Febrianti
Jurnalis
Di tenda yang lembap dan basah ditetesi air hujan, saya bersama dua teman, Dewi dan Famega, meringkuk kedinginan. Di luar, malam semakin gelap. Suhu udara turun mendekati 9 derajat Celsius. Langit pekat tanpa bintang. Di selter 2 pada ketinggian 3.100 meter di atas permukaan laut itu, suhu di Gunung Kerinci, yang berada di wilayah Provinsi Jambi, terasa begitu kejam. Udara dingin merasuk hingga ke tulang.
Badan semakin menggigil dalam balutan pakaian yang basah. Kami juga tak bisa membuat api unggun karena di luar hujan masih turun. Dalam situasi ini, ide mendaki gunung di perbatasan Sumatera Barat dan Jambi itu tiba-tiba terasa konyol. Rasa menyesal mulai datang merambat, seperti dingin yang makin membekap. Bersamaan dengan rasa lapar yang mulai menusuk ke ulu hati. Kelaparan, tanpa baju ganti, tanpa jaket, dan tanpa sleeping bag. Lengkap sudah penderitaan kami kala itu.
Suasana berkemah.
Dua teman sependakian kami di tenda sebelah, Kasman Arifin dan Roni, juga terdengar sedang berjuang menahan dingin. Porter kami, Diki dan Sambora, sedang berupaya menghubugi Endatno Een, guide kami yang masih berada di selter 1. Di sana ia menemani Iki, teman sependakian kami yang kakinya terkilir saat hujan lebat turun tadi sore. Jadi, ia tak bisa melanjutkan perjalanan ke selter 2.
Pendaki beristirahat di selter 2.
Jalur pendakian yang licin membuat Iki jatuh dan terkilir tanpa kami ketahui. Kami yang berjalan di depan juga harus berjuang keras menaklukkan medan yang terasa sangat berat karena guyuran hujan. Perjalanan ke selter 2 dilanjutkan dalam gelap, hanya bermodalkan penerangan satu senter untuk semua orang. Sementara itu, Iki dan Een kembali ke selter 1 dan mendirikan tenda untuk mengobati Iki yang cedera.
Saat kami tiba di selter 2, Diki dan Sambora segera mendirikan tenda. Tapi di situlah kami baru menyadari kalau sleeping bag, jaket, dan peralatan masak ada di ransel besar yang dibawa Een. Kebalikannya, bahan makanan justru ada di ransel Diki dan Sambora. Jadilah kami kedinginan, sementara Een dan Iki di bawah sana pasti sedang kelaparan.
Kami akhirnya makan nasi dingin sisa makan siang, ayam goreng, dan rendang. Lumayan mengurangi kram perut. Diki dan Sambora menghubungi Een dari radio HT, mencari kepastian. Rupanya Iki tidak mungkin meneruskan perjalanan, sehingga besok pagi harus turun lagi dan istirahat di Kayu Aro, desa terdekat di kaki gunung. Melalui radio HT, saya sempat menghibur Iki agar tidak terlalu sedih karena tidak bisa melanjutkan perjalanan. Saya merasa bersalah karena telah membujuk Iki naik Gunung Kerinci. Dia tidak pernah naik gunung, tapi dia sangat bersemangat ikut.
Akhirnya Diki dan Sambora turun ke selter 1 membawa makanan untuk Een dan Iki. Een lalu meminta Sambora membawa Iki turun gunung besok pagi. Sebagai kepala guide kami, Een malam itu naik ke selter 2.
Karena kami terus terdengar menggigil di dalam tenda, Alek, guide dari rombongan pendaki di tenda sebelah, meminjamkan jaketnya kepada saya. Sedangkan Famega dipinjami sleeping bag yang bisa menjadi selimut karena mereka berdua sudah mengenakan jaket. Lumayan, sambil menunggu perlengkapan kami datang.
