Perempuan itu terjaga di tengah malam. Ia perlahan melepas pelukan pasangannya, lalu mengendap meninggalkan kamar. Rupanya, ia menyiapkan upaya pelarian dari sebuah bangunan megah, mewah, di sebuah perbukitan yang jauh dari keramaian itu. Raut wajahnya memperlihatkan trauma dan ketakutan. Di tepi jalan kecil, perempuan itu dijemput saudara perempuannya, Emily (Harriet Dyer). Lelaki itu bangun dan mengejar. Ia memecahkan kaca mobil Emily, namun mereka berhasil kabur.
Adegan Cecilia Kass (Elizabeth Moss) kabur dari Adrian Griffin (Oliver Jackson-Cohen) itu membuka The Invisible Man. Cecilia berusaha lepas dari cengkeraman "monster" yang dalam kondisi tidur pun tetap terus waspada. Selang beberapa waktu, sebuah pesan sampai pada Cecilia. Adrian dikabarkan tewas bunuh diri. Ilmuwan kaya raya dengan spesialisasi bidang optik dan manipulasi cahaya itu meninggalkan warisan sangat banyak untuk Cecilia.
Namun kabar kematian itu sama sekali tak membahagiakan. Cecilia yakin ada sesuatu di balik kematian Adrian. Sebagai orang yang mengenal betul sosok ilmuwan obsesif itu, Cecilia sama sekali tak percaya mantan kekasihnya tersebut dengan mudah mengakhiri hidupnya. Nyatanya, kecurigaan Cecilia beralasan. Rentetan teror pun kemudian hadir membayangi hidupnya.
Cecilia yakin Adrian hanya memalsukan kematiannya dan sukses menemukan teknologi untuk tak terlihat sehingga bisa dengan mudah menguntit dan menerornya. Bahkan Adrian mampu merusak hubungan Cecilia dengan adik perempuannya dan setiap orang yang ada di dekatnya, teman masa kecilnya (Aldis Hodge), hingga putrinya (Storm Reid). Namun cerita dan apa yang dialami Cecilia dianggap sebagai ketakutan tak berdasar, bahkan mendekati gila. Perlahan-lahan, ketakutan itu mulai tampak jauh lebih rasional.
Kisah ilmuwan gila yang terobsesi menemukan teknologi agar dirinya tak terlihat ini diangkat dari novel karya H.G. Wells tahun 1897, The Invisible Man. Novel ini pertama kali difilmkan pada 1933. Tentu saja butuh banyak pendekatan anyar dengan kondisi saat ini. Maka, di tangan sutradara Leigh Whannell, cerita seram tentang bahaya pengetahuan terlarang ini hadir dengan versi cukup berbeda. Invisible Man menjadi kisah menakutkan dengan latar kekerasan rumah tangga dan patriarki.
Teror dan suasana horor yang disajikan dalam film ini berasal dari kekuatan besar dari akting Elizabeth Moss, yang nyaris di sepanjang film berhasil menunjukkan ketakutan, kecurigaan, serta rasa lelah dan nyaris putus asa menghadapi teror yang nyata seorang diri. Moss begitu total memainkan tokoh Cecilia. Ia begitu meyakinkan memerankan seseorang yang merasa terteror, sehingga efek itu pun sangat dirasakan oleh penonton.
Sang sutradara pun piawai menyajikan gambar-gambar ruang kosong dan lengang, koridor sepi, bangunan kokoh, tanpa harus menambahkan suasana seperti bangunan berhantu lengkap dengan efek suara menegangkan. Cukup lewat tatapan Cecilia ke kursi kosong dan keyakinan dia bahwa ada seseorang yang mendudukinya. Tengok pula saat ia berdiri di teras rumah, tiba-tiba ada uap tipis muncul begitu saja di dekat wajahnya. Begitu pula suara-suara kecil yang hadir jauh sebelum tanda fisik muncul, menambah keresahan dan ketegangan. Misalnya derit papan lantai atau nada tidak menyenangkan di sebuah waktu.
Gerak kamera pun turut menentukan ketegangan dan adegan apa yang mungkin akan terjadi berikutnya. Pada akhirnya Invisible Man cukup berhasil menyajikan teror dan horor dengan penutup yang kuncinya sudah ditunjukkan Cecilia di tengah cerita. AISHA SHAIDRA