Adhimas Prasetyo
- setelah Kar, Orhan Pamuk
kawanku Ka, semoga kau dalam keadaan baik saat membaca surat ini.
sebelumnya, akan kuceritakan alasanku menulis surat ini kepadamu. suatu dini hari, aku terbangun dan tiba-tiba mengingat sebuah larik dari sajakmu.
"salju hanya turun sekali, dalam mimpi kita."
larik itu begitu saja hadir dalam pikiranku. seolah aku bisa mendengar dengus napasnya dalam kegelapan. meskipun aku sama sekali tak bisa memahaminya. aku hanya memahami salju sebagai kehampaan yang putih dan mengerikan.
Ka, musim dingin memang selalu membuat kita menderita. aku mengenal dirimu sebagai seorang lelaki yang penuh kecemasan dan rasa bersalah. aku kira keinginanmu untuk bunuh diri adalah sesuatu yang disebabkan karena musim dingin.
semua orang pun begitu─menderita, juga diriku.
di luar kata-kata, orang-orang merasakan sakit yang nyata. kemiskinan, kelaparan, ketertindasan, dan lainnya. hingga akhirnya kematian selalu siap menjadi pisau yang menghentikannya. meski kematian selalu menyisakan kenangan yang menyesakkan, melahirkan penderitaan baru yang terus berulang.
jika kau bertanya, di mana Tuhan pada saat seperti ini. Tuhan selalu berada di tempat semestinya, Ka, menatap dari puncak keraguanmu.
sedangkan di sinilah kita berada, bersembunyi di dalam kata-kata. persis seperti seorang bocah yang menggigil ketakutan dan tak berdaya.
derita yang kau rasakan hanyalah derita karena musim, derita karena putus asa, derita karena tidak dapat melakukan apa pun untuk mengurangi penderitaan orang lain─barangkali karena kau tidak pernah benar-benar mencobanya.
aku percaya, karena ini satu-satunya yang aku punya, bahwa kau akan membaca surat ini. aku tidak tahu di mana kau sekarang, tapi anggap saja kau sedang berada di Kars untuk coba mengulang masa kecilmu.
Kars memang selalu pucat. musim dingin membuat segalanya membeku, begitu juga kenangan. orang-orang terpaksa menanggung beban itu di kepala masing-masing.
Ka, segera kukirimkan surat ini setelah selesai kutulis. sedangkan alamatmu akan kupikirkan nanti.
P.S. mungkin kau benar, salju hanya turun sekali. salju yang lembut dan lambat telah menyelimuti mimpiku. aku hanya baru menyadarinya sekarang. bisa kau lihat, betapa putus asanya aku, Ka. barangkali ini semua karena musim dingin.
2019
Genesis
: Ben Loory
Liswindio Apendicaesar
Kita menemukan sebuah kitab suci jauh di luar Sabuk Kuiper, dan kau memutuskan untuk berdoa di ruang angkasa, dan memuja kekosongan. Kita tidak tahu ke mana arah bersujud, sebab Tuhan memutuskan tinggal di Bumi yang telah mati, dan mata angin telah lenyap ditelan bintang-bintang yang berpijar di sudut-sudut semesta. Eloi. Eloi. Kau memanggil-manggil Tuhan; harapanmu adalah satelit yang berusaha memancarkan tanda dan bahasa yang tak dikenal di ruang angkasa. Sampai seekor cumi-cumi raksasa menerima pesanmu, dan menafsirkan firman-firman dalam genggamanmu: namamu adalah pengetahuan, dan hujan meteor akan membawamu sebagai wahyu kepada bangsa-bangsa di penjuru galaksi, dan kau akan hidup dalam kata-kata; sedangkan aku akan dibawa dan diadili oleh kematian sebab telah berhenti percaya bahwa kita bisa menjadi abadi.
Bogor, 11 Oktober 2018
Dari The Squid
Adhimas Prasetyo lahir di Cirebon, 13 November 1993. Karyanya dipublikasikan di berbagai media dan termaktub dalam sejumlah antologi bersama. Alumnus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, itu kini bergiat di Buruan.co.
Liswindio Apendicaesar lahir di Bogor pada 1992. Sarjana lulusan Universitas Sebelas Maret, Surakarta, ini bergiat di Komunitas Sastra Pawon dan Komunitas Supernova. Buku cerpennya berjudul Malam untuk Ashkii Dighin.