***
Gunung Kerinci sebenarnya merupakan bagian dari masa lalu saya yang paling penting, setidaknya sejak masa kanak-kanak hingga remaja. Keluarga saya dulu tinggal di perkebunan teh Kayu Aro di lereng gunung ini. Setiap hari, kalau sedang tidak ditutupi kabut, gunung ini selalu terlihat dari jendela rumah. Ini gunung kebanggaan saya dulu. Gunung yang megah dan tinggi, bahkan menjadi gunung berapi tertinggi di Sumatera dan tertinggi kedua di Indonesia sesudah Puncak Jaya.
Saya ingat pertama kali naik Gunung Kerinci ketika duduk di kelas 3 SMP. Karena sebelumnya pernah tak diizinkan oleh ibu, waktu itu saya nekat pergi diam-diam dengan teman-teman. Kami membawa periuk lengkap dengan nasi, teman yang lain membawa gitar. Di gunung, kami bersenang-senang.
Semasa SMP dan SMA, saya berhasil mendaki Kerinci hingga ke puncaknya empat kali. Lalu tiga kali lagi saat kuliah, menjadi tuan rumah dan guide untuk teman-teman pencinta alam di kampus. Kini, entah kenapa, mendakinya jadi terasa sangat berat. Pasti karena faktor usia, apalagi saya sudah lama sekali tidak mendaki.
Nyali sering kali terasa gentar setiap kali saya memandang Gunung Kerinci dari dekat. Apalagi saat matahari sedang terik menyinari puncaknya yang berkilau tembaga dengan kontur yang terlihat kontras antara jurang dan punggungan. Saya mengubur dalam-dalam keinginan mendaki Kerinci kembali. Tapi tiba-tiba, awal tahun lalu, beberapa teman mendesak minta ditemani menaklukkan gunung itu. Walau tak yakin karena merasa tidak kuat mendakinya lagi, akhirnya saya setuju. Kami pun berangkat pada awal Maret lalu.
Jadilah grup kecil kami yang beranggotakan enam teman saya di Pekanbaru: Pak Kasman Arifin, Dewi, serta Roni; ditambah Famega dari Jakarta. Tiga di antara mereka belum pernah mendaki gunung. Tapi Kasman, yang paling senior di antara kami, adalah mantan pendaki. Gunung-gunung terkenal di dunia, seperti Kilimanjaro hingga puncak Cartenz di Papua, pernah ia taklukkan.
Kasman membawa semua perlengkapan gunung yang katanya sudah lama berdebu di gudangnya, seperti tenda, sleeping bag, sampai alat masak. Ia menghadiahi saya tongkat untuk mendaki gunung yang dulu pernah ia gunakan saat menyusuri Gunung Tambora. Dewi mendapat sepatu gunung yang pernah dibawanya mendaki Cartenz. Kami semua juga diberi kupluk untuk menghangatkan kepala. Untuk menahan dingin di atas nanti, saya dipinjami jaket yang lapisan dalamnya berbahan bulu angsa.
Guide kami, Een, ternyata teman satu sekolah saya dulu di SMP 1 Sungai Penuh, Kerinci, Jambi. Dia pemandu profesional yang sering menemani peneliti asing saat mengunjungi Taman Nasional Kerinci Seblat atau hutan Gunung Tujuh. Pendakian Een bersama kami kali ini terhitung istimewa. Sebab, menurut dia, ini pendakiannya yang keseribu ke Kerinci.
***
Sekitar pukul 23.00 malam itu, Een tiba di selter 2 bersama Diki. Ia mengatakan Iki sudah makan dan istirahat ditemani Sambora. Besoknya mereka akan turun. Een lalu membagikan jaket dan kantong tidur kami dari dalam ransel besarnya. Saya segera mengenakan jaket bulu angsa yang terasa sangat nyaman dan hangat, lalu memulangkan jaket Alek, pemuda di tenda sebelah yang sudah mulai kedinginan. Di pendakian ini saya tersentuh karena semua orang berupaya saling menolong. Saya sangat berterima kasih kepada Alek.
