Ihsan Reliubun
Mahasiswa jurnalistik di Institut Agama Islam Negeri Ambon
Sekelompok mama-mama di perkampungan kaki Gunung Binaiya pagi itu tengah kongko di teras sebuah rumah beratap rumbia. Beberapa di antara mereka melipat ujung baju hingga ke atas dada. Di pangkuan mereka ada bayi yang terbaring khidmat sembari menyusu. "Permisi!" ucap kami-saya, Nazarudin, Sofyan Hatapayo, Nina K. Ilela, dan Fitri Indralia Mossy-serempak.
Beberapa dari mereka lantas berdiri melempar senyum. Lalu kami meneruskan perjalanan menuju rumah tetua adat Desa Piliana, Pulau Seram, Maluku, sebelum melanjutkan petualangan ke Binaiya, di kawasan Taman Nasional Manusela, pertengahan Januari lalu. Titik start kami kali ini dimulai di Desa Yaputih ketika ayam baru bangun tidur.
Kami meninggalkan perkampungan memasuki perkebunan cengkih, cokelat, dan pala yang berjejer di kiri-kanan. Aroma rempah-rempah menguar dan merayap menembus hidung. Kami menghabiskan lebih dari tiga jam merangkak dan berjalan pelan di medan landai itu menempuh Piliana-pintu masuk pendakian Binaiya. Inilah salah satu jalur lawas yang jarang dilewati pendaki sejak jalan aspal merambah Piliana.
Pada punggungan bukit di bawah lindungan sekawanan pohon cengkih, Fitri tiba-tiba berhenti. "Beta su capek," kata dia diliputi raut masam. Ia berhenti menekuk di atas dedaunan kering dan mendadak menyembur muntah. Air dari sebuah botol lalu menyusul di mulutnya. Setelah meneguk air, kami melangkah memasuki Piliana untuk menitipkan surat izin masuk kawasan konservasi (Simaksi) dan melapor di rumah Raja Piliana, Agustinus Ilelapotoa.
"Bapak lagi ke kebun," ujar istri Agustinus, Mama Alike, yang menyambut kami di depan pintu rumahnya.
Setelah menulis nama lengkap, nomor telepon, tanggal pendakian, tanggal pulang mendaki, serta membubuhkan tanda tangan di buku kusut itu, kami pamit. "Kalau raja di sini, pagi-pagi pergi ke kebun," ucap Nina setelah kami meninggalkan rumah itu. "Kalau raja-raja yang lain, masih duduk di kursi empuk." Mendengar celetuk perempuan berusia 24 tahun ini, kami yang berjalan di atas setapak semen menuju kediaman ketua adat pun tertawa.
•••
Pendakian gunung ini sering diawali ritual adat. Konon, ritual ini bertujuan mengusir roh jahat selama perjalanan. Selebihnya, ami lehu kohi kohowa atau "kami pulang dengan selamat" dalam bahasa Piliana. Melihat kami muncul dengan ransel berukuran 75 dan 60 liter yang dipanggul Nazarudin dan Sofyan, Winan Latumutuani, sang kepala adat, segera mengganti baju. Dari kamar ia muncul dengan pakaian serba-merah.
Kami meriung di depan Winan. Di dekatnya ada sebuah piring berisi pinang. "Tidak bawa daun sirih?" tanya Winan, 67 tahun, ketika menatap piring itu. Kami menggeleng. "Tidak apa, pakai tabako saja." Pada piring kaca berisi dua buah pinang itu saya menambahkan segumpal tembakau. Di dua sisi dari setiap buah pinang diberi tanda xx, sehingga ada delapan tanda pada dua pinang yang ditandai dengan parang.
Winan mendekatkan pinang itu ke mulut sambil merapal doa. Ruangan berukuran 3 x 4 meter ini seketika senyap. Sekitar tiga menit mantra dibaca. Satu per satu diminta berdiri. Ikat kepalanya pun dilepas. Dengan kain itu, ia menepuk kedua dada, paha, dan betis kami secara bergiliran.
