BUDI P. HATEES
Kepada putriku sebelum ke pelaminan,
aku titipkan sepasang pisau tapak kuda,
kuselipkan bersilangan di pinggangnya.
Ini bukan hiasan meski tangkai hulunya
logam mulia, dan sarung emas dan tembaga.
Ini tanda seorang ayah akan jaga putrinya.
Orang yang melihat akan tahu makna
namora, putriku benar keturunan raja;
putriku jangan diganggu atau diragu.
Telah kusiapkan dia jadi menantu dan istri
yang tahu menempatkan diri. Kuajar dia
seperti Lukman menjaga keluarga
dari api neraka. Kutanam di batinnya kalam
ilahi tentang seorang istri yang tunduk
patuh pada suami adalah niscaya.
Pisau tapak kuda ini dari logam terpilih.
Kusepuh lebih dahulu pada tujuh api tungku,
lalu tujuh pandai besi memipihkannya
semirip belati sambil merafal jampi-jampi.
Kemudian pisau itu dimandikan pada tujuh
sumur, tujuh telaga selama tujuh hari
ditirakatkan. Mata pisau kubuat tumpul semata
dan ujungnya tak runcing. Kuingin putriku
tak sembarang melukai, sebab tangannya
hanya boleh membelai lembut suaminya
dengan penuh cinta, meninabobokan anaknya
sepenuh jiwa. Perempuan adalah sorga
bagi semuanya. Maka kuselipkan tapak kuda
di pinggangnya. Kubisikan agar dia hanya
menyentuhnya bila keadaan tak bisa diterka
Tujuh ruh dari tujuh generasi
akan menampakkan wujudnya
dan segala bahaya segera sirna.
*Pisau Tapak Kuda adalah sepasang pisau yang diberikan seorang ayah dalam keluarga Batak Angkola kepada anak gadisnya saat pesta pernikahan.
TALANGSARI, 1989
/1/
Di Talangsari, dini hari ketika kau
terbangun oleh suara ranting patah
di halaman rumah. Tubuhmu menggigil
bukan oleh udara dingin di bulan
Februari, tapi kelengangan ganjil
yang merayap dari halaman ke dalam
rumah. Kau bergeming di ranjang
menunggu gelagat, dan selintas kelebat
bayangan lesat di cecelah dinding
antara kamar dengan ruang tamu.
Ada denyut seribu jarum menusuk
jantungmu, perihnya sampai ke kepala.
Siapa di luar?! Kau berteriak. Suaramu
dijawab kelengangan, lalu sebuah ledakan
di pintu mengantarkanmu pada diam.
/2/
Kata-kata mengunci diri di lidah,
bibir bergetar-getar saat perih
menghantam hidung, telinga,
dan mata bengkak. Tangan dan kaki
mati gerak oleh tali. Anyir darah di udara.
Kau dengar dengus nafas terlalu cepat
dihela, di antara jerit lirih dari sakit
yang terlalu nyeri. Keberanianmu
menciut sekecil biji bauh semangka.
Bangun! bentak seseorang. Matamu
susah dibuka, temaram dari hitam
selubung kain di kepala menjelma silau
yang lebih tajam dari mata pisau.
Dan seseorang di hadapanmu adalah serdadu
mengepalkan tinju. Di matanya api menyala.
/3/
Ruang empat persegi, dinding berjeruji
besi, bola lampu 5 watt warna muram
wajahmu. Bau ketakutan adalah lembab
lantai semen dan tiga bidang dinding
yang mengurungmu dalam kesunyian.
Kau dengar jerit kesakitan dari tempat
yang tak jauh, mungkin di ruang berbeda
atau dari sisa ingatanmu yang mengeras
sebagai trauma. Bulu-bulu halus di kuduk
berdiri ketika jari-jemari ketakutan menyentuh
pundakmu. Tubuhmu kaku, air mata jatuh
bergulir dari mata yang berkabut.
Budi P. Hatees lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pada 3 Juni 1972. Menulis puisi di berbagai media dan terkumpul dalam sejumlah buku. Tinggal di Kota Padang Sidempuan, Sumatera Utara.