Puisi Seorang Cina yang Ingin Menjadi Gubernur dibacakan Okky Madasari pada malam yang sama saat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. "Saya bukan Ahokers, tapi dalam kasus penistaan agama ini dari awal saya sudah bicara keras. Saya melawan, mengkritik, dan itu sudah berlangsung lama," tutur Okky kepada wartawan Tempo, Aisha Shaidra, di rumahnya pekan lalu.
Orasi dan pembacaan puisi karyanya itu menuai kritik dari netizen di akun Instagram miliknya. Okky memasang foto dirinya membawa lilin dan poster bertulisan "cabut pasal penista agama". Tak sedikit netizen berkomentar sinis, mempertanyakan agamanya, mengatainya ngawur. "Sedih, tapi jadi semakin yakin perjuangan masih panjang. Tak hanya untuk terus mengkampanyekan bahwa pasal ini harus dicabut, tapi juga mengedukasi masyarakat."
Okky punya pandangan yang tidak bisa ditawar: kebebasan berekspresi dan demokrasi. Karena itu, dia menolak pula rencana pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia. Pembubaran Hizbut Tahrir, menurut dia, adalah ancaman bagi kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat, serta kebebasan menganut ideologi.
Okky sendiri memilih jalan sastra sebagai media penyampai gagasan. Jalannya memang tak setegas menyampaikan kritik melalui tulisan di media massa. Namun dia yakin sastra punya kekuatan mengubah pandangan orang secara perlahan.
Juli mendatang, Okky akan meluncurkan buku terbarunya, Yang Bertahan dan Binasa Perlahan. Buku itu merupakan kumpulan novelet yang ditulis pada 2007-2017. Sebulan setelah itu, ia sudah disibukkan dengan perhelatan ASEAN Literary Festival yang digagasnya pada 2014. Menurut dia, isu penistaan agama akan jadi salah satu materi diskusi dalam acara tersebut.
Apa yang mendorong Anda hadir di LP Cipinang malam itu?
Harus saya sampaikan saya bukan Ahokers. Saya tak terlibat sama sekali dalam dukung- mendukung pilkada DKI. Saya bahkan kritis terhadap Ahok. Tapi, dalam kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok, dari awal saya sudah bicara keras. Saya melawan, mengkritik, dan menyampaikan pendapat.
Sejak kapan Anda bersuara keras soal isu penistaan agama?
Saya ingat sekali demonstrasi pertama, 4 November tahun lalu. Saat aksi 411, saya sedang di Dili, Timor Leste, bersama masyarakat di sana. Saya melihat di televisi banyak orang turun ke jalan menuntut agar Ahok dipenjara. Ketika itu sudah muncul kegelisahan dalam diri saya. Ini enggak benar, jangan sampai berlanjut.
Dari Dili, saya menulis opini di surat kabar berjudul Langit Makin Mendung. Hal ini membawa ingatan saya pada kasus yang menimpa cerpenis bernama pena Kipandjikusmin, penulis cerpen Langit Makin Mendung di majalah Sastra. Ia menulis cerpen dengan tokoh Nabi Muhammad yang turun ke Indonesia.
Ia mempertanyakan masyarakat Indonesia kok makin sedikit yang masuk surga. Bagi muslim, nabi tidak bisa diinterpretasikan seperti itu, dimasukkan ke dalam cerita dan sosok seperti itu. Demo besar pun terjadi pada 1968. Kasusnya dibawa ke pengadilan. Editornya, H.B. Jasin, menolak membuka identitas penulis dan membiarkan dirinya menanggung hukuman penjara.
Cerita itu kan imajinasi dan kreativitas penulis. Kreativitas dan imajinasi tak bisa dikerangkeng, dibatasi oleh apa pun, bahkan termasuk oleh mungkin agama, tradisi, hukum, dan sebagainya, tak bisa. Lalu, pada 1990, Arswendo Atmowiloto, Pemimpin Redaksi majalah Monitor, bikin survei tokoh paling populer. Dalam hasil survei, Nabi Muhammad mendapat posisi tidak terlalu tinggi. Hal tersebut mendapat reaksi dari masyarakat. Padahal itu kan sesuai pilihan publik?
