapat-an Vindy dari monetisasi YouTube berada di kisaran Rp 8,8 juta sampai Rp 138 juta per bulan (kurs per 21 Agustus 2019).
Para reviewer memang bermunculan di platform digital dalam beberapa tahun terakhir. Sejumlah bidang yang populer digeluti oleh para pengulas adalah tata rias, kuliner, tujuan wisata, dan gawai. Salah satu yang terhitung baru adalah menjadi pengulas hotel. Mereka menginformasikan segala seluk-beluk hotel atau penginapan, dari soal fasilitas, harga, hingga menu sarapan.
Para pengulas hotel biasanya memilih spesifikasi hotel masing-masing. Ada yang memfokuskan diri pada penginapan murah, ada pula yang lebih senang membicarakan hotel berbintang tiga sampai bintang lima. Salah seorang pengulas hotel berbintang adalah Kevin Helmy, 22 tahun. Ia cukup dikenal di platform Instagram dengan pengikut berjumlah 73,6 ribu per 21 Agustus 2019. Ia memakai nama Kepin Helmy di Instagram dengan alasan agar masyarakat mudah menemukannya dibanding memakai nama Kevin.
Kevin memilih segmen hotel bintang tiga sampai lima karena, menurut dia, penonton Indonesia lebih menyukai konten hotel yang murah sekali atau mahal sekali, dan Instagramable. Sebagai orang yang memiliki dasar fotografi, ia juga tak harus mengeluarkan upaya ekstra dalam mengambil foto hotel berbintang lima. "Kalau di bawah bintang tiga, saya repot menghasilkan foto yang bagus. Harus berpikir ekstra," katanya, Rabu pekan lalu.
Ulasan sejumlah hotel bintang lima di Jakarta sudah pernah ia unggah, seperti Hotel Kempinski, Hotel Pullman, dan Hotel Ayana Midplaza. Setiap bulan setidaknya lima undangan datang kepadanya. Namun rata-rata ia menerima permintaan ulasan untuk dua undangan saja. "Saat menginap di Kempinski itu keren sih. Bathtubnya mengarah ke Bundaran HI gitu," ujar Kevin, yang sudah mengulas hotel di sejumlah tempat di Pulau Jawa dan di luar Jawa.
Sebelum berfokus menginformasikan layanan hotel, Kevin mengunggah tayangan tempat-tempat wisata. Lalu undangan dari sebuah hotel menghampirinya. Sejak itu, dia memutuskan menjadi hotel reviewer. Pengikut akunnya pun melonjak.
Tak hanya menunggu diundang, Kevin juga mengirim proposal ke sejumlah hotel. Ia juga bercerita pernah menolak kerja sama dengan sejumlah hotel. Ini lantaran hotel tersebut hanya memberi ke-sempatan menginap selama semalam. "Saya biasa minta dua malam agar mengerjakan video dengan tidak terburu-buru," ucap Kevin.
Selain di Instagram, ia menulis di blog pribadi. Bisa juga penulisan dilakukan di dua platform tersebut sesuai dengan kesepakatan dengan pihak pengundang. Biasanya, ia dibayar menggunakan voucher menginap sebesar Rp 2 juta. Voucher itu kemudian ia jual kembali. "Memang penghasilan saya dari endorsement produk lebih besar," kata Kevin.
1
Sejumlah jenama, kata dia, memang menghampirinya setelah ia dikenal lewat ulasan tentang hotel. Dari endorsement sebuah produk, Kevin mengungkapkan, ia bisa mendapatkan Rp 15-20 juta sebulan.
Bagaimana cara Kevin bersiasat mengungkapkan nilai plus dan minus sebuah produk atau hotel? "Saya menghaluskan (kata-kata). Saat ini tidak ada ulasan jelek," kata dia.
Jumlah subscriber lebih dari 1 juta juga menghampiri saluran YouTube bernama Ken & Grat. Saluran ini dikelola sepasang kekasih, Kenneth Chandra dan Gratiana Lianto, yang gemar berburu santapan kuliner di Jakarta. Berkat hobinya itu, mereka kini memiliki 1,4 juta subscriber di YouTube.
Ken menjelaskan, kontennya berfokus mengulas makanan dari sisi rasa dan dari semua harga. Ia tak membatasi hanya mengulas street food atau restoran mahal. Mereka pernah menghabiskan uang sebesar Rp 5 juta untuk menyantap menu steak di Jakarta. "Kalau (restoran) yang Rp 1-2 juta lumayan sering, apalagi yang murah," katanya pada Kamis pekan lalu.
Ken & Grat, kata dia, berfokus mengulas kualitas sajian kuliner dari segi rasa dan presentasi. Mereka ingin berbeda dari tayang-an street food atau konten makan banyak yang biasa disebut mukbang.
