Bioskop rakyat tak cuma ruang tontonan dan hiburan. Lebih dari itu, mereka punya cita-cita memajukan dunia perfilman Indonesia. Mereka berupaya membantu para sineas Indonesia untuk mengenalkan karyanya ke publik yang lebih luas. "Kehadiran bioskop rakyat yang hanya memutar film-film Indonesia akan semakin membuka jalan seluas-luasnya bagi film Indonesia ditonton masyarakat," kata Marcella Zalianty, pendiri Indiskop, bioskop rakyat di Pasar Teluk Gong, Penjaringan, Jakarta Utara, kepada Tempo kemarin.
Hal itu, menurut Marcella, akan membuat karya sineas dalam negeri mendapat apresiasi lebih banyak dari masyarakat. Sebabnya, Marcella menjelaskan, Indiskop akan memutarkan film-film dari komunitas film di daerah demi memberikan ruang berkreasi kepada mereka.
Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) ‘56 menilai, jika film buatan sineas lokal bisa kuat di dalam negeri, mereka juga akan kuat di luar negeri dan bisa dijadikan alat diplomasi ketika berbicara tentang Indonesia. Selain itu, kualitas sineas-sineas dalam negeri sangat luar biasa.
Di samping itu, sejumlah program disiapkan Indiskop untuk melibatkan komunitas kreatif. Misalnya kelas akting, kelas public speaking, bengkel film, dan festival film. "Kami membuka ruang belajar karena berkonsep edusinema. Kami ingin masyarakat tahu cara membuat film dan membuat film dengan mengangkat kearifan lokal," ujar Marcella.
Jika banyak orang belajar membuat film, kata Marcella, ini bisa memperluas lapangan pekerjaan karena produksi sebuah film membutuhkan kru dalam jumlah besar. Selain itu, kehadiran Indiskop memberi kesempatan kepada pelaku usaha kecil dan menengah untuk menjual dagangannya. "Ada dampak ekonomi dan dampak sosial. Tidak semuanya untuk kami (pengelola)," tutur Marcella.
Perihal mengangkat kearifan lokal sudah dilakukan komunitas Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga, Jawa Tengah. Melalui program bioskop rakyat, sejak 2006, CLC memutarkan secara konsisten film-film yang dibuat anggota komunitasnya dengan bahasa Banyumasan atau ngapak. Ini menjadi ciri khas dari film-film karya CLC. "Film dengan bahasa Banyumasan lebih membumi," ujar Bowo Leksono, penggerak CLC, kepada Tempo, Selasa lalu.
Bagi Bowo dan teman-temannya, masalah bahasa bisa diselesaikan dengan memasang subtitle di film mereka. Namun yang paling penting film dengan bahasa Banyumasan menjadi karya yang tidak kaku. Terlebih, penonton juga mayoritas pengguna bahasa itu dan masalah yang diangkat adalah persoalan yang bisa ditemukan di Purbalingga. "Masyarakat seperti menonton persoalan mereka sendiri dan menertawakan hidup sendiri," ucap Bowo. Rata-rata anggota CLC bisa menghasilkan 10 film dalam setahun.
Selain pemutaran dan produksi film, CLC juga menggelar lokakarya mengenai film kepada anak-anak muda di Purbalingga. Hal itu dilakukan demi memfasilitasi anak-anak muda di desa agar memiliki gairah membuat film, baik itu film pendek maupun film dokumenter.
Marcella Zalianty
Namun konsep bioskop rakyat CLC tidak punya tempat khusus. Mereka memutar film keliling di banyak tempat, termasuk di komunitas masyarakat. Misalnya, di gedung-gedung cagar budaya. Selain film Bayumasan, mereka memutarkan film dari daerah lain. Meski bahasanya berbeda, persoalannya dekat dengan kehidupan di Purbalingga.
Selain meng-angkat film-film produksi sineas lokal Purbalingga, bioskop rakyat yang diinisiasi CLC juga memberikan ruang kepada pegiat seni lainnya untuk unjuk gigi. Mereka selalu menempatkan pemutaran film di akhir acara, setelah sejumlah penampilan seniman asal Purbalingga, seperti pertunjukan musik dan baca puisi. Setelah pemutaran film, diskusi interaktif dengan pembuat film diadakan.
Hal serupa dilakukan komunitas film Kabelan Ngoopi, Kendal, Jawa Tengah. Menurut salah satu penggagas Kabelan Ngoopi, Amrul Hakim, pemutaran film di bioskop rakyat milik Kabelan sudah pasti diwarnai diskusi tentang film karya komunitas film setempat itu. "Semua dilakukan bergotong royong," tutur dia kepada Tempo, Rabu lalu.
Amrul menjelaskan di Kendal sulit menemukan ruang berekspresi sehingga Kabelan Ngoopi menjadi tempat pegiat seni dan budaya berkumpul. Tak hanya pegiat film, pegiat teater, kartunis, dan musik pun ikut serta. Mereka mendiskusikan berbagai hal, termasuk saling membantu jika terdapat satu kegiatan tertentu. "Ada guru PAUD juga dan membuat kelas bagaimana mengajar dengan cara mendongeng."
DIKO OKTARA