Bagus Likurnianto
/1/
kalau kau tak tahu caranya memerah susu
coba tanyakan kepada langit mediterania
barangkali nubuat hidupmu lekas tercurah
dan alexandria kembali basah
bagaimana moreno menerawang tubuh hassan
saat segalanya masih sinawang dalam bayang hujan?
sapi-sapi dari tibet membawa puja
pada tiap-tiap perah susunya
mereka terlahir dari sabda matahari
saat sumbu siang berkilauan
serupa mantra
berhati-hatilah dengan gerhana, katamu
ia kelak melahap jiwa saat samsara
tiada lagi bertumpu pada waktu
dan beberapa belulang
/2/
rimbun rambutmu jadilah sabana
aku ingin mengenang pepadang luas yang diasuh
rumputan berduri, pada lancip matamu
seekor anjing menggeram tajam
pada limbung hatimu seorang pemburu membidik sunyi
o, zebra-zebra yang manis dan sakti
lihatlah belangmu, lihatlah belangmu!
pada hitam-putih putih-hitam tubuhmu matahari
nyala-redup dan hari silih berganti
namun kami tak kunjung menemu balong
yang bening dan hening
selain air susu ibumu atau puji terbaik dari
perahan sapi-sapi di balik tenda para pemukim
o, mahmoud sang musafir yang bijaksana
di manakah kau simpan
segala gurun dan badai juga leher jerapah
yang motifnya disembunyikan
semak alang-alang?
mestinya tendamu tak cukup lebar
untuk merahasiakan semesta dan seisinya
pula riwayat cipta muasal cerita
mengajari peluru menembusi waktu yang renta
/3/
akasia yang teduh di nyalang matamu menggetarkan
hati singa penuh dendam mencabik hyena
yang mengusik kerajaannya
o, ibu yang pengasih lagi penyayang
dari rahimmu telah lahir sahara
dan bangsa-bangsa anakmu padang pasir
telah mengirim kesepian
bagi riwayat unta yang tertinggal
rombongannya di tengah kehidmatan
terberkatilah orang-orang menuju ke selatan
membawa sedu sedan di saban-saban karavan
o, malaterre yang adil
pada segala gejala kami tinggal dalam diam
sebab kami mencintaimu dalam-dalam
angin berbisik di sisimu tiada lain perkara cuaca
maka mestinya kau mulai menunggui hujan
sebab bumi utara telah lama
tiada lagi dirembesi doa
Purwokerto, 9-19 November 2019
Belajar Memasak dengan Farikha
-farikhatul ubudiyah-
mula-mula pikiran kita dibagi-bagi, katamu
aku telah terlanjur menuang luka bagi dapur ibu
pula arang sisa semalam pada tungkunya
masih menyala-nyala meski baru sempat
kita tambahkan kayu yang dipungut
dari tubuh kita masing-masing
kau bertuah, tengoklah kebun bapak, le
kita membutuhkan beberapa penyedap hidup
ambil 1 ruas lengkuas lalu tanyakan pada diri
barangkali kita terlahir dari rasa iri
2 batang serai dan 3 lembar daun salam
melengkapi puji terbaik makan malam kita kali ini
oi, 7 ekor ketam terperangkap dalam bubu
aduhai racik bumbumu makin sedap dan menghidu
harumnya dikibaskan kepada wajahmu
aih, takdir telah mendidih dalam wajanmu
sebentar lagi asam pedas gurih dan perih nipis
menghela lapar kita sejak pagi
mari, yayu, kita tunaikan meja dan kursi-kursi
pula tuangkan nasib pada mangkuk yang kikuk
menerima segala lauk dari kisahmu
rasanya makin tidak mungkin lekas-lekas melupakan
adanya kutuk lantaran aku masih mengimanimu
sebagai perempuan penunggu periuk
Purwokerto, 13 November 2019
Catatan:
le : panggilan untuk anak laki-laki
yayu : panggilan untuk kakak perempuan
Menjahit
seperti nasihat ibu, biarkan jarum jinak di lancip matamu
pelan-pelan merajut ketelanjangan bagi umurmu
dilonggarkannya riwayat kain yang muskil tak tertusuk waktu
sebab benang mulai lincah menutup luka masa lalu
sejak masa lahirmu tangan ibu telah meniti
setiap jarum dan rindu yang kelak musti dilucuti
maka biarkan usia disetik bagi titi dan amanat maut
tanpa bidal di setiap jari-jari lentikNya
Purwokerto, 2 November 2019
Bagus Likurnianto, lahir di Banjarnegara, 9 Januari 1999. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Purwokerto ini bergiat di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP). Beberapa puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Bulgaria.