maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Google

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin


Penerapan UU TPKS untuk Pelaku Kejahatan Seksual

Setiap Kamis dwimingguan, Koran Tempo dan Konde.co bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, serta Kalyanamitra menyajikan rubrik khusus untuk menjawab persoalan hukum perempuan. Edisi kali ini membahas tentang penerapan UU TPKS untuk pelaku kejahatan seksual.

arsip tempo : 1711619272100.

Aksi Hari Perempuan Internasional di Pantung Kuda, Jakarta, 8 Maret 2022. Dok Tempo/Faisal Ramadhan. tempo : 1711619272100.

HALO kakak-kakak pengasuh Klinik Hukum. Saya Ignatia Irene Winanto, 20 tahun, mahasiswa fakultas hukum di sebuah universitas swasta. Saya ingin berkonsultasi mengenai kekerasan seksual yang dialami oleh saudara jauh saya dari pihak mama. Korban berinisial T, perempuan berusia 26 tahun, dan sudah menikah. Ia diperkosa dan dianiaya oleh laki-laki berinisial R pada 14 April 2022. Pria itu adalah pacar dari adik perempuan T.

Kasus ini dilaporkan ke polisi sehari setelah kejadian. Korban langsung divisum dan R ditahan untuk kelancaran pemeriksaan. Saya turut mendampingi korban dalam proses pelaporan sebagai paralegal. Setelah lima bulan, penyidik mengatakan berkas perkara sudah lengkap dan segera diserahkan ke kejaksaan dengan bukti awal yang cukup. Polisi menjerat R dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yakni Pasal 285 dan 351 ayat 1.

Adapun hal yang ingin saya tanyakan adalah kenapa polisi tidak menjerat R dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)? Padahal undang-undang tersebut sudah disahkan pada 12 April 2022. Jika pemerkosaan dan penganiayaan itu terjadi pada 14 April 2022, seharusnya pelaku bisa dijerat dengan undang-undang baru tersebut.

Menurut penyidik, UU TPKS baru disahkan dan belum ada peraturan presiden sebagai pelaksananya. Karena itu, penyidik tetap menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mohon penjelasan. Apakah kami bisa mendorong kejaksaan untuk menambahkan pasal UU TPKS dalam dakwaan?

Terima kasih.
Ignatia Irene Winanto


Halo Ignatia. Terima kasih sudah menggunakan layanan konsultasi Klinik Hukum bagi Perempuan Konde.co dan Koran Tempo online. Kami sangat senang klinik hukum ini tidak hanya diakses oleh korban atau perempuan pencari keadilan, tapi juga oleh mahasiswa ilmu hukum dan paralegal yang mendampingi korban kekerasan seksual.

Perkenalkan sebelumnya, saya Rr Sri Agustini, salah satu advokat pengasuh layanan konsultasi Klinik Hukum bagi Perempuan. Saya akan memberikan penjelasan atas pertanyaan kamu. Untuk memudahkan penjelasan, saya akan mengurainya dengan pertanyaan.

Mengapa undang-undang memerlukan peraturan pemerintah sebagai aturan turunannya?

Sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945), kekuasaan membentuk undang-undang—termasuk peraturan pelaksanaannya—ada di tangan lembaga legislatif, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Begitu juga untuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). DPR membahas dan mengesahkan undang-undang tersebut, meski usulan rancangan undang-undang berasal dari pemerintah. Sedangkan eksekutif (pemerintah) memiliki kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang tersebut.

Secara umum, peraturan perundang-undangan tidak memuat substansi pengaturan secara mendetail. Karena itu, diperlukan peraturan pelaksana agar undang-undang tersebut bisa diterapkan. Sementara itu, DPR tidak mungkin menyusun peraturan pelaksana yang bersifat teknis. Sebab, pembahasannya akan sangat lama mengingat mekanisme penetapan suatu keputusan di DPR terlalu rumit dan penuh perdebatan. Karena itu, pembuatan peraturan pelaksana ini perlu didelegasikan kepada eksekutif melalui peraturan pemerintah dan turunannya.

Begitu pula halnya dengan UU TPKS. Meski undang-undang ini sudah disahkan, sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah berikut turunannya yang secara detail memuat aturan-aturan teknis.

Apa itu peraturan pemerintah dan turunannya?