Apa yang Anda lihat dari dua peristiwa tersebut?
Apa yang kita pelajari pada masa itu preseden buruk bagi kebebasan berekspresi, bagi kebebasan menyampaikan pendapat, khususnya bagi penulis. Saya penulis, saya bisa merasakan kedekatan itu dengan diri saya dan profesi saya. Bagaimana mungkin imajinasi kita bisa dianggap salah. Bagaimana mungkin imajinasi diatur oleh selera banyak orang lalu diatur oleh peraturan hukum, itu kan tidak masuk akal.
Bagaimana mungkin bisa mengatur kehendak masyarakat, menentukan idola, menentukan cara berekspresi. Itu dua kasus yang mengemuka dan menarik perhatian publik, dan saya merasa sangat dekat karena profesi keduanya pengarang dan penulis.
Di luar itu, masih begitu banyak kasus lain yang mungkin tak punya dukungan dari publik, tidak punya akses terhadap informasi, sehingga dengan mudah dieksekusi, dihukum tanpa pembelaan. Bahkan, di beberapa tempat, mereka bisa mendapat kekerasan tanpa ada yang membela, seperti Ahmadiyah yang dianggap menghina Islam sehingga dianggap layak diperlakukan tak adil, diusir, bahkan dibunuh.
Sehingga pasal penistaan ini sangat penting untuk dicabut?
Kita melihat definisi dan interpretasi terhadap penodaan agama sangat beragam, sesuai selera setiap orang, dan bisa digunakan sebagai alat politik. Ahok dijatuhi hukuman 2 tahun penjara, langsung dibawa ke penjara pula. Bagi saya, itu keputusan yang mengecewakan. Dari sisi apa pun, itu keterlaluan. Malamnya, dengan kawan-kawan kami membuat aksi di Cipinang. Itu semua keluar dari kegelisahan mengapa orang masih suka mempermasalahkan hal-hal tak substansial, seperti kelompok etnis dan agama.
Pasal tadi dijadikan alat politik seperti yang dialami Ahok?
Nah, karena kesadaran itu yang membuat saya sejak awal bersuara keras. Dalam kasus ini, kebetulan menimpa Ahok dan berada dalam situasi politik. Saya percaya memang jelas ini ada unsur politiknya. Artinya, ketika sesuatu berpotensi dianggap penistaan agama terjadi dalam sebuah persaingan politik, tentu orang akan mudah untuk membakarnya, memanfaatkannya. Di sinilah kita lihat bahwa pasal penistaan agama bisa dimainkan sesuai kepentingan, berdasarkan suka-tidak suka.
Saya harus konsisten menyuarakan persoalan ini karena menyangkut kebebasan berekspresi, bersuara, dan lebih luas lagi ini persoalan yang tidak selaras dengan prinsip demokrasi. Makanya, dalam membela kasus ini, saya tak hanya berfokus membela Ahok, tapi berupaya menyuarakan pencabutan pasal ini.
Aksi 4 November adalah titik tolak Anda?
Iya. Dan setelah aksi 4 November itu beberapa kali saya terlibat secara terbuka menyuarakan pencabutan pasal penistaan agama. Di luar semua itu harus diketahui juga ada beberapa pihak yang sudah memperjuangkan upaya penghapusan pasal tersebut. Pasal ini sudah dibawa ke Mahkamah Konstitusi, tapi ditolak. Semoga masyarakat makin sadar ada pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang saking tak jelas definisinya bisa sangat berbahaya bagi setiap orang. Pasal ini batasannya rasa. Merasa terhina atau tidak, merasa tersakiti atau tidak, suka atau tidak suka. Kalau saya tak suka orang itu, apa yang dikatakannya bisa berarti menista.
Apakah Anda melihat penggunaan pasal penistaan ini erat kaitannya dengan kelompok mayoritas versus minoritas?
