Sesungguhnya ia kikuk di depan kamera. Tapi Fajar Merah, putra penyair Wiji Thukul, bisa melaluinya dengan baik hingga film Nyanyian Akar Rumput kelar. Pada 16 Januari lalu, film dokumenter karya sutradara Yuda Kurniawan itu mulai diputar secara serentak di 16 bioskop di Indonesia. Berbeda dengan Istirahatlah Kata-kata garapan Yosep Anggi Noen yang berfokus pada sosok Wiji Thukul, Nyanyian Akar Rumput memotret Fajar Merah dan grup musiknya, Merah Bercerita, yang memusikalisasi puisi-puisi Wiji Thukul.
Nyanyian Akar Rumput juga bercerita tentang sang ibu, Siti Dyah Sujirah atau Sipon, dan kakak sulungnya, Fitri Nganthi Wani, untuk melengkapi kehidupan Fajar. Digarap selama empat tahun, film ini meraih sejumlah penghargaan, seperti Piala Citra kategori film dokumenter terbaik Festival Film Indonesia 2018; Netpac Award Jogja-Asian Film Festival 2019 di Figueira de Foz, Portugal; dan Film Dokumenter Panjang Terpilih Piala Maya 2019.
Di Gudang Sekarpace, Solo, kepada wartawan Tempo, Dinda Leo Listy, Rabu pekan lalu, Fajar menceritakan lebih rinci soal pembuatan film, proses kreatifnya bersama Merah Bercerita, hingga penggarapan album terbarunya yang diluncurkan sehari setelah film itu diputar. "Aku pengen-nya orang-orang kenal aku sebagai aku, bukan karena aku anaknya Wiji Thukul," kata laki-laki berambut kriwil berusia 24 tahun itu.
Sesulit apa Anda menjalani proses pembuatan Nyanyian Akar Rumput?
Itu prosesnya terbilang lama. Yang bisa membuat film dokumenter itu dikatakan berhasil ketika Mas Yuda Kurniawan tahu caranya mendekati seseorang yang kikuk di depan kamera, sampai akhirnya aku enggak peduli lagi ketika tahu dia membawa kamera. Pada tahap awal pembuatan film, selama satu tahun lebih, aku masih merasa enggak nyaman.
Yuda Kurniawan selalu mengikuti kegiatan Anda selama pembuatan film…
Dulu, dia setiap hari tidur sekamar di rumah di Solo. Aku bangun tidur saja dia sudah begini (tangan Fajar Merah memeragakan gaya sedang merekam menggunakan kamera). Ha-ha-ha… Risih banget awal-awalnya. Iki gek ngopo wonge (mau ngapain sih orang ini). Tapi Mas Yuda itu orangnya atos (keras). Rai gedhek, ndas tank (wajah gedek, kepala tank). Pokoknya enggak peduli, dia ke mana-mana bawa kamera.
Dari aku bangun tidur, ke kamar mandi, ditungguin. Beli es di samping rumah saja disorot kamera. Sampai aku bercanda ke Mas Yuda, ngganja-ngganja sik kene lho (ganja-ganja dulu sini). Ha-ha-ha… Dia meletakkan kamera pun dalam kondisi on record. Memang batu kok dia, sangar, dan total sekali.
Di film itu Anda bilang bahwa memusikalisasi puisi-puisi bapak untuk mengatasi kebingungan untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepada Wiji Thukul…
Di film itu kan momennya memang pas waktu rekaman sama launching album pertama. Tanggalnya memang dibikin pas sama tanggal kelahirannya Wiji Thukul. Ya begitu saja.
Anda dibilang tidak suka disangkutpautkan dengan Wiji Thukul. Mengapa?
Menurutku, itu sesuatu yang wajar sih untuk seorang anak. Mungkin dalam proses, seorang anak ingin menemukan dirinya yang sejati, maksudnya tidak terikat dengan apa latar belakangnya. Tapi mungkin itu memang hanya sebatas ego, aku pengen-nya orang-orang kenal aku sebagai aku, bukan karena aku anaknya Wiji Thukul. Jadi itu fenomena wajar. Beberapa teman yang orang tuanya masih ada, juga enggak mau dikait-kaitkan.
