Aura Asmaradana
Penulis dan pelancong
Saya adalah anak muda yang punya jarak absurd dengan cerita tentang República Democrática de Timor Leste. Ketika Timor Leste merdeka, usia saya masih terlalu muda untuk memahami hal-hal yang telah terjadi di sana-terutama yang berkaitan dengan Indonesia.
Seiring dengan berjalannya waktu, di mata saya, Timor Leste dan isu-isu di sekitarnya beranjak menjadi sesuatu yang seksi: kolonialisme, perebutan kekuasaan, perang saudara, aktivisme, dan heroisme. Betapa hal-hal itu menggoda saya untuk datang dan masuk ke dalam pusarannya. Hingga di satu titik, saya harus berhenti berimajinasi tentang negara itu.
Awal November 2019, atas dukungan Komite Buku Nasional dan Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, saya tiba di Dili. Saya menjejakkan kaki di Bandara Internasional Nicolau Lobato yang panas. Ketika itu, saya harus dua kali mengantre. Satu kali untuk urusan visa-tanpa perlu bayar visa on arrival karena sudah digratiskan-kemudian satu kali lagi mengantre untuk mengecek paspor dengan sedikit wawancara menggunakan bahasa Indonesia.
Jujur saja, tepat di situlah kebimbangan utama saya. Bagaimana kelak saya harus berinteraksi di tengah masyarakat setelah keluar dari kompleks bandara? Bahasa apa yang sebaiknya saya gunakan di negara dengan dua bahasa utama, Tetun dan Portugis, ini?
Saya mungkin tergolong pendatang beruntung. Sebab, sebelum tiba, saya sudah berinteraksi dengan banyak teman yang secara aktif berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia-baik teman yang memang berasal dari Indonesia maupun yang pernah tinggal lama di Indonesia.
Saya hanya merasa perlu mengingat beberapa kalimat penting dalam percakapan menggunakan bahasa Tetun, di antaranya "diak ka lae?" (apa kabar?), "folin hira?" (harga berapa?), serta "bom dia, boa tardi, boa noite" (selamat pagi, siang, dan sore). Untuk sebagian percakapan praktis, mungkin saya selamat. Namun tetap saja ada rasa ingin tahu yang kuat perihal bagaimana suatu masyarakat tumbuh dengan bahasa-bahasanya.
Rasa penasaran itu sedikit terjawab pada dua hari pertama saya di Dili. Saya datang ke tiga forum diskusi yang diadakan oleh komunitas. Di tiga forum itu, film, buku, dan politik dibahas dengan penuh gairah. Ekosistem diskusi di kota pesisir itu sedang sangat subur berkembang.
Bahasa Tetun terlihat sangat dicintai. Sedangkan percakapan nonformal menggunakan bahasa Indonesia masih dipraktikkan oleh generasi wajib belajar bahasa Indonesia. Sementara itu, pengaruh bahasa Portugis kuat secara birokratis dan formal di instansi pemerintahan dan lembaga pendidikan negeri.
Plang iklan, pengumuman, dan peringatan di tempat umum kerap berbahasa Tetun dan Portugis sekaligus. Belum lagi ada puluhan bahasa daerah yang dipakai di distrik-distrik, dengan sedikitnya dua hingga tiga bahasa dan dialek berbeda untuk setiap distriknya. Maka, merupakan sesuatu yang wajar jika di Dili, dalam suatu forum diskusi, pembicara dan penanggap berbicara dengan bahasa berbeda dengan satu atau lebih orang yang khusus bertugas sebagai penerjemah.
Keragaman bahasa adalah satu saja dari sekian hal yang ingin saya ketahui. Keragaman itu memang menjadi salah satu landasan saya dalam menyusun proposal proyek riset mengenai monumen modern di Dili. Hasil riset itu pertama-tama akan saya jadikan inspirasi untuk penulisan kumpulan cerita pendek.
Sebelum keluar dari kompleks bandara dan menemukan bundaran dengan patung Nicolau Lobato berukuran besar di tengahnya, saya sudah memegang satu hal penting. Di Timor Leste, monumen-monumen modern penanda peristiwa atau tokoh tertentu dibangun di tengah masyarakat yang hibrid secara kultural, sosial, dan politik. Timor Leste memiliki kekayaan sejarah, ingatan kolektif, bahkan cerita personal. Kekayaan itu berkaitan erat dengan motif, perspektif, tujuan, dan makna keberadaan monumen-monumen.
Di Kota Dili tidak sulit menemukan monumen-monumen modern yang dibangun dengan semen dan plakat. Saya menyewa sepeda motor besar dan nyaman dengan mesin otomatis seharga US$ 160 per bulan. Lalu melobi teman-teman di tengah kesibukan mereka untuk menemani saya menunjukkan tempat yang ingin saya tuju.
