maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Google

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin


Aturan Perjanjian Pranikah

Secara dwimingguan, Koran Tempo dan Konde.co, bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Koalisi Advokat Keadilan Gender, serta Kalyanamitra, menyajikan rubrik khusus untuk menjawab persoalan hukum perempuan. Kali ini tentang perjanjian pranikah.

arsip tempo : 171084088693.

Pasangan pengantin menggelar akad nikah di Jakarta, 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis. tempo : 171084088693.

Halo, perkenalkan saya Wiwin. Saya berencana menikah dan akan membuat perjanjian pranikah dengan pasangan saya. Namun, sebelum membuat perjanjian tersebut, saya membutuhkan konsultasi secara hukum. Bagaimana bentuk perjanjian pranikah itu dan bagaimana jika salah satu dari kami melanggar perjanjian tersebut?

Terima kasih.
Wiwin, Bandung

-----------------------------------------------------------

Halo Wiwin, perkenalkan saya Mona Ervita dari Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender. Berikut ini saya akan menyampaikan jawaban atas pertanyaan Anda mengenai perjanjian pranikah. 

Perjanjian pranikah merupakan perjanjian yang diadakan atau dibuat oleh calon suami dan calon istri, sebelum melakukan perkawinan (prenuptial agreement). Namun, lebih tepatnya, saya menggunakan istilah “perjanjian perkawinan” sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. 

Perjanjian perkawinan dapat dilakukan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan (postnuptial agreement), yang bertujuan mengatur apa saja hak dan kewajiban suami-istri. Pengaturan ini termasuk mengenai harta kekayaan masing-masing yang akan dibawa ke dalam perkawinan.

Pada konteks di Indonesia, perjanjian perkawinan belum menjadi sesuatu yang lumrah untuk dilakukan oleh para calon pasangan yang akan menikah. Bahkan perjanjian perkawinan ini dianggap salah kaprah oleh sebagian masyarakat. Mereka menganggap perjanjian perkawinan tidak perlu dilakukan, karena perkawinan cukup dengan adanya akad nikah yang dicatatkan saja. 

Namun perjanjian perkawinan ini sebenarnya perlu dilakukan untuk menjamin kepastian hukum bagi kedua belah pihak, terutama untuk menghadapi sengketa perkawinan. Misalnya, mengenai hak dan kewajiban calon istri dan suami, pemisahan harta dan penggabungan harta, atau masalah utang-piutang sebelum menikah. Selain itu, perjanjian perkawinan pada dasarnya memudahkan pasangan untuk mengetahui dan merincikan harta masing-masing sebelum menikah.

Ilustrasi buku nikah. TEMPO/Aris Novia Hidayat

-----------
Ketentuan tentang perjanjian perkawinan sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 29 ayat 1

“Perjanjian perkawinan merupakan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, hakim Mahkamah Konstitusi menafsirkan Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan sebagai berikut:

“Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”

-----------

Hakim Mahkamah Konstitusi dalam hal ini menambahkan frasa “selama dalam ikatan perkawinan”, namun juga mengubah kata “mengadakan” menjadi “mengajukan” serta menambahkan frasa “atau notaris”.

Jika melihat konteks logis putusan Mahkamah Konstitusi ini, ketika terjadi perkawinan yang sudah berjalan, perjanjian perkawinan tidak lagi bisa “diadakan” di hadapan pegawai pencatat perkawinan. Sedangkan perjanjian perkawinan tetap bisa “diajukan” pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Hal ini juga memunculkan opsi baru dalam melakukan perjanjian pranikah di hadapan seorang notaris. 

Perjanjian perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian. Sama halnya dengan perjanjian jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, perjanjian bersama, dan semuanya memiliki ciri dan kepentingan masing-masing. Ada lima karakteristik komponen perjanjian perkawinan, yaitu sebagai berikut:

1. Para pihak, yaitu pihak laki-laki dan pihak perempuan yang akan melangsungkan pernikahan atau telah melaksanakan pernikahan. 

2. Rentang waktu pembuatan, dilakukan pada masa tertentu saja, yaitu pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan. 

3. Isi perjanjian, hal ini sangat variatif, bergantung pada masing-masing pihak yang akan menentukan isi perjanjian tersebut. Misalnya mengenai harta yang diperoleh sebelum menikah, harta bersama, harta gono-gini, aset sebelum dan setelah menikah, dan sebagainya. 

4. Berlakunya perjanjian perkawinan, hal ini mulai dilakukan sejak dilangsungkan. Meski perjanjian tersebut dibuat sebelum perkawinan, masa mulai berlakunya tetap sejak perkawinan dilangsungkan. 

5. Sebab berakhirnya perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan tidak bisa dibuat tanpa adanya perkawinan. Namun tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan menjadi terhapus/berakhir ketika perkawinan juga berakhir. Bahkan tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pengakhiran perjanjian perkawinan ini dalam UU Perkawinan. Hal yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan, misalnya mengenai hak asuh anak pasca-cerai, biaya anak pasca-cerai, dan sebagainya.

Ilustrasi pasangan yang menikah di Kantor Urusan Agama, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Jika Saudari ingin membuat perjanjian perkawinan dengan pasangan Anda, pastikan ada hal-hal yang harus dilakukan:

Pertama, melakukan konsultasi dengan advokat atau konsultan hukum perkawinan untuk melakukan perjanjian perkawinan, dan pastikan hak dan kewajiban masing-masing pasangan dibuat dengan rasa aman dan bertujuan untuk melindungi. 

Kedua, berdasarkan putusan MK yang telah disebutkan sebelumnya, majelis hakim MK memberikan perluasan frasa dibuat dengan “akta notaris”, namun tetap mempertahankan frasa perjanjian perkawinan dilakukan secara “tertulis”. Dengan penegasan itu, perjanjian perkawinan ini memberikan jaminan bagi para pihak untuk melaksanakan isi perjanjian tersebut. 

Ketiga, setelah dibuat di akta notaris, perlu juga didaftarkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) bagi pasangan yang beragama Islam, atau Kantor Pencatatan Sipil bagi pasangan yang non-muslim. Tujuannya adalah untuk mengikat pihak ketiga secara hukum. Hal ini bukanlah suatu kewajiban, melainkan sebuah opsi. Namun alangkah baiknya untuk melakukan pengikatan kepada pihak ketiga. 

Lalu, bagaimana konsekuensi hukum apabila salah satu pihak melanggar perjanjian perkawinan? Sama halnya dengan perjanjian lain yang mengenal istilah wanprestasi, yaitu adanya peraturan yang dibuat, namun dilanggar oleh salah satu pihak. 

Sebelumnya, pada komponen perjanjian perkawinan, disebutkan dalam poin 5 tentang sebab berakhirnya perkawinan. Misalnya, salah satu pihak melanggar kesepakatan dalam perjanjian perkawinan tersebut karena hubungan yang tidak harmonis atau karena sebab perselingkuhan, maka perjanjian perkawinan dapat dibatalkan dan salah satu pihak dapat mengajukan perceraian. 

Dilanjutkan dengan isi perjanjian perkawinan, apabila terjadi sengketa dalam perkawinan, seperti perebutan hak asuh anak atau harta gono-gini, dapat dilakukan dengan mekanisme gugatan perceraian atau cerai talak di Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam atau pengadilan negeri bagi yang non-muslim. Perjanjian tersebut dapat dijadikan bukti autentik yang kuat bagi hakim untuk memutuskan hubungan terhadap pasangan suami-istri. 

Mona Ervita 
Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender 

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 19 Maret 2024

  • 18 Maret 2024

  • 17 Maret 2024

  • 16 Maret 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan