YERUSALEM - Mahkamah Agung (MA) Israel memulai sidang selama dua hari ini mulai kemarin untuk menentukan nasib Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Mahkamah akan menentukan diizinkan atau tidaknya Netanyahu membentuk pemerintahan baru setelah didakwa kasus korupsi pada 24 Mei mendatang.
Sebelas hakim, yang mengenakan masker dan dipisahkan oleh layar sebagai tindakan pencegahan wabah virus corona, memimpin sidang. Kelompok kecil di luar pengadilan, yang juga mengikuti pedoman jarak pembatasan sosial, dengan membawa bendera Israel memprotes tindak korupsi pemerintah.
Keputusan terhadap Netanyahu mungkin memicu pemilihan umum yang keempat sejak April 2019, karena negara itu bergulat dengan krisis virus corona dan kejatuhan ekonominya. Netanyahu dan pesaing utamanya, Benny Gantz, menandatangani perjanjian pada bulan lalu untuk membentuk pemerintah persatuan. Setelah tidak diperoleh hasil mayoritas dalam pemilihan umum hingga ketiga kali, mereka bersepakat membentuk pemerintahan bersama. Netanyahu akan menyerahkan kepemimpinannya kepada Gantz setelah 18 bulan mendatang.
Pakta ini mendapat dukungan dari mayoritas di parlemen. Namun beberapa kelompok, termasuk pihak oposisi, mengajukan petisi ke pengadilan tertinggi Israel untuk membatalkan kesepakatan itu. Mereka juga mendesak agar melarang Netanyahu memimpin pemerintahan, dengan menyebutkan proses pidana terhadapnya. Netanyahu didakwa pada Januari lalu atas tuduhan suap, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan. Dia membantah jika disebut melakukan kesalahan dalam ketiga kasus terhadapnya dan mengatakan dia adalah korban perburuan politik.
Menanggapi petisi, Jaksa Agung Israel Avichai Mandelblit menulis ke pengadilan dengan mengatakan bahwa tidak ada dasar hukum yang cukup untuk mendiskualifikasi Netanyahu. Dia menggambarkan kasus ini sebagai "tabrakan langsung" antara prinsip demokrasi dan pada integritas lain dalam pelayanan publik, khususnya di antara pejabat terpilih.
REUTERS | SUKMA LOPPIES