Ursula Yulita
Penyuka Eco-tourism
Denmark bukan hanya Copenhagen yang cantik dan kampung halaman penulis terkenal Hans Christian Andersen. Ada banyak tempat menarik di negeri yang luasnya setara Provinsi Jawa Timur ini. Salah satunya kota kecil Frederikshavn yang terletak di ujung utara Denmark.
Kota seluas 22 kilometer persegi atau sekitar seluas Kota Cianjur di Jawa Barat ini berpopulasi sekitar 23.300 orang. Suasananya tenang dan tentu saja tanpa macet. Jalur pedestrian dan jalur sepeda terdapat di sepanjang sisi jalan raya. Mobil, bus kota, dan sepeda menghiasi jalan-jalan kota. Saya beruntung memiliki teman yang tinggal di sana dan bisa saya kunjungi.
Frederikshavn sebetulnya dikenal sebagai kota pelabuhan penting yang menghubungkan Denmark dengan kota-kota lain di negara tetangganya: Gotheborg di Swedia, Oslo di Norwegia, dan Pulau Laeso yang berjarak 28 km.
Setiap hari kapal feri mondar-mandir dari Frederikshavn ke kota-kota tersebut. Di sini juga ada salah satu pangkalan Angkatan Laut Denmark. Namun, meski Frederikshavn berupa kota pelabuhan, pemandangan yang mencolok di sana justru berupa ruang terbuka hijau yang begitu banyak. Tidak mengherankan jika udara kota menjadi segar dan napas terasa lega.
Saya seperti menemukan oasis di sini. Di tengah kota terdapat beberapa taman kota dengan pepohonan besar dan berusia tua. Lalu ada Bangsbo Park yang memiliki museum, taman botani, dan deer park.
Hiburan lain yang bisa ditemukan di Frederikshavn adalah deretan pertokoan lengkap dengan restoran, kafe, dan hotel. Pada musim panas, ketika matahari bisa dinikmati selama 18 jam sehari, banyak acara digelar untuk meramaikan kota. Di daerah pertokoan digelar pasar malam. Festival bunga dan pertunjukan musik juga dihelat di salah satu taman kota. Sedangkan di sudut lain, tepatnya di Palm Beach, warga kota menikmati matahari dengan berbaring di pantai berpasir putih yang ditumbuhi pohon-pohon palem.
Daya tarik Frederikshavn tak hanya berada di kotanya. Saat berkunjung ke sana musim panas lalu, saya diajak mendatangi Pulau Hirsholm, bagian dari Kepulauan Hirsholmene. Kepulauan ini terletak sekitar 7 km dari Kota Frederikshavn dan terdiri atas gugusan pulau kecil, seperti Hirsholm, Græsholm, Lilleholm, Tyvholm, Kølpen, dan Deget. Sejak 1938, kepulauan ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi alam dan pusat konservasi burung, terutama seagull alias camar laut.
Hirsholmene juga menjadi salah satu situs Ramsar yang ditetapkan oleh UNESCO. Konvensi Ramsar adalah perjanjian internasional untuk konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan. Konvensi ini dikenal juga sebagai konvensi tentang lahan basah dan diberi nama Ramsar karena konvensi ini pertama kali ditandatangani pada 1971 di Kota Ramsar, Iran.
Untuk mencapai Hirsholm, kami menumpang kapal Seadog dari Pelabuhan Frederikshavn. Kapal ini hanya berkapasitas 12 orang dalam sekali jalan. Jadi, wisatawan yang ingin menyeberang harus melakukan reservasi lebih dulu secara online atau melalui Tourist Office di tengah Kota Frederikshavn.
Pembayaran dilakukan di atas kapal saat akan berangkat dengan harga tiket 135 DKK (Danish Kroner) atau sekitar Rp 285 ribu. Jumlah itu untuk tiket pergi-pulang dengan jam-jam tertentu. Feri ke Hirsholm berlayar dari Maret hingga November. Setiap tahun, sekitar 6.000-8.000 pelancong berkunjung ke pulau ini.
Kapal kecil kami melaju di laut yang tenang di bawah sinar matahari sore pada musim panas. Angin lumayan dingin ketika berada di laut lepas. Saat itulah saya baru menyadari kalau salah kostum. Ternyata jaket tipis saya tidak bisa menahan serbuan angin.
Selama 30 menit kapal kami berlayar perlahan, tanpa tergesa-gesa. Mendekati dermaga Hirsholm, kami disambut hangat riuhnya kicauan burung camar yang memadati sisi kanan dermaga dan yang terbang di antara kapal-kapal yang bersandar. Sebuah mercusuar tegak berdiri di latar belakang.
Beberapa kelompok wisatawan dengan keluarga mereka tampak menikmati matahari di atas kapal atau duduk-duduk di dermaga. Tampak pula beberapa rumah kuno di sana. Di sinilah kapal Seadog kami berlabuh.
Turun dari kapal, kami berjalan menyusuri jalan-jalan setapak yang semuanya berupa jalan tanah. Kami melihat seagull di mana-mana, di darat, laut, dan beterbangan di udara. Di sepanjang jalan, burung-burung tampak bertengger di atas batu, bahkan ada yang membuat sarang di atasnya. Di kanan dan kiri jalan terdapat beberapa bangunan kuno.
Ada 19 rumah di pulau ini, yang sebagian besar disewakan, tapi hanya untuk orang-orang tertentu dan memerlukan izin khusus, misalnya penulis Denmark yang ingin menyepi untuk menyelesaikan karyanya. Deretan toilet umum berdiri tidak jauh dari dermaga. Namun tidak ada satu pun penjual makanan di sini. Wisatawan harus membawa bekal piknik sendiri, yang dapat disantap di beberapa meja dan kursi yang tersedia. Di sini juga tidak diizinkan mendirikan tenda.

Pernak-pernak bermotif seagull. Foto: Ursula Yulita
Menurut cerita, Pulau Hirsholm telah dihuni sejak zaman prasejarah. Terbukti dengan ditemukannya batu api di pulau ini. Pulau Hirsholm pertama kali disebutkan dalam survei yang dilakukan oleh Raja Valdemar The Victorious pada 1231. Hingga sekarang, rumah-rumah dari abad ke-16 masih dipertahankan, juga sebuah mercusuar yang dibangun pada 1883. Pada masa itu, hanya ada sekitar 100 orang yang tinggal di sini.
Pada 1853, pulau ini menjadi milik Raja Denmark, yang membangun dermaga delapan tahun kemudian. Penghuni pulau pun bertambah menjadi 225 orang pada 1870 dan menjadi jumlah penduduk terbanyak yang pernah bermukim di sana. Para penduduk Hirsholm hidup sebagai nelayan dan pemahat batu yang saat itu digunakan untuk konstruksi pelabuhan di seluruh Denmark.
Sebagai negara dengan lebih dari 90 persen penduduknya beragama Kristen Protestan, sebuah gereja kecil melengkapi pulau yang dibangun pada 1641 itu. Sebelumnya, penduduk harus pergi ke Frederikshavn untuk beribadah di gereja. Beberapa insiden perahu tenggelam tak terhindarkan ketika musim dingin akibat perahu warga menabrak es di laut yang membeku. Selain itu, banyak kasus kematian anak sebelum dibaptis, atau jenazah yang harus menunggu lima hari baru bisa dimakamkan karena menunggu pendeta datang.
Gereja ini dibangun secara sederhana oleh seorang bangsawan bernama Otto Skeel. Di bagian dalamnya terdapat altar dan mimbar untuk khotbah pendeta. Bangku-bangku kayu sederhana berwarna biru muda berjajar menghadap altar. Ornamen pahatan kayu di altar terbilang unik, menggambarkan Tuhan duduk memangku Yesus diapit St Katharina dari Alexandria (pelindung para filsuf dan anak perempuan) dan St Laurence (pelindung para pelaut). Di kiri dan kanannya terdapat ornamen 12 rasul Yesus.
Gereja yang hanya mengandalkan lilin sebagai penerangan ini sekarang menjadi bagian dari gereja Frederikshavn dan beberapa pelayanan diadakan setiap tahun. Awalnya, saya kira gereja ini tidak memiliki lonceng karena saya tidak melihatnya. Ternyata lonceng gereja ditempatkan di tengah-tengah pulau, bukan di halaman gereja.
Seperti gereja pada umumnya di Denmark, di dalam gereja ini juga terdapat replika kapal berbendera Denmark yang digantung di langit-langit. Kebiasaan ini ada sejak sebelum agama Kristen diperkenalkan di negeri itu. Sebagai pelaut dan nelayan, mereka biasa membuat replika kapal untuk persembahan agar perjalanan melaut mereka selamat. Tradisi ini tetap diteruskan dan diterapkan di gereja-gereja sampai sekarang.