Perburuan monumen berjalan tanpa gangguan apa pun. Di sekitar pusat kota saja, monumen bisa ditemukan di setiap sudut-baik yang dibangun pemerintah Portugis, Indonesia, Timor Leste, maupun inisiasi dan swadaya masyarakat. Di beberapa ruas jalan, saya dapat dengan mudah menemukan nisan-nisan yang beberapa di antaranya disertai salib. Nisan-nisan itu dibuat untuk menandai tempat dan mengenang suatu peristiwa kecelakaan lalu lintas. Pada hari-hari tertentu, pihak keluarga korban menyalakan lilin dan berdoa untuk para arwah.
Dili adalah wilayah yang sibuk. Pekerja kantoran bekerja lima hari dalam sepekan, rata-rata sejak pukul sembilan pagi hingga lima sore. Pun begitu dengan pusat belanjanya. Warung-warung makan ada yang buka hingga pukul 10 malam, tapi tergolong jarang. Kemacetan lalu lintas pernah saya temukan, tapi tidak parah dan lama. Kemacetan hanya terjadi di beberapa ruas jalan.
Di tengah kesibukan di jalanan Dili, secara tak sengaja saya menemukan pohon-pohon beringin yang "berbuah" ember dan kantong plastik. Tampilan ini kemudian saya sadari sebagai suatu monumen tradisi penting. Ember dan kantong plastik yang menjuntai itu berisi plasenta bayi. Bersama plasenta itu, diletakkan alat tulis dan kain perca sebagai bekal belajar dan pakaian sekolah anak-anak itu kelak.
Tradisi ini seolah-olah meluaskan makna pohon-pohon itu menjadi monumen penanda kelahiran manusia. Pohon-pohon itu sekaligus ingin bercerita tentang betapa tinggi orang tua menaruh harapan pada anak-anaknya. Pohon-pohon itulah yang membuat riset saya bercabang ke arah lain.
Saya sangat sadar bahwa melalui monumen, suatu masyarakat dapat melihat kaitan antara dirinya dan masa lalu; antara kelahiran dan kematian. Sebagai orang yang baru datang, saya dapat merasakan bahwa Timor Leste sangat ramah terhadap sejarahnya. Monumen-monumen dirawat dengan baik. Biar menyimpan cerita kelam, banyak bangunan dipertahankan dan dipugar.
Di bekas penjara Balide (sekarang kantor Centro Nacional Chega!) saya masih dapat melihat lambang polisi militer Indonesia di segala penjuru, lengkap dengan coretan-coretan para tahanan di seluruh sisi tembok kantor. Baiklah, mungkin itu memang disiapkan sebagai museum. Namun, di jalanan pun, saya dapat menemukan banyak jejak. Monumen kehadiran ABRI di bundaran-bundaran Jalan Taibessi, Metiaut, dan beberapa distrik selain Dili masih bertahan. Plakat penanda tempat dan peresmian tempat berbahasa Portugis dan Indonesia masih terpampang.
Hari-hari saya di Dili dilalui dengan melihat ke arah belakang, ke masa lalu: taman 12 de Novembro Motael dengan patungnya yang ikonik hingga permakaman Santa Cruz. Lalu patung Kristus Raja yang menjulang, kediaman Manuel Carrascalao, gedung Sang Tay Hoo, serta markas-markas militer Indonesia yang kini menjadi kantor dan toko-toko.
Monumen-monumen juga ditemukan di pinggir jalan dan gang kecil bertera nama orang dari berbagai kalangan yang wafat akibat konflik. Beberapa bangunan yang dibakar pada 1999 masih terbengkalai, menyisakan atap berlubang dan tembok-tembok yang hitam. Saya menduga semua monumen dan bangunan itu menyempurnakan ingatan kolektif masyarakat.
Monumen dan bangunan itu juga pelan-pelan membangun pemahaman saya tentang satu dan lain peristiwa yang secara jarak dan waktu terentang begitu jauh dengan diri saya, seorang Indonesia. Apalagi dalam konteks Timor Leste, yang pada pra- dan pasca-kemerdekaannya, ratusan ribu orang harus meninggal akibat perang dan konflik.
Pendekatan lembaga negara di Timor Leste yang ramah terhadap sejarah tadi membuat saya tidak perlu bersusah payah bertanya tentang hal-hal di sekitar. Cerita-cerita tentang peristiwa dan tokoh sejarah meluncur dari mulut orang-orang dengan lancar. Termasuk cerita tentang Dom Boaventura, sosok yang patungnya saya temui di banyak tempat, dari Dili, Aileu, sampai Same.
Satu hal yang paling menyenangkan dari Dili adalah jarak dan pemandangan antardistrik yang beragam. Saya sempat mendatangi beberapa distrik dan subdistrik menggunakan sepeda motor. Salah satunya Subdistrik Same, yang berjarak sekitar 81 kilometer ke arah selatan Dili. Menuju ke sana, jalanan tak selalu baik. Namun pemandangan selalu baik!
