Afifah Ahmad
Penyuka traveling
Di Nashtifan, kota kecil di Provinsi Khorasan Rezavi, Iran, alam memberi keberkahan berupa angin yang bertiup sepanjang tahun. Selama ratusan tahun, iklim khas tersebut telah menggerakkan penggilingan gandum raksasa. Situs-situs kincir angin pun bertebaran.
Akhir Juni 2019. Ketika berbagai media internasional ramai memberitakan kemungkinan serangan Amerika ke Iran, saya justru sedang memulai perjalanan ke wilayah timur negara ini. Setelah istirahat beberapa hari di Kota Mashhad, rencananya kami akan melanjutkan perjalanan ke Nashtifan, kota kecil di Provinsi Khorasan Rezavi, Iran. Berita simpang-siur soal perang awalnya membuat saya gentar. Apalagi daerah yang akan kami kunjungi dekat dengan perbatasan Afganistan. Sempat terpikir untuk kembali ke Ibu Kota Teheran dan melupakan mimpi lama mengunjungi kota-kota eksotis di perbatasan Afganistan.
Entahlah alasan apa yang membuat saya akhirnya memutuskan untuk tetap pergi. Saya hanya berpikir, jika sekarang mundur, sulit lagi untuk merencanakan perjalanan ke wilayah ini. Setidaknya kami telah menempuh jarak hampir 900 kilometer dari Teheran ke Kota Mashhad. Hanya perlu 300 kilometer lagi untuk sampai di kota tujuan akhir. Biarlah, untuk sementara saya akan melupakan kabar keriuhan politik di luar sana. Kami segera berkemas untuk melanjutkan perjalanan ke Nashtifan, esok hari.
Sebuah sedan tua berwarna putih kusam menunggu kami di depan penginapan. Awalnya, saya kecewa mendapat mobil yang kurang layak untuk perjalanan jauh antar-kota. Apalagi penyejuk udara mobil ini juga tidak berfungsi. Langsung terbayang rasa panas yang akan menyergap kami selama lima jam ke depan. Kabar baiknya, Adalatnejad, sopir yang mengantar kami, berasal dari Nashtifan. Tanpa diminta, ia bercerita banyak tentang kampung halamannya. Ternyata mayoritas penduduk wilayah ini memiliki kedekatan dengan etnis Afgan. Begitu juga, bahasa daerah yang mereka gunakan sehari-hari adalah bahasa Dari, bahasa Persia dialek khas Afganistan.
Seniman dari Nashtifan.
Mendengar nama Afganistan, jantung saya mulai berdebar. Negara penuh kemelut yang biasanya hanya saya baca dan dengar itu kini jaraknya sudah teramat dekat. Apalagi saat melintasi kawasan Taybad, kota yang berbatasan langsung dengan negara Afganistan. Jaraknya hanya 20 kilometer dari garis batas. Truk-truk gandeng dengan muatan berat terlihat sepanjang jalan. Kata Adalatnejad, kami sedang berada di kawasan transit perdagangan negara Iran dan Afganistan. Sejujurnya, ada rasa cemas saat melintasi jalan-jalan yang menghubungkan kedua negara ini.
Kekhawatiran saya semakin menjadi ketika seorang polisi menghentikan mobil yang kami tumpangi. Mas sopir segera turun, sementara saya menunggu dalam mobil sambil menyiapkan berbagai dokumen. Tidak sampai sepuluh menit, Adalatnejad sudah kembali. "Maaf, saya kena tilang. Polisi bilang, kecepatan mobil saya melebihi 110 kilometer per jam. Biasanya sampai 120 kilometer per jam tidak masalah," demikian dengan agak kesal Adalatnejad bercerita panjang-lebar. Saya tak tega melihatnya harus membayar denda cukup besar. Kalau sopir-sopir di Teheran pasti sudah mengumpat sepanjang jalan. Tanpa diminta, saya memberikan sedikit tip karena kebaikan dan kesabarannya selama di perjalanan.
Adalatnejad kembali melaju di jalanan menuju arah Nashtifan. Kali ini ia lebih hati-hati dan mengurangi kecepatan. Ketika saya bertanya tentang kondisi keamanan di kawasan ini, ia malah tersenyum lebar. "Tenang saja. Bahkan saya lebih takut keluar malam di Teheran daripada di sini," sahutnya dengan enteng. Tentu saya tidak sepenuhnya percaya. Adalatnejad lahir dan besar di wilayah ini. Wajar kalau dia merasa nyaman berada di zonanya. Bagaimanapun, gambaran di kepala saya tentang keamanan di perbatasan cukup menakutkan. Tapi, di luar dugaan, ternyata tak seseram yang saya bayangkan. Selain di pos polisi tadi, nyaris tak ada pemeriksaan lainnya.