Sejak prosesi adat berlangsung, yang saya perhatikan adalah kain beran (kain merah) di kepalanya. Lilitan bagian depan kepala dibiarkan meruncing ke atas. Berbeda dengan ikatan suku Noaulu di Pulau Seram.
Winan berpesan agar pinang dan tembakau di piring tadi dibawa dan diletakkan di puncak Gunung Sembilan-nama lain Binaiya. "Jaga katong punya adat di tanah Nusa Ina ini," ucap Winan, yang giginya merah digincu sirih-pinang. Kami mengangguk. Tapi ritualnya belum berakhir di ruangan ini.
Setelah mengenakan sepatu, sandal, serta ransel, kami diminta berdiri memanjang di halaman depan. Sementara itu, lelaki beranak empat tersebut berdiri di muka. Kepalanya mendongak ke atas sambil menatap kanan-kiri. Tangan kanannya diangkat setinggi dada sembari membaca mantra. "Braakk!" kaki kanannya dientak, lalu berjalan ke belakang. "Selamat mendaki."
•••
Binaiya. Mendengar nama gunung yang bertengger di ketinggian 3.027 meter di atas permukaan laut itu langsung terlintas sebuah frasa di kepala mereka yang pernah mendakinya, "Fisik dibina, batin dianiaya." Gunung yang terpacak sembilan puncak ini biasanya ditempuh dalam 4-5 hari melalui Piliana, sedangkan kami berlima menuntaskan pendakian itu dalam delapan hari.
Matahari mulai merangkak tepat di atas kepala. Tujuan kami setelah Piliana adalah Aimoto, shelter kedua sesudah Yamhitala. Kanan-kiri digantikan pepohonan berukuran pelukan dua orang dewasa. Beberapa di antaranya pohon damar yang diberi nomor 40 dan 140.
Kami menembus hutan lebat, tanah becek, dan bebatuan yang mengiringi petualangan itu. Pijakan kerap bertumpu di akar yang melingkar tak teratur. Tapi akar pula yang membantu kami tak tersungkur ke luar jalur.
Tak terhitung keluh-kesah melompat dari mulut akibat trek terjal yang sekilas mempertemukan lutut dan dagu. Setelah menerjang sungai selebar 4 meter, di atas kamp Yamhitala, Fitri bertanya, "Masih jauh?" Saya dengan jawaban menipu mengatakan, "Sudah dekat."
Di sini, kami berdiskusi untuk melanjutkan atau menginap, mengingat jarum pendek arloji mendekati angka tiga. Namun, sesuai dengan estimasi, perjalanan pun dilanjutkan ketika hari hampir remang.
Perlahan gelap pun turun. Suara jangkrik bersahutan. Senter kepala dipasang supaya tak terjungkal di lubang. Trek panjang nan landai menguras stamina. "Beta mau muntah," kata Nazarudin. Akhirnya kami stop dalam suasana gelap, lalu menyalakan Trangia, memanaskan air, dan mencubit camilan. Kami pun beranjak dan tiba di kamp Aimoto pada pukul 12 malam.
Saya mengingat cerita lima tahun lalu ketika pertama kali tiba di Aimoto. Husen Rumain (almarhum), rekan sepengembaraan kala itu, berkisah, pada waktu subuh, ketika kami masih terlelap, ia mendatangi sumber air untuk mencuci piring. Lima meter dari belakangnya, duduk menyamping sesosok tubuh berbusana putih di atas batu sambil menarik pelan rambutnya yang menjulur ke pinggang. Melihat itu, ia lari tunggang langgang. "Parlente," ujar kami, meragukan cerita Husen.
