Ia telah berpulang dua dekade lalu. H.B. Jassin lahir pada 31 Juli 1917 dan wafat pada 11 Maret 2000. Pemikiran dan karya-karyanya masih terus hidup dan tetap menjadi acuan dalam dunia sastra. Pada 11 Maret lalu, Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin menggelar acara untuk mengenang kritikus dan dokumentator ini. Sehari kemudian, 12 Maret, Bentara Budaya menggelar kegiatan serupa. Dari dua acara tersebut, menguat gagasan akan pentingnya langkah untuk menumbuhkan sastra dan kritikus sastra di Indonesia.
Acara di PDS H.B. Jassin menghadirkan pembicara Oyon Sofyan dan Wahyu Wibowo, dengan moderator Ariany Isnamurti. Oyon, sosok yang dekat dengan H.B. Jassin, mengenang sang paus sastra itu sebagai pribadi yang bersahaja dan setia kepada dunia sastra. Hidupnya melulu dicurahkan untuk sastra tanpa memikirkan masalah keuangan. Jassin akrab dengan banyak seniman dan punya komitmen kuat untuk mengumpulkan buku dan karya mereka serta membuat klipingnya.
Dalam kesempatan itu, Oyon juga menyampaikan harapan kepada Pemerintah Provinsi DKI agar pengelolaan PDS H.B. Jassin lebih maju. Ia berharap Pemprov bisa memperbarui data dan memperluas layanan PDS karena menjadi rujukan banyak peneliti, baik dalam dan luar negeri. Hal senada disampaikan Ariyany Isnamurti, Kepala PDS periode 2011-2018. "Saya kira harus tetap eksis dan lebih maju dengan layanan digital yang lebih luas secara online. Saya juga berharap di bawah Pemprov DKI ada program yang lebih terukur," ujar Ariany.
Acara mengenang Jassin di PDS diwarnai oleh pembacaan puisi, pembacaan cerpen, dan kenangan bersama H.B. Jassin. Sementara itu, diskusi lainnya di Bentara Budaya pada 12 Maret lalu menghadirkan pembicara sastrawan Eka Budianta dan dosen FIB Universitas Indonesia, Sunu Wasono.
Eka Budianta menyatakan harapannya agar anak muda bisa tertarik dan meneladani kepedulian H.B. Jassin. Karya Jassin, kata Eka, masih menjadi rujukan materi pembelajaran. "Pengertian sastra Indonesia belum beranjak dari pemikiran H.B. Jassin," kata Eka kepada Tempo, melalui aplikasi pesan, kemarin.
Menurut dia, sepeninggal H.B. Jassin, tidak ada kritikus yang punya otoritas untuk menentukan siapa yang sastrawan atau bukan. Akibatnya, sastra mainstream (kanon) mandek di Angkatan 66. Mengutip perkataan Jassin, waktu itu penulis dan pemerhati masih sedikit sehingga lebih mudah menonjol. Pada 1995, Indonesia hanya punya 400 sastrawan, termasuk yang sudah wafat. "Sekarang lebih dari 10 ribu orang (sastrawan) tanpa seleksi," ujar Eka.
Hingga kini, Eka mengatakan, tak ada yang menyamai atau meneruskan dalam memperhatikan, melayani, mendengarkan, dan mempromosikan bakat-bakat baru. Beliau mengenal satu persatu karya yang diulasnya, mendokumentasikannya dengan tulisan tangan, memberi saran, mengajak diskusi, berkorespondensi, bahkan memberi perhatian secara pribadi.
Kritikus sekarang, kata Eka, terbatas pada studi teks, bukan manusianya. Hal ini terjadi mungkin karena sudah ada terlalu banyak karya sehingga tak sempat mendalami dan susah mempromosikan temuan baru.
Eka juga menjelaskan, sebagai ganti kritikus, sekarang ada komunitas yang memberikan panggung bagi lahirnya sastrawan. Ia mencontohkan komunitas seperti Lingkar Pena, Jazirah Sastra, Satupena, Deo Gratias, dan Forum Penyair. Ada juga komunitas yang besar, seperti Negeri Poci dengan 500-an penyair dan Hari Puisi Indonesia (HPI), yang menjaring 300 judul buku dalam setahun dan aktif di 60 kota. Lingkar Pena juga didukung ribuan penulis di dalam dan luar negeri. "Tapi bersifat partisipatif, bukan selektif yang berorientasi ke mutu."
Selain itu, kata Eka, untuk bisa menghasilkan sastra modern Indonesia yang menarik bagi anak-anak muda, diperlukan dukungan data dan kearsipan. Jadi, masyarakat, terutama anak muda, bisa mengakses kegiatan sastra seluas dan selengkap mungkin. Dari sana diharapkan muncul apresiator dan komentator yang membantu memasyarakatkan karya terpilih.
Eka menilai PDS bisa berperan untuk menghasilkan para kritikus sastra yang andal. Misalnya, PDS membuat kursus menulis kritik sastra untuk melahirkan kritikus dengan mentor yang berkualitas. Harapannya, muncul kritikus yang bisa mengusulkan nama dan karya yang diajarkan di sekolah. Ia juga menilai PDS punya produk yang terukur, yaitu kajian ilmiah untuk kepentingan masyarakat yang diakui sahih dan tepercaya.
Ia bahkan mengusulkan agar PDS bisa menjadi seperti Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) yang didirikan Christianto Wibisono, yang memberikan layanan berbayar.
Soal dokumen dan arsip sastra, Kepala Satuan Pelaksana PDS H.B. Jassin, M. Nanang Suryana, mengatakan PDS sudah mulai mendigitalisasi arsip dan dokumentasi. Dari 85 ribu lembar, tahun ini ditargetkan minimal selesai 10 persennya. Itu dimulai dengan enkapsulasi dokumen seperti mengepres dokumen tapi bukan laminating, tidak dipres, lalu di-scan dan didigitalisasi. "Dari Februari lalu sudah dapat 1.200 lembar," ujar Nanang.
Ia menambahkan, lembaganya baru menangani naskah dan kliping umum, mengikuti dokumen yang ada berdasarkan nama pengarangnya, seperti tentang Chairil Anwar, semua dokumen, surat tulisan tangan, dan kliping di koran. Masyarakat masih belum bisa mengakses secara online dan mengunduhnya, tapi bisa melihatnya. "Hal ini karena terkait dengan hak cipta atau tulisan yang belum diterbitkan, sehingga harus mendapatkan izin dari yang bersangkutan atau ahli warisnya," kata dia.
Untuk layanan berbayar seperti usul Eka Budianta, menurut Nanang, "Belum ada program ke sana dan harus menunggu instrumen hukum berupa perda." DIAN YULIASTUTI