Seorang pria kaya (Rendra Karno) datang ke Arena Pekan Raya Jakarta, yang dulu dikenal sebagai Gelanggang Dagang, untuk mencari kekasih. Pria kaya ini kepincut kepada seorang penjaga stan Batik (Baby Huwae), meski ia sudah mempunyai pacar (Bambang Irawan). Si pria kaya mengejar-ngejar penjaga stan itu. Sementara itu, si pacar berhubungan dengan fotografer muda yang juga bertugas di arena gelanggang tersebut. Amor segi empat.
Berjudul Amor dan Humor (1961), film ini dibumbui ulah tiga orang kocak (Ateng, Mansyur, dan Bing Slamet). Mereka mencuri batik-batik buatan stan Batik. Padahal kain-kain itu akan dipamerkan dalam fashion show. Kisah berkembang dengan urusan percintaan yang diwarnai tingkah polah kocak ketiga orang tersebut.
Film ini merupakan satu dari empat film karya Usmar Ismail yang ditayangkan di layar virtual Kineforum pada 17-31 Maret 2021. Tiga film lain yang diputar untuk memperingati Hari Film Nasional dan seabad Usmar Ismail adalah The Big Village, Asrama Dara, dan Lahirnya Gatotkatja. Tak hanya di Kineforum, beberapa film karya Usmar, seperti Lewat Djam Malam dan Anak Perawan di Sarang Penyamun, ditayangkan di Kinosaurus.
Diskusi "Usmar Ismail dan Aliran Realisme Sosialis" , 27 Maret 2021. Youtube/Dewan Kesenian Jakarta
Hari Film Nasional jatuh pada 30 Maret. Hari pertama acara peringatan itu dimulai dengan proses produksi film Darah dan Doa (Long March of Siliwangi) karya Usmar Ismail pada 1950. Usmar lahir di Bukittinggi, 20 Maret 1921, dan meninggal di Jakarta pada 2 Januari 1971. Ia menempuh pendidikan di HIS Batusangkar, MULO di Padang, AMS Yogyakarta, kemudian belajar sinematografi di Universitas California, Los Angeles, Amerika Serikat, pada 1952.
Usmar dikenal pula sebagai wartawan dan pernah menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (1946-1947). Dia juga pernah aktif di bidang sosial dan politik. Usmar adalah Ketua Umum Lembaga Seniman Muslimin Indonesia (Lesbumi) (1962-1969), anggota Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1964-1969), dan anggota DPRGR/MPRS (1966-1969).
Dewan Kesenian Jakarta menggelar beberapa diskusi daring tentang Usmar Ismail. Salah satu diskusi yang menarik ialah mengenai karya Usmar Ismail pada periode pasca-kemerdekaan, 1950-1970-an. Kala itu, Usmar melahirkan karya-karya dengan situasi dan dinamika politik yang naik-turun. Apalagi, selain sebagai sineas, ia terjun di dunia politik.
Di mata pengamat film Lisabona Rahman dan Adrian Jonathan, dalam diskusi "Kekaryaan Usmar Ismail Periode Lanjut"- pada masa itu, persoalan ekonomi dan politik berpengaruh terhadap karya Usmar. Lisabona juga mengatakan konstelasi politik post-colonial dan ekonomi dunia sedang tidak baik. Krisis dan perang dingin ikut mempengaruhi politik dalam negeri. Hal ini juga mempengaruhi karya Usmar. “Tampaknya, selain situasi krisis ekonomi dan politik, ada keadaan yang membuat manusia tak berdaya,” ujar Lisa.
Hal ini tampak pada karakter para tokoh dalam filmnya, terutama tokoh perempuan yang tak berdaya, terbelenggu keputusannya, dan kalah oleh sistem politik. Ini bisa dilihat dalam film The Big Village. “Sangat berbeda dengan Anak Perawan di Sarang Penyamun atau film Usmar pada paruh pertama masa berkaryanya.”
Hal serupa dikatakan Adrian bahwa karya-karya Usmar pada periode tersebut tak bisa dilepaskan dari situasi politik yang penuh dinamika. Ia berusaha menghimpun tema yang ada meskipun tidak secara komersial. “Sejak awal dia berjuang, struggle. Sejak awal kemerdekaan lalu masuk ke demokrasi terpimpin, ia terjepit dan perekonomian merosot,” ujar Adrian. Usmar harus menyesuaikan dengan situasi di mana produksi juga tak bisa maksimal karena gonjang-ganjing politik, terutama menuju 1965 dan setelahnya. Para seniman, termasuk Usmar, menjadi ikut terpolitisasi.
Usmar merupakan sosok yang pantang menyerah. Ia berjibaku dalam menghidupkan film dengan kerja kerasnya. Sayangnya, usaha Usmar sering tak dihargai, bahkan ditipu orang. “Usmar ini seorang produser yang kreatif, tapi bukan seorang yang pintar cari uang,” ujar Lisabona. Dia juga menyebutkan, meski menjadi politikus, Usmar adalah sosok yang mempunyai etika.
Diskusi "Dari Tonil Hingga Atni" dalam 100 Tahun Mengenang Usmar Ismail "Amor, Humor, Usmar". 29 Maret 2021. jakartscouncil
Usmar Ismail merupakan sosok seniman yang cukup komplet dan multidimensi. Tak hanya dari urusan film, tapi ia juga seorang penyair, cerpenis, penulis naskah, hingga sutradara teater. Ia menulis naskah sandiwara dan mendirikan Teater Maya pada era pendudukan Jepang. Bersama Asrul Sani, Usmar mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang menjadi cikal bakal Institut Kesenian Jakarta.
Dalam dunia teater, ketika tonil berjaya dengan banyak cerita dari Barat, Usmar memilih tak ikut arus. Bambang Prihadi, Ketua Komite Teater DKJ, mengatakan Usmar memantapkan perangkat film yang lahir dari dunia teater. Ia menyiapkan naskahnya dan aktornya terlebih dulu yang berasal dari dunia teater. Film Usmar dimainkan oleh aktor yang terasah dari teater.
Naskah-naskah karya Usmar, menurut Bambang, menyampaikan kegelisahan hati dan menyuarakan zaman. “Kelihatan sekali perjuangan Usmar untuk menegakkan fondasi teater modern yang didasari nasionalisme yang kuat.”