Muhammad Nanda Fauzan
Lapah jakpagardewa
Tiuhtoho sai wawai
Helau sejarah, adat sai agung..
I //
Arus Way pagardewa yang tenang memantulkan
rimbun pohon trembesi. kepak belibis dan jejak
iblis hanya menyentuh permukaan, tak sampai pada
kedalaman, buaya adalah payan dalam bentuk lain.
: Lebih gesit dari popor senapan, lebih sunyi dari nyala api.
II /
"Sebermula adalah es yang mencair dari Himalaya menuju
Pesigi, meluapkan dan melupakan bahasa ibu."
Bagai membaca bait mazmur, ucapan pewarah
Terperangkap pada telingamu yang mudah basah
Udara asing mengisi separuh paru-parumu
Yang pandai berpura-pura
Tak ada ahasveros, kau hanya pergi
dan peta perlahan menghapus semua rute.
Para petualang tidak paham tersesat
Hanya berahi membentangkan jarak
III //
Batas antara dendam adalah merah darah adam
Para pemuja memaksa untuk paham, bahwa
Masa kini api tampak dingin dan mudah padam
Sedang panas tidak lagi panas.
Dengan apa kau melubangi waktu?
IV //
Di sebrangway kiri
Kau datang membawa rambut palsu,
Lima konde dan buku panembahan
Menatap makamku sendiri
Malam mendadak runtuh
Rindu perlahan tumbuh
Serang, 2019
Mata Pemburu
Mahdi Idris
Seorang pemburu datang ke rumahmu, meletakkan
ujung senapan di dadamu. Matanya nyalang memandang
sekujur tubuhmu, menerka luka sedalam mana mesti digali.
Sebab pemburu, punya cara sendiri menggali kubur.
Tak ada suara yang didengarkan, meskipun firman
dan sabda. Ia punya mata yang senantiasa mengeluarkan kabut
dan cahaya dendam yang tak mudah padam. Tapi nyala api
yang membakar pemakaman.
Ia tahu tubuhmu adalah perahu hulu yang menakdirkan hilir
penuh muatan. Tak pernah datang sebelum
tubuhmu matang untuk pengorbanan. Sebab ajalmu
di ujung senapan. Dan dia, malaikat maut dalam raut wajah garang.
Mata pemburu itu menyimpan peta penyerangan pagi buta
dan ambang senja, saat kau sibuk masyuk menyembah Tuhan
dan merenungi nasib di papan langit kelam.
Tanah Luas, 2019
Muhammad Nanda Fauzan, lahir di pesisir Lebak Selatan, Banten. Puisi dan cerita pendeknya dipublikasikan di media cetak dan daring. Bergiat di komunitas soedirman30.
Mahdi Idris, lahir di Aceh Utara, 3 Mei 1979. Buku puisi terbarunya Doa dalam Tidur (2019) dan Membaca Tanda (2019). Saat ini bermukim di Tanah Luas, Aceh Utara.