Sebuah tulisan berbahasa Persia yang terpampang di papan petunjuk membuat saya lega. "Selamat datang di Nashtifan! Selamat datang di kota kincir angin!" Ya, Kota Nashtifan memang terkenal dengan sumber daya anginnya yang berlimpah. Bahkan embusan angin sudah mulai terasa jauh sebelum memasuki kawasan ini. Meski AC mobil mati, saya tak merasa kepanasan berkat angin yang berlimpah sepanjang jalan. Semakin mendekati kota tujuan, tiupan angin terasa kian kuat. Keberkahan alam ini berasal dari angin yang bertiup sepanjang tahun, terutama angin dari timur laut selama 120 hari, dari Juni sampai Oktober. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai angin pegunungan Baba. Selama ratusan tahun, iklim khas tersebut telah menggerakkan penggilingan gandum raksasa.
"Anda adalah orang Indonesia pertama yang datang ke situs bersejarah ini," kata Puryaghub, pemilik penginapan tradisional, begitu saya tiba di pintu masuk. Lokasi penginapan hanya berjarak sekitar 300 meter dari situs kincir angin kuno yang menjadi daya tarik utama kawasan ini. Menurut Puryaghub, banyak ahli sejarah dan antropolog yang sengaja datang ke Nashtifan. Tak sedikit juga para traveler asal Eropa yang singgah di sini. Saya sendiri merasa bahagia bisa menjejakkan kaki di situs yang cukup unik ini. Apalagi tempat menginap saya berada di tengah perkampungan. Potret keseharian masyarakat dapat terekam dengan baik. Hanya perlu waktu beberapa jam, saya sudah berbaur dan merasa menjadi bagian dari anggota keluarga Puryaghub.
Perlahan, matahari mulai bergerak ke arah barat. Inilah waktu yang tepat untuk melihat situs kincir angin dari dekat. Tak seperti situs-situs sejarah lainnya yang biasanya dipadati pengunjung, tempat ini masih belum banyak diketahui masyarakat luas. Barangkali karena lokasinya berada jauh di daerah terpencil. Tapi saya justru lebih menyukai tujuan wisata yang tidak mainstream, karena saya akan leluasa mengamati setiap sudut bangunan. Kabarnya, kompleks ini sedang didaftarkan menjadi situs budaya UNESCO. Jika diterima, tentu kota ini akan bertambah ramai.
Bangunan kincir angin biasanya didirikan secara berkoloni dan berada di dataran paling tinggi. Tujuannya, selain agar bangunan lebih kokoh, pusaran angin akan mudah diserap. Unsur pembentuk utamanya berupa kayu, batu, dan besi, tapi bagian yang terlihat dari luar didominasi kayu. Jenis kayu yang digunakan adalah pinus lokal yang banyak tumbuh secara liar. Di bagian tengah, ada pilar panjang yang menghunjam sampai ke ruang bawah tanah. Pilar itulah yang menghubungkan baling-baling kayu dengan lempengan batu, tempat biji-biji gandum dihaluskan.
Angin pegunungan mulai terasa berembus kuat, menggerakkan baling-baling kayu yang tersusun satu ukuran. Suara deritnya seperti bercerita tentang usianya yang semakin tua. Bangunan jenis kincir angin seperti ini banyak digunakan pada masa dinasti Safavi, sekitar abad ke-16 sampai ke-18. Namun beberapa temuan terbaru menunjukkan kincir angin jenis ini juga sudah digunakan sejak seribu tahun silam. Selama ratusan tahun, teknologi ramah alam ini telah bersahabat dengan nenek moyang masyarakat Nashtifan. Entah berapa ton gandum yang telah digiling untuk kelangsungan hidup puluhan generasi.
Hari ini, ketika banyak warga telah memilih untuk menggiling gandum dengan mesin-mesin modern, kincir angin Nashtifan masih memberi keberkahan bagi penduduk setempat. Menurut Puryaghub, selain penginapan miliknya, ada beberapa rumah tradisional lainnya yang disulap menjadi penginapan. Kios-kios kerajinan tangan juga terlihat di beberapa tempat. Roda ekonomi tampak bergeliat di kawasan ini. Berkah kincir angin juga menghadiahkan kebahagiaan kepada warga, mereka dapat terhubung dengan masyarakat dunia. Lihatlah bagaimana senyum anak-anak saat berlari mengejar turis-turis yang datang. Dengan sukacita, mereka menjelaskan banyak hal, laiknya pemandu.
Wajah-wajah lugu itu mengingatkan saya akan Ghaffari, teman kuliah asal Afganistan. Sudah beberapa tahun saya kehilangan kontak dengannya. Di Iran, ada sekitar tiga juta imigran dari Afganistan. Lebih dari 700 ribu di antaranya merupakan pendatang ilegal. Mereka yang memiliki kartu izin tinggal khusus mendapat berbagai fasilitas, seperti pendidikan dan kesehatan. Sedangkan mereka yang ilegal lebih banyak mengisi sektor kasar, seperti pekerja bangunan.
Ghaffari termasuk di antara mereka yang beruntung. Ia dapat melanjutkan belajar sampai bangku kuliah. "Saya juga ingin kembali ke Afganistan, tapi tak punya siapa-siapa lagi di sana," tuturnya suatu hari dengan mata berkaca-kaca. Saya berempati kepadanya, meski kami sama-sama perantau. Tapi saya merantau karena pilihan sendiri dan kapan saja dapat kembali ke tanah air tercinta. Sedangkan Ghaffari terpaksa meninggalkan negeri leluhurnya karena perang yang berkecamuk.
Suara riang anak-anak yang bermain memudarkan bayangan wajah sendu Ghaffari. Saya segera menyadari, Nashtifan bukanlah Afganistan. Meskipun secara fisik dan bahasa ada kemiripan, keduanya dipisahkan oleh batas-batas negara. Satu per satu anak-anak mulai pergi bersama langit yang semakin gelap. Perlahan saya juga kembali ke penginapan, diantar suara azan magrib dari masjid perkampungan. Azan yang sedikit berbeda dari masjid-masjid Teheran, karena mayoritas penduduk Kota Nashtifan ini memang bermazhab Ahlus-Sunnah.
Puryaghub melambaikan tangan dari kejauhan. Ternyata ia telah menyiapkan sebuah kejutan. Dua orang seniman sengaja diundang khusus untuk membawakan lagu-lagu daerah. Mereka memakai baju tradisional. Keduanya terlihat rapi dan tampan. Sebelum pertunjukan dimulai, istri Puryaghub membawakan nampan besar berisi abgosht, semacam kuah daging dengan tiga kerat roti tradisional. Inilah menu makan malam kami. Lengkap dengan sayuran hijau segar dan dough, sejenis minuman kefir. Saya segera menyudahi makan malam. Tak sabar ingin segera menyaksikan penampilan para seniman muda.
Langit Nashtifan malam itu cerah bertabur bintang-bintang. Di halaman penginapan, suara tor mulai terdengar. Tor adalah alat musik tradisional Iran mirip gitar, tapi lebih sederhana dan memiliki bunyi yang khas. Biasanya digunakan untuk mengiringi lagu-lagu sufistik. Dua-tiga lagu sudah mengalun. Ada yang nadanya terdengar gembira, ada juga yang meliuk-liuk syahdu. Salah satu lirik lagu yang mereka nyanyikan diambil dari syair-syair Rumi.
Ah…, mendengar nama Rumi, saya langsung ingat sejarah perjalanan hidupnya yang pernah singgah di Khorasan Raya. Dalam situasi mencekam invasi bangsa Mongol, rombongan keluarga Rumi juga pernah melintasi kawasan ini, sebelum akhirnya menetap di Konya, Turki. Dulu, di tengah kondisi politik yang morat-marit, Rumi malah melahirkan banyak puisi cinta dan kemanusiaan.
Malam itu, di tengah kabar perang yang terus menghantui, dua seniman Nashtifan kembali menghidupkan syair-syair Rumi yang meneduhkan. Ditemani embusan angin sepanjang malam, saya menikmati setiap petikan tor dan alunan suara yang meliuk-liuk. Tiba-tiba saya merasa sangat bahagia. Saya berhasil mengalahkan rasa takut demi menempuh perjalanan tak biasa ini. Perjalanan yang awalnya penuh kecemasan, ternyata berakhir dengan perasaan lega.
Puryaghub berkali-kali mengulangi sebuah kepercayaan masyarakat setempat: "Angin adalah keberkahan bagi Nashtifan. Di sini, setiap tamu akan bahagia." Meskipun terkesan berlebihan, barangkali juga ada benarnya. Berkat situs kincir angin inilah saya dan banyak turis lainnya terhubung dengan masyarakat setempat. Bagi pejalan, tak ada yang lebih menyenangkan daripada mengenal orang-orang baru dan merasakan pengalaman tak biasa. Apalagi Nashtifan adalah kota eksotis di batas Afganistan. ]