Apakah karena itu pada album kedua Nyanyian Sukma Lara, Anda benar-benar lepas dari puisi-puisi Wiji Thukul?
Soal aku yang selalu dikaitkan dengan Wiji Thukul, tanpa aku ngomong pun status itu selalu menempel. Dalam album kedua ini, akhirnya aku paham bahwa karakterku memang lebih kuat sebagai musikus daripada penulis. Secara kelas, topik, bahasa, aku tidak seperti Wiji Thukul dan aku tidak memaksa orang lain mengganggap lagu-lagu itu sama bobotnya dengan tulisan Wiji Thukul.
Apa pesan yang ingin Anda sampaikan lewat film ini?
Lewat film itu, aku inginnya sederhana saja. Semoga mereka yang menonton segera menyadari bahwa selama ini kita hidup di negara yang belum beres. Sudah itu saja. Kalau soal musikalisasi puisi, tujuannya memang sekadar memperkenalkan puisi-puisi Wiji Thukul dengan cara lebih santai untuk generasi sekarang yang mungkin belum tahu. Mengenalkannya dengan cara anak band.
Di salah satu panggung dengan foto Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden, Anda mengajak penonton menolak lupa sejarah perjuangan Munir, Marsinah, dan lainnya. Apa beda penanganan pelanggaran HAM kala itu dengan pemerintahan saat ini?
SBY dan Jokowi sama saja.
Dari pandangan Anda, melihat kondisi sosial, politik, dan hukum hari-hari ini, apa yang dipikirkan seorang Wiji Thukul?
Untungnya aku bukan orang yang pintar berimajinasi, jadi aku enggak bisa menjawab pertanyaan itu, ha-ha-ha… Aku juga enggak tahu, kalau Wiji Thukul masih ada sekarang, apakah dia masih sebagai aktivis yang rebel atau yang lain? Ada dua tipikal untuk teman-teman bapak sekarang. Pertama, kebanyakan jadi pejabat. Kedua, tetap menjadi seniman edan. Itu sering jadi bahan candaan di kalangan seniman. Kalau aku harus menjawab, aku enggak tahu apakah dia jadi pejabat atau tetap menjadi penyair.
Anda yakin penuntasan kasus pelanggaran HAM bisa diselesaikan Presiden Jokowi?
Masih ada harapan untuk Jokowi menuntaskan kasus itu. Walaupun aku tidak banyak tahu soal hukum, tapi secara kemanusiaan, kasus itu harusnya bisa diselesaikan. Menurutku, sudah sepatutnya presiden mempunyai kekuatan untuk menuntaskan kasus-kasus lama yang sampai sekarang belum selesai. Itu kewajiban siapa pun yang jadi presiden. Secara pribadi, aku sudah tidak ada masalah karena sejak kecil tidak mengenal bapakku, tapi aku kenal ibuku, kakakku, dan aku tahu perjuangan mereka demi mencari kepastian akan kasus itu.
Apa harapan Anda kepada pemerintah untuk menyelesaikan kasus HAM?
Minimal menyelenggarakan pengadilan HAM. Kasus itu memang bukan salah SBY dan Jokowi. Tapi di sini, bukan soal benar atau salah. Sejatinya presiden punya power yang kuat untuk melakukan itu, lebih dari siapa pun yang ada di negara ini. Cuma kenapa penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat tidak pernah dikerjakan?
Menurutku, kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia itu hanya untuk gayeng-gayeng, untuk rame-rame saja. Kasus HAM itu hanya jadi gimmick yang menarik bagi orang-orang yang punya tujuan berkuasa. Jadi, saya sudah tidak nggumun (terkejut). Sekelas band U2 saja kecewa dan tidak mau konser di Indonesia karena menganggap kita negara yang bermasalah soal HAM.
Setelah rilisnya film ini, Anda tertarik masuk ke dunia seni peran?
Saya selalu siap untuk menjadi tokoh figuran. Kalau jadi tokoh utama, enggaklah. Sebelum main peran, saya sudah sadar peran. Sebenarnya saya salah satu orang yang sulit narsis. Jadi, untuk show off di depan kamera, aku sudah keburu mati gaya.
Dulu, bagaimana awalnya Anda membentuk Merah Bercerita?
Saya tidak menyangka bahwa Merah Bercerita menjadi nama band dan bisa diterima banyak orang. Minimal wong-wong njero, orang-orang di kalangan dekat kami. Merah Bercerita itu sebenarnya judul lagu yang sekarang ada di dalam intro Nyanyian Sukma Lara. Lagu itu enggak ada liriknya alias instrumental.
Saya ngeband sejak 2010. Waktu itu masih sekolah di SMK Negeri 8 Surakarta, dulu namanya Sekolah Menengah Karawitan Indonesia. Band pertama aku lupa namanya, terus berubah menjadi Milagros, kayak merek air minum itu lho. Dipikir-pikir, nama band Milagros itu wagu (aneh).
Dari mana nama Milagros itu?
Milagros itu artinya mukjizat. Nama Milagros itu diperoleh setelah vokalis yang pertama keluar dari band. Jadi tinggal saya, Yanuar (pemain bas), dan drumer Alfian (drumer pertama sebelum Lintang Bumi). Saat itu sudah punya empat lagu, tapi belum jelas. Kami enggak tahu karakternya mau ke mana dan materi lagu masih campur-campur. Salah satu lagunya berjudul Merah Bercerita dan sekarang masuk jadi intro album Nyanyian Sukma Lara.
Kapan pertama kali Anda mencoba memusikalisasi puisi Wiji Thukul?
Pertama kali saya coba puisi judulnya Bunga dan Tembok. Setelah lagu itu jadi, baru diputuskan pakai nama band Merah Bercerita. Jadi, sejak itu, 2013, nama band kami Merah Bercerita. Waktu itu aku sudah berhenti sekolah.
Ada yang berpikiran bahwa nama Merah Bercerita merupakan proyek pribadi Anda…
Dari awal aku mempertimbangkan, aku memang khawatir kalau band ini akan dianggap orang lain sebagai proyek pribadiku karena kebetulan namaku Fajar Merah. Tapi teman-teman tidak menjadikan itu sebagai masalah. Aku selalu menegaskan bahwa Merah Bercerita itu bukan aku sendiri, tapi bersama yang lain.
Anda sempat mengalami penolakan saat hendak manggung?
Enggak pernah. Untungnya aku enggak terkenal, jadi intel-intel itu enggak tahu aku. Ha-ha-ha...
Siapa yang menjadi inspirasi Anda dalam berkesenian?
Tanpa sadar mungkin karena pengaruh lingkungan. Sejak aku kecil sampai masuk sekolah dasar, rumahku masih sering buat latihan drama untuk tampil di panggung 17 Agustusan. Kalau bermusik ini awalnya kenal dari anak bude, namanya Mas Jodi yang ngeband juga. Dari dia, aku belajar main drum. Setiap latihan bersama teman-temannya, aku ikut. Sebelum waktu sewa di studio habis, aku diberi kesempatan untuk ngedrum. Sekitar kelas V SD, aku baru punya gitar sendiri, dibelikan ibu. Hitungannya aku telat belajar gitar karena awalnya ingin jadi drumer. Sekarang masih bisa ngedrum, tapi kaku.
Bagaimana pengaruh Wiji Thukul terhadap Anda?
Dia adalah salah satu seniman yang berpengaruh bagiku, tapi hanya pada karya-karya tulisannya. Kalau jalan hidupnya, enggak. Menurutku, semua orang memperjuangkan sesuatu yang sama, untuk dirinya sendiri, untuk orang lain, dan untuk membuat hati bahagia.
Apakah Wiji Thukul juga suka dalam bermusik?
Setahuku yang main musik itu adiknya bapak, Om Nasri. Kalau di gereja untuk pelayanan, dia selalu yang pegang gitar. Aku juga tahu cuma dari foto. Kalau bapakku, paling cuma seni cungkil kayu.
FAJAR MERAH
Lahir: Solo, Jawa Tengah, 22 Desember 1995
Pendidikan: SMK Negeri 8 Surakarta (tidak lulus)
Album: - Merah Bercerita (2015), - Nyanyian Sukma Lara (2020)
Filmografi: Nyanyian Akar Rumput (2018)