Mereka berselimut kain hitam seperti orang kedinginan. Dalam diam dan sunyi mereka berjalan, berjajar, merapat dalam lingkaran. Menempati blocking panggung dalam garis lurus, kadang melingkar dan diagonal. Keenam penari dalam gerak lambat bergantian melangkah. Sebagian sambil membungkuk-bungkuk dan yang lain terus berjalan.
Tihar atau kendang mereka keluarkan dari balik selimut dalam gerak formasi berkelompok. Kain selimut ditanggalkan. Mereka lalu menggendong, memanggul, menenteng kendang. Mereka mulai bergerak lari melingkar, tapi tihar belum mereka tabuh. Sejenak kemudian sebuah lagu daerah mereka nyanyikan. Salah seorang di antara mereka memimpin nyanyian itu.
Koreografi Ibuibu Belu: Bodies of Borders karya Eko Supriyanto itu dipentaskan pada Kamis-Jumat, 6-7 Februari lalu, di Teater Salihara, Jakarta. Ini merupakan karya terbaru seniman kelahiran Kalimantan Selatan, 26 November 1970, itu. Sebelumnya, Eko sukses dengan Trilogy of Jailolo: Cry Jailolo (2015), Balabala (2016), dan Salt (2017).
Koreografi anyar ini merupakan penjelajahan artistik Eko di Pulau Timor. Ia menelisik ragam tari tradisi likurai di berbagai dusun dan suku di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Sebab, tiap lokasi mempunyai ragam tari dan adat yang berbeda, seperti di Dirun, Raimanuk, Matabelo, Lakmanen, dan Bunak.
Menurut Eko, tradisi di NTT dan Timor Leste tak banyak berbeda meski belakangan mereka terpisah atau beda negara. "Gagasan Bodies of Border ini adalah saat di mana tubuh tak bisa melampaui batas tubuh orang lain, demikian juga dengan tradisi yang tak terpisahkan oleh batas wilayah," ujar Eko di sela gladi resik, Rabu lalu.
Likurai, yang ditarikan perempuan atau ibu-ibu, memperlihatkan hubungan sosial masyarakat di seluruh Timor. Tari ini digunakan sebagai simbol penghormatan kepada yang datang ke Kabupaten Belu dan menyambut para pejuang yang pulang dari medan perang. Eko menggali ritual dan tradisi tarian likurai ini hampir dua tahun.
Karya ini berbasis gerak likurai yang lebih banyak langkah kaki dalam pola lurus, berjajar, setengah lingkaran, dan melingkar. Koreografi memang terasa lamban dan sunyi pada mulanya, tapi menjadi lebih berwarna dengan nyanyian dan gerak dinamis setelah beberapa saat.
Salah satu penari menepuk dada dengan kedua tangannya sambil menyanyi. Tepukan kemudian beralih ke kepala hingga seluruh badan bagian depan. Sebuah nyanyian tradisi tentang orang-orang yang mereka sayangi terdengar. Si penari pun menangis karenanya. Penari lain bergerak lambat dengan tiharnya, dengan kaki-kaki terangkat agak tinggi.
Tihar mulai ditabuh ketika penari bergerak setengah berlari berbentuk melingkar, mengitari panggung, seperti ular meliuk dan bergerak ke sana-kemari. Mereka juga berputar saling membelakangi. Deru tabuhan kendang yang disebut seran amalautek atau tibidik itu menguar di panggung. Ruangan teater menjadi lebih meriah dengan deru kendang yang makin keras menggaung dengan teknologi, sementara penari mematung berkelompok dalam sorotan sebuah lampu.
Lewat koreografi ini, Eko menjelaskan ingatan sejarah yang tersimpan dalam likurai. Ada trauma, seperti kehilangan keluarga karena perang atau kerusuhan yang membuat hubungan terpisah. Likurai memperlihatkan kekuatan kekerabatan orang-orang yang kini dipisahkan oleh batas-batas politik, geografi antarwilayah, yakni Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste.
Proses penyiapan koreografi dan latihan karya ini berlangsung lebih dari satu tahun. Para penari ini bukan orang baru yang menari bersama Eko. Mereka pernah ikut dalam koreografi pembukaan Asian Games pada 2018 dan menari dalam HUT ke-74 kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2019 di Istana Merdeka.
Para penari ini juga bukan orang-orang baru dalam menarikan likurai. "Kami semua sudah bisa likurai dari kecil, kami belajar langkah, blocking, dan koreografi pengembangannya," ujar Yunita Dahu, salah satu penari, kepada Tempo, seusai gladi resik.
Yunita bersama empat penari lainnya merupakan asli Belu. Adapun seorang penari lainnya, Feliciana Soares, semula tinggal di Timor Leste (Timor Timur) dan mengungsi ke Belu karena kerusuhan saat referendum pada 1999. Kisah kepahitan sejarah masa lalu itu pun hidup dalam kenangan para penari. "Kami pernah tinggal di bawah pohon, beratap terpal saja," ujar Feliciana. Para penari lain menimpali banyak saudara dan keluarga mereka juga menderita saat itu. DIAN YULIASTUTI