Ken dan Grat mulai membuat konten ulasan kuli-ner di Jakarta pada 2016. Mereka rutin mengunggah tiga video dalam satu pekan. Tak jadi soal itu makanan murah atau mahal. Ken beralasan konten ini dibuat untuk menunjukkan bahwa tak selamanya makanan mahal itu enak. Contohnya, ketika mereka menemukan mi ayam seharga Rp 11 ribu di suatu tempat di Jakarta. "Gue makan murah, enak-enak saja."
Ken dan Grat, yang pernah mengulas ragam kuliner di Hong Kong, Australia, Malaysia, dan Vietnam, hanya memasang kriteria: menu kuliner itu unik, bersih, harganya terjangkau, dan sedang menjadi tren untuk tiap restoran yang mereka datangi. Sampai hari ini, mereka mengaku belum pernah menerima keluhan dari pemilik restoran.
Grat mengatakan, dia dan Ken selalu berusaha memberikan ulasan yang jujur meski di sisi lain mereka tak ingin menyerang bisnis orang lain. Mereka berhati-hati dalam memilih kata-kata yang hendak disampaikan kepada penonton. Ken dan Grat selalu menyampaikan bahwa apa yang mereka review merupakan pendapat pribadi dan tak mewakili siapa-siapa.
Keduanya tak menampik bila mendapat undangan dari pengelola restoran. Tapi mereka menegaskan memiliki kurasi tersendiri terhadap setiap undangan. "Kalau kami tahu itu tak enak, kami enggak bakal datang. Walau dibayar juga tak mau," ucap Ken.
Ken dan Grat enggan menyebutkan nominal penghasilan mereka dari YouTube. "Fluktuatif," kata Grat. Tapi, kata dia, salah satu sumber pembiayaan pernikahannya bersama Ken, ya, dari YouTube itu. Situs Social Blade memperkirakan pendapatan Ken & Grat dari monetisasi YouTube antara Rp 29 juta dan Rp 477 juta per bulan.
Pendapatan besar, juga sekaligus pengeluaran besar, dialami oleh kanal Droidlime di YouTube. Droidlime adalah saluran yang mengulas berbagai hal mengenai gawai, dari smartphone, smartwatch, laptop, hingga konsol game. Pengeluaran mereka dalam setahun mencapai Rp 100-200 juta, sebuah angka yang cukup fantastis.
Co-founder Droidlime, Romi Hidayat, mengatakan pengeluaran sebesar itu untuk membeli sejumlah gawai yang tidak dirilis di Indonesia. Ia dan timnya biasa membeli sejumlah gawai sampai ke Hong Kong, Cina, Singapura, dan India. Misalnya saja ulas-an tentang Asus Zenfone 6 yang belum rilis di Indonesia. Mereka mendapatkannya di India.
Romi, 32 tahun, mengungkapkan, Droidlime kini memiliki penghasilan berkisar Rp 15 juta hingga Rp 25 juta per video yang diunggah ke YouTube. Sedangkan dalam satu pekan, rata-rata mereka mengunggah empat video. Pendapatan ini di luar kerja sama yang mereka jalin dengan vendor gawai.
Menurut Romi, kerja sama itu biasanya dalam bentuk peminjaman produk. Timnya sama sekali tak dibayar. Kedua, kerja sama berbayar. Droidlime sudah mengulas gawai melalui YouTube dan situs web sejak November 2014.
Ketika mengulas, Droidlime akan memberitahukan kelebihan dan kekurangan gawai. Perbedaan mereka dengan pengulas gawai lain ada pada talent. Mereka memilih seorang perempuan sebagai reviewer. Mereka juga hanya memajang du-rasi tayangan 5-10 menit. "Yang hobi gadget itu biasanya laki-laki, kami kemas dengan reviewer perempuan agar segar dan tetap bisa fokus ke produk," ujar Romi, Rabu lalu.
Bagi Romi, obyektivitas adalah kunci untuk membuat penonton loyal terhadap konten yang mereka buat. Ia mengatakan, penonton di Indonesia sudah paham mana ulasan yang obyektif dan mana yang tidak. "Kalau yang penting duit, besok-besok penonton akan tersadar dan meninggalkan ta-yangan itu." Pernah suatu kali, kata Romi, ada pemilik produk yang memprotes dan meminta video itu dihapus. Mereka menolak menghapusnya dan, imbasnya, mereka tak mendapat bayaran.
Dalam sebulan, Droidlime biasa menerima 1-3 kerja sama ulasan gawai dari vendor. Mereka juga sudah diundang memberi ulasan di luar negeri: Cina, India, Korea Selatan, Amerika Serikat, Prancis, hingga Spanyol. Bahkan, pada September mendatang, mereka diundang Asus ke Berlin untuk membuat konten produk laptop terbaru. "Ini hobi kami. Meski hasilnya enggak oke pun, menjalaninya sudah menyenangkan," kata Romi.
DIKO OKTARA