Adhimas Prasetyo
Lelaki yang Bersembunyi
-setelah The Son of Man, René Magritte
telah penuh
sepotong hari
tersusun
dari langit yang mungkin
akan hujan
dan sekadar laut
yang menghampar
sampai kejauhan.
setelah petak-petak
tembok rendah itu,
seorang lelaki
bersembunyi,
bermain petak umpat
tanpa hitungan mundur.
ia tahu, sebuah distraksi
adalah sebaik-baiknya
tempat sembunyi.
padahal
telah penuh
sepotong hari
yang serealis ini,
tetapi seorang lelaki
menutup satu
kemungkinan, sesuatu
yang seharusnya
ada.
2020
Post-Coital Tristesse
kesedihan itu
telah sampai pada pagi,
ketika kau dengar titik-titik
dari sisa hujan.
sementara kamar
cuma sepotong scene
dalam layar tanpa warna.
dari lembab dinding,
kau melihat
gemetar bayang pundakmu
yang telanjang.
begitulah kini,
kau merasa terjebak
sebagai satu tokoh
tanpa bahasa.
tak ada angin,
cuma anyir keringat
terapung di udara,
dan rasa sakit
tak lagi bisa bersembunyi
di balik metafora.
kesedihan itu
telah sampai
sedari larik awal puisi ini.
meski sebelumnya
kau telah bersiap
dari segala bentuk penyesalan.
sampai ketika akhirnya
kau ingin percaya
bahwa seluruh kematian
adalah tempat
di mana surga
disembunyikan.
2021
Di Satu Kota ketika Kau Mulai Menyadari
Semua Orang Berbicara dengan Lirik Lagu R.E.M.
selalu, di kota ini, ke mana pun kau pergi,
kau dapati dirimu sampai di tempat yang sama,
bertemu dengan orang-orang yang sama,
orang-orang dengan bahasa yang sama.
mereka berbicara tentang hari-hari
yang panjang dan melelahkan,
juga masa lalu yang selalu menyakitkan.
semua orang punya kesakitan yang sama,
lalu menangis dengan cara yang sama.
kau melihat orang-orang. meski akhirnya
kau cuma meminjam mata orang lain
untuk melihat dirimu sendiri.
dari sanalah kau belajar bahwa dalam hidup ini,
bahwa hidup hanyalah tentang memilih jalan yang salah.
sementara harapan selalu berlari di depanmu,
meninggalkan tubuhmu yang terus berlubang.
pada esok hari yang jauh barangkali akan ada akhir,
seperti yang semua orang bicarakan selama ini.
semua orang memikirkan apa yang ingin mereka pikirkan,
memercayai apa yang ingin mereka percayai,
meski semua yang mereka inginkan cuma sebatas barangkali.
kau tutup telingamu, tapi cuma ada kenyataan,
kenyataan pahit yang tak butuh bahasa untuk bisa kau dengar.
selalu, di kota ini, ke mana pun kau pergi,
kau merasa Stipe, siapa pun ia,
terus mengawasimu, selalu mengawasimu
dari tiap pojok jalanan.
2020
Adhimas Prasetyo menulis dan membuat ilustrasi. Saat ini sedang menempuh pendidikan magister di Universitas Gajah Mada. Buku puisinya berjudul Sepersekian Jaz dan Kota yang Murung (2020).