Pendaki sampai di selter 3.
Kami kemudian makan malam lagi. Kali ini masakan hangat: nasi, ayam goreng, dan mi instan rebus. Setelah perut penuh, kami kembali tidur. Tapi tidur kami kurang nyenyak karena tenda yang basah membuat udara dingin semakin terasa, terutama menjelang dinihari. Pada pukul 1 malam, Een membangunkan lagi dari luar. Ia memberikan aba-aba agar kami bersiap-siap mendaki lagi jika ingin mencapai puncak Kerinci.
“Siap-siap kalau mau ke puncak, kita berangkat dua jam lagi,” kata Een dari luar tenda.
“Apa? Dua jam mendaki lagi!?” kami membalas.
“Iya. Wah, enggak lucu, ya?” Een berseloroh.
Kami tak mempercayai ucapan Een itu karena badan masih menggigil dan lelah. Tulang di sekujur tubuh rasanya patah-patah. Atas alasan itu, kami memutuskan tidak jadi ke puncak, tapi mendaki sampai selter 3 saja. Kalau ke selter 3, Een mengatakan kami harus bangun pukul 6 pagi. Kami pun mengiyakan.
Rasanya baru tidur sekejap ketika terdengar lagi suara Een membangunkan kami dari luar. Saya membuka tenda, waktu menunjukkan pukul 06.00. Cahaya matahari mulai menyusup ke sela-sela pohon yang tidak terlalu tinggi. Surprise! Dari arah timur, matahari yang berwarna keemasan baru saja muncul di balik rimbunan hutan sub-alpin yang terbentang di lembah. Dan hal yang paling indah, di bawahnya, yakni di depan tenda kami, terhampar lautan awan berwarna putih. Saya amat bahagia melihatnya. Rasa penat selama pendakian tadi malam mendadak lenyap.
Sejak masuk dari pintu rimba, gerbang Taman Nasional Kerinci Seblat, kemarin, jalur pendakian memang dinaungi pohon-pohon menjulang. Di lereng gunung, kami pun tidak menjumpai pemandangan. Kini sebagian pandangan bisa lepas ke bawah sana. Ditemani pemandangan yang cantik itu, saya membantu Diki menyiapkan sarapan: susu cokelat hangat dan setangkup roti tawar bakar yang ditaburi meses. Sungguh sarapan paling nikmat sambil memandang lautan awan yang terbentang dan sinar matahari kekuningan yang memberikan kehangatan.
Saya memanggil Famega dan Dewi yang masih tidur di tenda agar bersiap sarapan dan naik lagi ke atas. Tapi, jawabannya, mereka tidak ingin ikut ke selter 3 karena mau tidur dulu dan masih kedinginan. Saya merayu dengan membawa mereka keluar dari tenda agar mereka menyaksikan pemandangan lautan awan sambil menyesap cokelat panas dan roti bakar. Selama 30 puluh menit saya membujuk mereka agar bersedia melanjutkan pendakian.
Kepada Famega dan Dewi, saya menjanjikan pemandangan yang lebih spektakuler di atas sana. Tentunya, kami berpikir akan terlihat keren bila bisa berfoto di depan puncak gunung yang menyemburkan asap berwarna merah muda. “Lagi pula, percuma naik Kerinci jauh-jauh kalau hanya sampai selter 2, masih rendah,” kata saya kepada mereka.
Akhirnya, Famega dan Dewi mau ikut ke selter 3. Sementara itu, Kasman batal ikut karena sendi lututnya sakit dan akan dijaga Diki serta Rony. Kami akan dipandu Een ke selter 3. Een melarang kami membawa tongkat karena tak ada gunanya. Justru, kata dia, yang diperlukan itu dua tangan untuk memanjat dan bergelantungan di akar pohon. Perjalanan menuju selter 3 diperkirakan memakan waktu dua atau tiga jam. Saya baru ingat, di titik ini jalurnya sangat menanjak, seperti mendaki tangga dan nyaris tanpa bonus jalur datar.
