Mengenakan setelan jas rapi, Jpret naik ke kursi sambil menyebarkan uang. "Lima miliar untuk wilayah, sepuluh miliar untuk pusat, seratus miliar untuk....," kata Jpret, tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Ia terjatuh lunglai. Tiga tembakan mengenai tubuhnya. Tapi kabar di televisi menyebutkan Jpret mati bunuh diri karena kalah memenangkan orang yang didukungnya. Nenek tirinya membantah berita itu, namun suaranya senyap karena dibungkam dengan ancaman senjata.
Jpret (Bambang Ismantoro) baru saja menjadi anggota tim sukses salah satu partai. Ia ikut Goliath (Gandung Bondowoso), yang sudah lebih dulu menjadi anggota tim sukses. Karena tak sukses, Jpret pun dihabisi. Keadaan pun menjadi mencekam karena tekanan dan todongan senjata. Media mencoba bersuara, tapi akhirnya menyerah di bawah moncong bedil. "Perlu disosialisasikan pengamanan terpadu agar siaga satu. Barang siapa memprovokasi akan ditembak mati," demikian si presenter (Dwi Hastuti) menyampaikan beritanya sambil menggigil ketakutan.
Adegan berganti memperlihatkan seorang lelaki dengan muka tertutup membawa kapak mencoba meraih sebuah kursi tergantung. Rupanya, ia adalah Jpret yang hidup lagi. "Aku Jpret, rakyat yang ditembak mati. Tapi rakyat tak bisa mati. Kursi ini yang menjadi biang huru-hara, rakyat jadi gontok-gontokan, tega membunuh," ujarnya sambil mencoba menghancurkannya. Tapi kursi ini tetap kokoh berdiri.
Jpret mendudukinya. Dengan lantang ia meneriakkan tak perlu pemilu yang menghabiskan triliunan rupiah, ditambah rakyat gontok-gontokan dan saling bunuh. Ia memproklamasikan bahwa kekuasaan ada di tangannya, tangan rakyat. "Aku orang yang tepat mendudukinya. Rakyat yang harus duduk di kursi ini selamanya. Monarki, kekuasaan mutlak di tangan raja. Rakyat raja. Aku rakyat, akulah raja...," ujarnya sambil berdiri di kursi membuka tangannya. Tapi kembali peluru ditembakkan ke tubuhnya. Rupanya, Jpret bermimpi.
Jpret dan neneknya (Laila Lubis) adalah rakyat kecil kebanyakan. Mereka tak tahu politik dan demokrasi. Mereka diombang-ambingkan oleh kekuasaan dan politik uang para politikus yang haus kekuasaan. Potret mereka digambarkan dalam pentas Teater Mandiri dalam lakon berjudul Jpret. Ini adalah pementasan lawas dari acara Helateater Komunitas Salihara 2014 yang ditayangkan ulang dalam saluran YouTube Komunitas Salihara Art Centre program Stay A(r)t Home pada Jumat, 10 April lalu.
Teater Mandiri, yang dipimpin Putu Wijaya, dengan tajam mengkritik tentang demokrasi dan pemilihan umum. Penonton disuguhi kisah Jpret yang hidup bersama nenek tirinya terus dicekoki berita tentang pemilu melalui televisi. Jpret, neneknya, dan Jpret-Jpret lain dikepung wajah para caleg yang diobral di semua tempat. Mars pemilihan umum yang selalu menyapa menjelang pemilu juga dihadirkan memperkuat suasana.
Pertunjukan STAY A(R)T HOME: JPRET. Komunitas Salihara Arts Center
Namun ada pula suara yang mengingatkan Jpret untuk memilih caleg yang mengerti kebudayaan, berperikemanusiaan, tidak korupsi, tidak menekan rakyat, tak membiarkan rakyat kelaparan, serta tak membuat rakyat sengsara dan tidak diskriminatif. Tapi, kenyataannya, Jpret tetap dikelilingi para wakil rakyat tak bermutu, tak punya etika, yang menyogok Jpret dengan uang mereka. Dan pada akhirnya Jpret pun memilih, yakni mencoblos semua gambar caleg dan partai. Para caleg pun kecele dan bersungut-sungut. Adegan ini sangat satiris.
Putu dalam pentas ini pun menampilkan rakyat yang juga tak kalah pintar ketika politikus mendatangi mereka. Itu diwakili melalui suara nenek yang sering buang hajat. "Kalau mau memimpin negeri ini, jangan tanya rakyat minta apa, mau apa, siapa rakyat. Bagaimana mereka mau memimpin kalau hanya tahu yang mereka mau," ujar si nenek.
Sang sutradara mengemas adegan dengan tata panggung minimalis. Untuk menampilkan adegan reporter membaca berita di televisi, sebuah layar dilubangi dan diiringi musik pengantar yang khas. Panggung dilengkapi sebuah bilik kecil di bagian samping untuk tempat buang hajat, sebuah kursi, dan meja. DIAN YULIASTUTI