Bukan dalam konteks mayoritas, minoritas. Tapi selalu akan melibatkan tekanan massa kalau bicara soal pasal penistaan agama. Harus diakui penistaan agama di Indonesia tak hanya terhadap Islam. Ada juga penganut agama lain yang melaporkan penistaan agama terhadap keyakinan yang lain.
Kemudian harus diakui pula kita ada dalam situasi kelompok mayoritas dan minoritas. Akan ada yang dominan dan tidak dominan. Dominasi ini ditunjukkan, misalkan, dari jumlah massa yang digerakkan. Hal itu bisa memberikan tekanan. Putusan hakim kemarin (terkait dengan kasus Ahok) menunjukkan bahwa hakim bisa ditekan oleh banyaknya massa.
Anda pernah mengalami tekanan massa?
Pernah. Seperti di acara saya, ASEAN Literary Festival (ALF) III tahun lalu. Saat itu acara kami dituding mendukung gerakan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) dan juga mendukung penyebaran paham komunisme. Massa yang datang saat kami menggelar acara tidak banyak. Hanya beberapa kelompok masyarakat. Sayangnya, polisi baru begitu saja sudah ketakutan dan berpikir orang yang datang ini representasi mayoritas.
Dan polisi ikut terbawa?
Iya, masih ada yang memandang komunisme jadi musuh di Indonesia. Padahal mana, sih? Emangnya ada komunisme saat ini? Itu kan ide dan gagasan. Paham itu hidup, ada, kalau ada yang menganut, merayakan, lantas mengaplikasikannya. Kalau enggak ada kan harusnya santai saja.
Makanya saya pun tak sepakat dengan rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Mungkin dalam hal ini saya bisa berseberangan dengan beberapa kawan. Tapi saya tetap harus konsisten dengan apa yang saya yakini.
Apa yang Anda yakini?
Pembubaran HTI juga ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Ancaman pada kebebasan berserikat, pada kebebasan untuk menganut ideologi apa pun. HTI itu kan orang pengajian, diskusi, mengemukakan gagasannya mengenai sistem khilafah yang dipandang sebagai bentuk sistem paling bagus, maka harus diperjuangkan. Masak mau membubarkan HTI yang menyebarkan ideologi semacam itu? HTI mungkin bisa dibubarkan dengan kekuatan pemerintah, lewat jalur hukum, tapi orang yang mengajarkan syiarnya akan tetap bersyiar, akan terus berdiskusi, akan terus menyebarkan gagasannya lewat media sosial. Sekarang kalau memang ide khilafah tak ada yang merespons, menyuburkan, tak akan ada wacana negara khilafah di Indonesia.
Parameter yang tepat untuk menindak harusnya bagaimana?
Ukurannya adalah adanya kekerasan dan pelanggaran hukum. Selama tidak ada kekerasan, tidak ada tindakan kriminal, tak melanggar hukum, tak ada yang boleh dilarang atau dibubarkan.
Jadi bukan dengan melarang. Kalau ada anggota HTI yang, misalnya, melakukan kekerasan, intimidasi, itu harus ditangkap. Nah, yang di depan mata, misalnya FPI datang ke Cikeusik untuk mengusir Ahmadiyah, malah enggak diapa-apakan.
Orang atau kelompok yang direpresi biasanya akan semakin militan. Pemerintah harus belajar soal itu. Semakin direpresi sebuah ideologi atau keyakinan, tak akan membuat mati. Justru akan semakin bergelora. Lawan ideologi dengan ideologi lagi, lawan wacana dengan wacana. Makanya kita harus merebut massa ini, terutama anak muda.
Apa pandangan Anda terhadap toleransi masyarakat saat ini?
Harus diakui makin memburuk karena sekarang orang dengan mudah mengekspresikannya. Jangan-jangan kita ini dari dulu memang intoleran, cuma enggak ada media untuk menyalurkannya, jadi cuma dipendam di hati, rasan-rasan, hanya cerita ke orang. Nah, di zaman media sosial ini, semuanya mudah diartikulasikan, semuanya gampang menyuarakan kebencian. Lalu mereka bertemu dengan orang-orang yang seolah juga sepaham dengan mereka, membuat mereka makin yakin apa yang diperjuangkan itu benar.
