Sesosok makhluk itu seperti orang, tapi bukan manusia biasa. Tubuhnya yang telanjang tanpa kelamin seperti batang pohon kekar dan berurat. Jemari tangan dan kakinya lancip meregang. Ketegangannya seperti memuncak oleh otot-otot yang mengeras di bagian leher hingga kepala, yang besarnya terlihat sangat ganjil. Kepala itu berisi atau semacam kumpulan wajah-wajah kecil yang berdesakan.
Perupa Tisna Sanjaya mengusung karya barunya berjudul Strategi Kebudayaan (2020) itu dalam bentuk patung perunggu, lalu diramu dalam instalasi video pertunjukan. Gagasannya menyodorkan pendekatan budaya untuk menangani persoalan sosial dan lingkungan terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan yang berkolaborasi dengan pemilik modal. Tisna percaya seni punya kekuatan sebagai agen perubahan untuk mengembalikan tatanan masyarakat.
Karya baru lainnya muncul dari tangan Mujahidin Nurrahman. Seniman kelahiran Bandung pada 1982 itu masih mengolah gambar senapan serbu AK-47. Senjata mematikan itu diperhalus kesannya dengan bentuk perulangan geometris sehingga memunculkan pola dekoratif simbol keagamaan dengan teknik potongan kertas. Lewat karya berjudul Invisible Monster itu, Mujahidin menyoroti soal gerakan politik massa berlatar keagamaan seperti di Indonesia.
Phreatic #2 karya Arin Dwihartanto Sunaryo.
Karya Tisna dan Mujahidin tampil dalam pemeran "Trajectory: A Decade of Lawangwangi", di Galeri Lawangwangi, kawasan Bandung Utara, Jawa Barat, 24 April hingga 24 Mei 2020. Pameran itu digelar untuk merayakan pendirian 10 tahun Lawangwangi. Kurator Asmudjo J. Irianto & Gumilar Ganjar memilih sepuluh seniman lintas generasi sejak era 1990-an hingga sekarang untuk pameran itu.
Selain Tisna dan Mujahidin, ada Arin Dwihartanto Soenaryo, Bandu Darmawan, Eddy Susanto, Etza Meisyara, Heri Dono, Jim Allen Abel, Mella Jaarsma, dan grup Tromarama. "Pameran ini ingin mengamati bagaimana dalam dua dekade terakhir ini wacana dan pasar masih berperan dalam simbiosis mutualisme," kata kurator dalam tulisannya di katalog pameran.
Arin menampilkan lukisan abstrak berjudul Phreatic #2 buatan 2015 yang mengeksplorasi bahan pigmen dari sumber lain, seperti abu vulkanis hingga limbah makanan. Adapun Bandu Darmawan membuat instalasi augmented reality (AR) berjudul Gelombang Terakhir (2020). Temanya mengangkat soal kebiasaan pengguna media sosial berbasis gambar untuk memanipulasi citraan. Sementara itu, pelukis Eddy Susanto dengan gambar bergaya klasik dan garis berkalimat membuat lukisan berjudul The Decalogue.
Etza Mesyara menyajikan 10 gambar berjudul Eternal Duality, yang menjadi metafora harmoni dari dua elemen berbeda. Dia pergi ke laut untuk mencelupkan foto-foto pemandangan dan bencana di piring tembaga. "Saya menggunakan metode etsa foto pada kuningan piring, kemudian ditutup dengan ditambahkan belerang," ujarnya. Warna karyanya tidak dilukis, melainkan dari hasil proses pembakaran untuk mendapatkan warna kemerahan.
Karya lain dalam pameran bersama itu adalah Genetic Manipulation, buatan Heri Dono pada 2018. Lewat sosok ganjil paduan manusia dan hewan, karya patungnya berkisah tentang kemungkinan ciptaan baru dari kecanggihan teknologi yang bisa menghasilkan bencana dan perang serta menaklukkan kekuatan humanistik seperti cerita komik. Adapun Jim Allen Abel mengangkat beberapa perubahan sosial setelah masuk Internet lewat karya foto berjudul Speculative Realism.
Seniman dari Yogyakarta lainnya, yaitu Mella Jaarsma, hadir lewat karya berjudul Blinkers (Penutup Mata) buatan 2017. Dia membuat semacam patung berupa sekat-sekat yang berdiri tegak dan bisa dipakai orang. Mengaku tertarik pada politik pakaian, Mella mengangkat persoalan sosial hingga politik dari kostum yang dipakai manusia. Akan halnya grup seniman Tromarama membuat karya video pendek berdurasi 4 menit berjudul Marvin. Idenya tentang persoalan spesies, alam, manusia, dan dunia berteknologi digital sekarang ini.
ANWAR SISWADI