Saya melakukan perjalanan lintas distrik bagai keluar-masuk gerbang antardimensi. Dari Dili di pesisir, Aileu dan Maubisse di perbukitan, sampai saya pun tiba di Desa Adat Roututu, Same, di kaki Gunung Kaublaki yang berbatu. Beberapa detail suasana berbeda dapat diperoleh dengan berjalan tiga jam menggunakan sepeda motor: suhu udara, bahasa, dan logat orang-orang ketika berbicara, pemandangan alam, serta tentu monumen-monumen bersejarahnya.
Bekas penjara Balide. FOTO: Aura Asmaradana
Sebelum datang ke Dili, saya sempat membaca sebuah esai dari Aboeprijadi Santoso yang bercerita tentang salah satu patung-yang dipercaya sebagai-Dom Boaventura, di Jardim 5 de Maio Dili. Patung itu saya lihat langsung di banyak tempat lain dengan postur dan ekspresi berbeda-beda. Berdasarkan beberapa sumber kisah, Dom Boaventura adalah seorang liurai (kesatria Timor) yang memberontak terhadap pemerintah Portugis pada 1900-1912-an.
Pada sumber daring, terdapat satu foto yang menunjukkan wajah Dom Boaventura dengan jelas. Wajah itulah yang menjadi bahan pembangunan patung-patung, dengan postur dan gestur tubuh yang berbeda-bergantung pada tahun dan pihak yang membangunnya. Gestur tubuh yang dipilih itu tampaknya bukan tanpa tujuan.
Aboeprijadi Santoso, misalnya, mengaitkan patung di Jardim 5 de Maio itu dengan patung pembebasan Irian Barat yang bersemangatkan pembebasan, mengisyaratkan ide integrasi, dan menurut saya, sangat revolusioner jalanan. Adapun gestur patung yang saya lihat di Parque Dom Boaventura, Luak, Same, disesuaikan dengan foto aslinya yang tampil lebih monarkis nan kalem. Ia duduk di atas singgasana dengan wibawa yang jauh dari ekspresi dan gestur tubuh frontal.
Hal-hal seperti itu membuat saya betah mengamati. Monumen, sebagai simbol dan representasi kaitan manusia dengan sejarah, berhasil membuat Timor Leste maju. Tak hanya itu, berbagai peringatan peristiwa yang diperingati secara masif oleh pemerintah, LSM, dan komunitas yang saya hadiri, seperti Santa Cruz pada 12 November, proklamasi kemerdekaan pada 28 November, dan hari pertama invasi pada 7 Desember, membuat saya belajar bahwa berdamai dengan masa lalu ternyata tak mesti selalu kelabu.
Di samping semua tujuan riset saya, saya akui bahwa Dili adalah sebuah kota yang ramah wisatawan, bahkan untuk ditinggali dalam waktu lama. Ragam hiburan khas perkotaan memang tak banyak, tapi berjarak dekat dengan lokasi refreshing, tempat warga Dili bisa menghabiskan waktu di tengah alam: pantai, bukit, dan tebing-tebing.
Beberapa bar menjadwalkan happy hours dengan live music dan beragam menu minuman layaknya bar-bar di Eropa-meski tidak buka sampai dinihari. Beberapa ruas pantai menyediakan tempat nongkrong yang asyik dengan makanan yang tidak terlalu mahal tapi harus dipilih baik-baik. Kebanyakan pemilik lapak sate seafood menghangatkan berkali-kali lauk yang mereka jual sehingga rasanya tidak segar lagi. Pengalaman seafood terbaik hanyalah membelinya dari nelayan dan memasaknya sendiri dengan api di pantai.
Pantai-pantai Dili bersih dan tenang dengan pemandangan sunset yang mewah. Untuk mencapai semua itu, angkutan kota bisa digunakan sebagai transportasi, tapi bukan andalan karena hanya beroperasi hingga sore hari. Untuk bisa pulang ke rumah pada malam hari, dibutuhkan transportasi pribadi. Tak usah khawatir, untuk datang ke berbagai tempat di Kota Dili, kita tidak perlu mengeluarkan biaya parkir.
Di Dili, jalanan cepat sepi. Orang-orang mudah tak peduli. Namun kriminalitas yang terorganisasi nyaris tak saya dengar beritanya. Selama dua bulan tinggal di Dili, tak sekalipun saya berurusan dengan kriminal.
Menjelang hari-hari besar, seperti Natal dan tahun baru, jalanan Dili terang benderang, hangat, dan menyenangkan. Namun saya harus bergegas pergi untuk memenuhi janji dengan keluarga yang pernah tinggal di Timor-Timur, yang kini menetap di Kota Soe, Nusa Tenggara Timur. Saya meninggalkan Dili pada suatu dinihari menggunakan mobil travel, pilihan transportasi yang jauh lebih murah dibanding jalur udara.
Berburu Monumen, Meramu Cerita