Cara apa yang menurut Anda perlu dilakukan untuk menangkal gagasan negatif?
Saya sebagai penulis dan kawan lain yang bergerak di bidang budaya harus bergerak melalui pendekatan produk budaya untuk mempengaruhi.
Apa strategi untuk mendekati anak-anak muda?
Ini sudah menjadi risiko penulis. Zaman ini seorang penulis tak bisa menulis saja lalu selesai. Kami juga harus mengkomunikasikan, membawa gagasan dan ide sedekat mungkin ke pembaca, kepada generasi yang kita sasar, yang ingin kita ubah pemikirannya.
Saya aktif masuk ke kampus-kampus, berdialog, berdiskusi dengan mereka. Saya aktif di media sosial, anak muda sekarang banyak berkumpul di sana. Dari pihak yang berkomentar di akun medsos saya saja terlihat bagaimana anak muda cukup aktif.
Perilaku di medsos cukup menjadi cerminan?
Setidaknya mereka ada. Mereka berani bersuara dan mereka wajah generasi muda yang memainkan gawai saat ini. Mau tak mau kita berhadapan dengan mereka karena mereka bersuara. Selama ini kita bicara soal silent majority, tapi yang akan dihitung tetap yang bersuara.
Bagaimana mendekatkan generasi muda terhadap sastra jika minat membaca pun rendah?
Saya selalu percaya minat baca rendah bukan karena orang Indonesia malas membaca, tapi karena akses terhadap buku yang berkualitas tak tersedia bagi semua orang, sehingga harus ada banyak peran mendekatkan akses ini. Budaya membaca perlu dibentuk.
Perubahan pola pikir dan perspektif terjadi bukan dalam jangka pendek, tapi jangka panjang. Dan saya percaya kesadaran manusia akan terus bertransformasi dan berkembang. Siapa pun akan dapat pencerahan asal ada pemicu serta kesempatannya. Saya percaya, semakin orang membaca, akan semakin terpengaruh perspektifnya.
Tapi proses sastra itu lambat...
Ya, benar. Kalau menulis di koran tentang sebuah kebijakan, dalam hitungan hari bisa berubah kebijakannya. Sastra memang tak menuntut perubahan seperti itu. Ia tak berteriak-teriak meminta A mengubah si B. Dia bekerja pelan, mengubah perspektif, mengubah jiwa. Orang yang sudah berubah pandangannya itu yang akan melakukan perubahan. Misalnya, pembaca karya saya banyak yang berkata mereka jadi punya pandangan berbeda soal Ahmadiyah serta isu-isu lain yang saya angkat.
Bagaimana Anda melihat sastra bekerja?
Saya percaya tulisan memiliki kekuatan besar dalam membentuk dan menyampaikan gagasan, dalam mempengaruhi dan membentuk pola pikir. Saya terlatih menyampaikan kritik melalui tulisan saat menjadi jurnalis. Ketika memutuskan menulis novel tahun 2009, saya sudah meyakinkan diri untuk tak sekadar menulis karya sastra pengantar tidur. Harus sebuah karya yang menyuarakan persoalan masyarakat, persoalan ketidakadilan, memberi ruang terhadap hal terabaikan. Semua saya angkat dalam novel Entrok, Maryam, 86, Pasung Jiwa, dan Kerumunan Terakhir.
Anda yakin pilihan tersebut tepat?
Saya tetap akan menggunakan jalur sastra dan literasi untuk memperjuangkan gagasan dan nilai keadilan di masyarakat.
Okky Puspa Madasari
Lahir: Magetan, 30 Oktober 1984
Suami: Abdul Khalik
Anak: Mata Diraya
Pendidikan:
- Sarjana Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (2005)
- Master Sosiologi Universitas Indonesia (2014)
Karya:
- Entrok (2010)
- 86 (2011)
- Maryam (2012)
- Pasung Jiwa (2013)
- Kerumunan Terakhir (2016)
Penghargaan:
- Khatulistiwa Literary Award 2012 untuk novel Maryam