***
Kami memulai pendakian dengan berjalan santai. Pagi dengan sinar matahari yang hangat dan lembut itu mendatangkan semangat baru. Dewi, yang kakinya sakit karena memakai sepatu gunung yang kebesaran, tiba-tiba merasa kakinya baik-baik saja. Famega juga tampak bersemangat lagi. Tak lama kemudian, kami melewati lembah yang dipenuhi tanaman pakis berwarna hijau muda. Ini merupakan salah satu bagian lembah yang indah di Gunung Kerinci.
Beberapa jalur tebing yang ketinggiannya hingga 3 meter bisa kami panjat menggunakan dua tangan untuk bergantungan di akar pohon. Ada juga vegetasi yang rapat menutupi jalur sehingga seperti masuk lorong yang panjang. Menjelang selter 3, tiba-tiba puncak Gunung Kerinci terlihat dan sedang menyemburkan asap merah muda. Menakjubkan sekali.
Asap merah muda itu muncul dari kawah gunung itu. Waktu kami datang ke sana, Gunung Kerinci memang sedang aktif menyemburkan asap. Uniknya, warna asapnya bukan kelabu seperti gunung berapi yang lain. Menurut seorang kawan yang ahli geologi, asap berwarna pink itu muncul karena ada sisa material yang teroksidasi.
Kami semakin bersemangat mencapai selter 3 karena ingin melihat puncak gunung dan asapnya lebih dekat tanpa terhalang pohon. Begitu tiba di sana, cuaca cerah, tidak ada kabut. Puncak Kerinci terlihat berwarna kelabu tua dengan gigir-gigir yang menantang dan hening. Kami berada di punggungannya pada ketinggian 3.350 meter di atas permukaan laut. Vegetasi hanya ada beberapa dan tak terlalu tinggi. Di kiri-kanan terlihat jurang gelap yang menganga.
Di atas kami tampak jalan terjal menuju puncak Kerinci. Ketinggiannya 3.800 meter. Terbesit keinginan memuncaki gunung ini lagi melihat kawahnya yang besar. “Ah, tapi tidak kali ini,” ujar saya dalam hati. Saat kami mengeksplorasi selter 3 sambil melihat pemandangan tanpa batas ke segala penjuru, tiba-tiba semburan asap membubung dari puncak gunung. Sebuah kejutan yang manis.
Kami segera memotret kejadian itu dari jauh. Bergantian kami berpose dengan latar belakang semburan asap merah muda. *
Ransel:
1. Untuk menuju Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, kota besar terdekat adalah Padang, Sumatera Barat, bukan Jambi. Sebab, wilayah ini terletak di perbatasan Jambi dan Sumatera Barat.
2. Untuk transportasi darat Padang-Kayu Aro, Kerinci, dapat menggunakan bus travel dengan tiket Rp 100-130 ribu dan menempuh perjalanan selama 7-8 jam. Bus tiba pada pagi atau malam hari, langsung turun di Kersik Tuo ke tempat penginapan. Homestay untuk pendaki Kerinci seharga Rp 75-220 ribu per malam.
3. Sebelum mendaki, wajib mendaftar dulu ke posko Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di R10 Kersik Tuo. Biaya pendaftaran Rp 25 ribu per orang. Saat turun, jangan lupa melaporkan diri kembali dan sampah yang dibawa turun gunung akan diperiksa.
4. Pendaki wajib membawa guide atau porter lokal yang sudah terdaftar di Balai TNKS.
5. Bawa perbekalan makanan dan air bersih yang cukup. Di tiap selter ada sumber air. Tapi, saat musim kemarau, harus mencari air ke tempat yang lebih jauh dari jalur.
6. Sejak akhir Maret lalu, jalur pendakian Gunung Kerinci masih ditutup karena pandemi Covid-19.