Beruntung sekali teman saya di Frederikshavn ini seorang penulis yang sangat tertarik oleh sejarah. Kisah-kisah menarik seputar Hirsholm terus mengalir saat kami keluar dari gereja. Termasuk cerita tentang penyihir. Pada masa lalu, banyak orang yang dianggap sebagai penyihir di Denmark. Pada 1600-an, ada seorang penyihir bernama Stocking Mette yang mengancam seorang pendeta dari Kota Elling, jika pendeta tersebut memberikan pelayanan di Hirsholm, ia akan mati tenggelam. Ternyata benar, pendeta tersebut meninggal tenggelam setelah memberikan pelayanan di Hirsholm. Penyihir tersebut pun ditangkap dan dinyatakan bertanggung jawab atas kematian pendeta. Ia dihukum mati dengan cara dibakar.
Hukuman mati seperti ini biasa dilakukan di Denmark untuk orang-orang yang mereka anggap sebagai penyihir. Pembakaran terakhir seorang penyihir di Denmark terjadi pada 4 April 1693. Sebelum dibakar, ia dipenggal. Kasusnya sampai ke Pengadilan Tinggi Denmark di Copenhagen.
Meski tidak dengan cara dibakar, sampai 1800-an hukuman mati masih diterapkan bagi penyihir di sana. Eksekusi mati terakhir di Denmark dilakukan pada 1892. Kisah penyihir ini membuat saya teringat pada tukang sihir atau nenek sihir dalam cerita Salju Putih yang digambarkan berwajah seram dengan hidung panjang, berbaju hitam, dan kuku-kuku panjang.
Obrolan terhenti ketika kami sampai di mercusuar yang menjulang setinggi 22 meter. Saya segera menaiki tangga merah melingkar di dalam mercusuar untuk melihat Pulau Hirsholm dari atas. Saya juga ingin menyaksikan bagaimana koloni burung camar ini memenuhi pulau. Apalagi Hirsholm menjadi tempat singgah jenis burung lain yang sedang bermigrasi. Di atas mercusuar, angin bertiup cukup kencang. Tapi pemandangan indah tersaji di depan mata.
Saat menengok ke kiri, tampak ribuan burung menutupi tanah, mendekam di antara semak-semak. Ada pula yang terbang ke sana-kemari ditingkah riuhnya kicauan mereka. Ini menjadi pemandangan menakjubkan. Jumlah burung di koloni ini berubah setiap tahun, tapi diperkirakan ada lebih dari 13 ribu burung dewasa di sana, dari berbagai jenis. Paling tidak ada dua jenis yang saya lihat, seagull silver dan seagull berkepala hitam.
Seperti hampir di seluruh bagian selatan sepanjang pesisir timur Denmark, di pulau ini juga terdapat bungker peninggalan masa Perang Dunia Kedua. Serdadu Jerman banyak membangun bungker di sepanjang wilayah pantai. Di bukit yang menghadap ke laut di Frederikshavn pun terdapat beberapa bungker peninggalan Jerman dan sekarang menjadi tempat wisata.
Pulau kecil ini juga memiliki pantai kecil berpasir putih, Præstebugten. Kalau beruntung, wisatawan bisa bertemu dengan anjing laut meski kemungkinannya sangat kecil.
Burung camar di Hirsholm hidup tenang bersama penduduk sekitar dan tidak saling mengganggu. Mereka biasa terbang di sekitar permukiman atau di taman kota. Seagull yang friendly ini juga senang difoto dan mereka memang fotogenik. Kalau melihat kamera, mereka akan berhenti dan menegakkan kepala, bak seorang model.
Burung camar bahkan dijadikan salah satu motif peralatan makan dan tea set yang diproduksi Royal Copenhagen, salah satu perusahaan tertua di dunia yang memproduksi barang-barang porselen. Royal Copenhagen, yang didirikan pada 1775, telah menghasilkan peralatan makan porselen motif seagull sejak 1895. Peralatan makan ini dikoleksi banyak keluarga di Denmark dan diwariskan kepada anak-anak mereka.
Pada pukul 20.00 matahari masih bersinar cerah saat kami menikmati makan malam di salah satu bangku di tepi pantai. Menunya adalah homemade sandwich. Beberapa camar berjalan di dekat kami, sebagian terbang lalu-lalang sambil membawa ikan yang mereka tangkap di laut di sekitar dermaga. Rupanya, ini juga jam makan malam di koloni mereka. Sungguh makan malam yang mengesankan bersama para seagull. Velbekomme, seagull, selamat makan!