Paginya, pegal mencucuk punggung, paha, dan betis, membuat kami enggan berangkat. Tujuan Isilali sebagai tempat menginap pada hari kedua ditunda. Perjalanan menuju shelter keempat itu ditempuh besok. Akhirnya, kami tinggal sehari lagi di Aimoto. Shelter ini terbilang nyaman bagi pendaki dengan sumber air yang berjarak 15 meter. Tapi trek menuju tempat ini kerap membuat pelancong pulang sebelum tiba di ketinggian 1.145 meter itu.
"Hi, paling cantik. Kayak negeri dongeng!" ujar Nina, memuji pohon-pohon ketapang kencana (Terminalia catappa) setinggi 5-7 meter yang dibalut lumut. Burung raja udang sebesar kepalan tangan berkicau dari dahan satu ke ranting lain. Juga perkici pelangi (Trichoglossus haematodus) yang melompat dengan cerewet. Hutan lumut sepanjang jalan puncak Teleuna menuju pos Highcamp sepintas menjadi surga para burung. Aimoto tertinggal ratusan meter di bawah.
Tanjakan menuju puncak Manukupa dari Highcamp dan turun ke Isilali membuat kami harus lihai berpijak. Tak hanya sekali kami terpeleset hingga pantat menukik batu dan akar. Sofyan yang berdiri 1 meter dari bibir jurang berteriak sambil mengawasi saya dan Fitri di belakang. "Hati-hati, Bang! Kabut tebal." Beberapa meter di belakangnya, Nazarudin dan Nina duduk menggigil, menggosok-gosok telapak tangan di balik batu berselimut kabut.
Angin yang melesat seperti kereta api membuat tubuh kami hampir terbawa terbang. Angin reda, terang pun redup. Kami menapaki batu-batu karst di punggungan puncak Manukupa sambil meraba tempat kaki berpijak. Untunglah, cuaca berkabut dan angin kencang itu tak melempar kami ke jurang. Pada jam 8 malam, kami tiba di Isilali, di ketinggian 2.075 meter.
Tantangan selama pendakian belum usai. Cuaca ekstrem berupa badai di punggungan Puncak Bintang kembali menampar kami. Ini tamparan tersulit bagi saya selama empat kali mendaki gunung non-vulkanis itu. Punggungan gunung berada di alam terbuka terapit jurang. Tak ada pohon besar seperti menuju Aimoto. Jalanan menanjak dan tempat berpijak adalah batu karst, tajam. Target sampai puncak pada hari keempat dari Isilali pun ambyar.
Namun, apa daya, kehendak alam tak dapat diraba. Ketika jarum jam melewati angka satu, tepat di tengah jalan, kami menggelar tenda. Esoknya, petualangan dilanjutkan ke pos terakhir, Waifuku, yang dikelilingi pakis Binaiya (Chintea binaya) yang menjulang dan tumbang. Dari sini ke puncak hanya lima menit. Tapi kami menunda dan memilih bersimpuh sore itu. Sebab, badai masih memburu, sementara tubuh butuh susu dan makan.
Waifuku adalah pos sentral yang berdiri di sebidang tanah datar. Pos ini mempertemukan pendaki dari utara dan selatan. Di sini, terdapat genangan air yang muncul ketika hujan. Di genangan sedalam 5 sentimeter itu terdapat ratusan jejak kaki rusa. Ketika kami turun dari puncak dan bersiap tiga hari menuju kampung pada hari keenam, muncul sekawanan pendaki bersama dua porter asal Piliana. "Saya suka treknya, asyik!" ucap Subha, seorang pendaki perempuan asal Malaysia.
Setelah berbagi cerita tentang manis dan pahit Binaiya, mereka memutuskan ke puncak. Beberapa menit kemudian, seorang lelaki kembali. Ia mengeluarkan sepiring sajen dari ransel dan menyusul rekannya di atap Negeri Seribu Pulau itu. Sementara itu, piring sajen milik kami diletakkan di dekat tugu ketika kabut, angin, dan matahari saling memburu pada pagi hari. Akhirnya, dengan sederet kisah dari menara gunung ini, "Ami lehu kohi kohowa."
Bekal Doa ke Binaiya