Dalam Pasal 5 ayat 2 UUD 1945 dijelaskan, peraturan pemerintah (PP) adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden untuk melaksanakan undang-undang. Bentuk dari PP ini sering dibuat turunannya yang disesuaikan dengan kebutuhan pelaksanaan dari undang-undang tersebut. Misalnya, dalam bentuk peraturan presiden (perpres) atau peraturan menteri (permen). Adapun untuk UU TPKS, turunan dari PP sebagai peraturan pelaksanaannya adalah perpres.

Aktivis memajangkan pakaian wanita sebagai bentuk penolakan RUU PKS di depan Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis

Apakah UU TPKS dan hukum acara bisa digunakan oleh penegak hukum kepada pelaku TPKS walaupun belum ada peraturan presiden?

Dalam konteks pertanyaan Ignatia, berikut ini uraian saya. UU TPKS, yang sifatnya darurat, dapat digunakan oleh penyidik kepada R sebagai tersangka pemerkosaan dan penganiayaan terhadap korban T, walau belum ada PP turunannya (perpres). Adapun landasan penerapan UU TPKS ini mengacu pada penjelasan saya di poin 1, yaitu kekuasaan untuk membuat undang-undang—termasuk peraturan pelaksanaannya—ada di tangan lembaga legislatif.

Jika berkas perkara ternyata sudah sampai di kejaksaan dan belum dituangkan dalam surat dakwaan, Ignatia bisa menemui jaksa penuntut umum (JPU) untuk memintanya menggunakan tambahan atau juncto Pasal 6 huruf (b) UU TPKS, yakni:

Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”

Menggunakan juncto tidak langsung mengganti keseluruhan pasal di KUHP dengan UU TPKS. Hal ini bertujuan agar pasal yang sudah dirumuskan oleh penyidik dapat dilapis dengan pasal UU TPKS. Dengan demikian, hukuman terhadap tersangka/terdakwa R menjadi berlapis, yaitu mengacu pada KUHP dan UU TPKS. Dengan demikian, diharapkan korban T, yang harkat dan martabatnya dihancurkan oleh perbuatan R, mendapatkan keadilan.

Bagaimana jika surat dakwaan sudah dimohonkan oleh JPU ke pengadilan untuk mengadili terdakwa? Sebelum menjawab hal ini, saya akan menjelaskan surat dakwaan.

Surat dakwaan adalah surat yang memuat struktur fakta (perumusan konstruksi fakta) dan role (aturan hukum yang diterapkan) atas tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, yang sementara disimpulkan oleh JPU dari berkas perkara hasil penyidikan. Surat dakwaan ini selanjutnya menjadi dasar bagi hakim untuk memeriksa dan menentukan unsur-unsur kesalahan terdakwa. Dari pemeriksaan inilah, hakim akan memberikan keputusan kepada terdakwa. Jika terbukti bersalah, terdakwa akan diberi hukuman, sedangkan jika sebaliknya akan dibebaskan.

Kembali ke pertanyaan di atas, lalu apakah surat dakwaan yang sudah sampai ke pengadilan dapat diubah? Menurut Andi Hamzah (2008) dalam bukunya, Hukum Acara Pidana Indonesia, surat dakwaan dapat diubah, baik atas inisiatif penuntut umum maupun saran hakim. Tapi perubahan itu harus berdasarkan syarat yang ditentukan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pengaturan mengenai perubahan surat dakwaan terdapat dalam Pasal 144 KUHAP:

1. penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya;
2. pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai;
3. dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan, ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.

Dengan demikian, jika batas waktunya adalah tujuh hari sebelum sidang, JPU masih bisa melakukan perubahan atas dakwaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 144 ayat 1 dan 2 KUHAP. Untuk itu, Ignatia harus memantau secara aktif proses penyidikan hingga pemberkasan di kejaksaan sehingga terhindar dari keterlambatan untuk mendorong UU TPKS dimasukkan dalam surat dakwaan.

Sekian dulu Ignatia uraian penjelasan dari saya. Semoga dapat memberikan penguatan kepada kamu dalam menjalankan tugas mulia paralegal dalam memberikan pendampingan hukum kepada penyintas TPKS. Semoga juga kamu berhasil mendorong aparat penegak hukum (penyidik dan JPU) agar dapat menerapkan UU TPKS. Dengan demikian, dapat membuka mata dan hati pemerintah untuk mempercepat pembuatan peraturan pelaksana UU TPKS ini karena sifatnya darurat.

Salam keadilan bagi penyintas TPKS.

Rr Sri Agustini
Advokat LBH APIK Jakarta

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 28 Maret 2024

  • 27 Maret 2024

  • 26 Maret 2024

  • 25 Maret 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan