Yonvitner
Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB
Benarkah kita kekurangan garam? Pendekatan pertumbuhan melalui permintaan (growth by demand) sudah membunuh kemandirian petambak garam dalam mendorong kemandirian dan industrialisasi garam nasional. Negara maritim Indonesia harus bergerak ke konsep pembangunan pertumbuhan melalui pasokan (growth by supply) dengan mendorong terciptanya pasar dari produk yang dihasilkan bangsa sendiri. Rencana impor 3 juta ton garam pada tahun ini merupakan bentuk dari ketidakpahaman pemerintah terhadap kekuatan ekonomi bangsa dan kebutuhan masa depan untuk rakyat.
Leher Botol
Sebegitu tidak mampukah kita dalam menyiapkan garam untuk kebutuhan masyarakat dan industri kita? Dalam setahun terakhir, impor garam seolah-olah menjadi suatu kewajiban dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang pengendalian impor komoditas perikanan dan pergaraman. Seharusnya impor garam memperhatikan kondisi petambak, baik produksi garam yang dihasilkan maupun psikologi petambak akibat fluktuasi harga. Peraturan itu menyiratkan bahwa impor dapat dilakukan tanpa persetujuan menteri teknis, sehingga prosesnya menjadi absurd dan tidak elok. Ketiadaan kementerian teknis dalam aturan ini adalah sebuah eksekusi kebijakan yang janggal.
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi penyempitan jalur (bottleneck) kebijakan impor garam, yaitu pasokan, permintaan, dan data kuota. Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai kementerian teknis yang dimandatkan mengelola pasokan seharusnya turut menjadi penentu impor jika terjadi permintaan yang tinggi dalam hal garam industri. Secara teknis pengetahuan tentang wilayah produksi garam, kualitas garam, gudang, serta produktivitas dan sediaan garam nasional lebih banyak diurus lembaga ini. Jika terjadi proses transisi desain pengumpulan data dalam satu data perikanan kelautan, bukan berarti data produksi tidak tersedia. Kehadiran peraturan tadi seakan "memukul air di dulang" bagi pemerintah. Di satu sisi, pemerintah mendorong tumbuhnya ekonomi kerakyatan di bidang perikanan dan kelautan, tapi di sisi lain dihadang dengan produk impor.
Dari sisi permintaan dalam negeri, garam bukanlah barang yang memiliki risiko kerusakan tinggi. Jika ada peningkatan permintaan pasar dalam negeri dari industri, hal itu seharusnya dapat diketahui jauh-jauh hari untuk menghindari impor. Sejalan dengan itu, petambak dapat disiapkan untuk berproduksi untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan tersebut dengan memperkuat stok gudang garam. Saya melihat, secara umum, kebutuhan garam industri ataupun rumah tangga, baik volume maupun nilai, dapat dipetakan dengan baik, terutama dengan berkembangnya industri teknologi 4.0 saat ini.
Sisi pasokan dan permintaan dari industri garam dan industri pemanfaat produk garam adalah dua sisi yang terkontrol. Jadi, tidak tepat kalau kemudian impor dianggap sebagai kebijakan yang berpihak pada ekonomi kelautan, apalagi terhadap petambak dan usaha kecil perikanan kelautan.
Hal yang patut pula dicermati adalah nilai kuota impor yang ditetapkan. Betulkah data 3 juta ton garam per tahun untuk kebutuhan industri? Industri mana saja yang membutuhkan? Berapa jumlahnya dan garam kualitas natrium seperti apa yang diperlukan? Seharusnya volume kebutuhan pasar (rumah tangga dan industri) juga dapat dipetakan dengan baik.
Jalan Keluar
Setidaknya ada tiga langkah penting dalam menyelesaikan sengkarut impor garam yang terjadi saat ini. Pertama, menyusun neraca garam nasional, baik pasokan maupun permintaan, sebagai bagian dari tata kelola yang baik dan benar. Impor garam bukan kali ini saja terjadi. Sejak beberapa tahun lalu semestinya neraca sudah didesain dengan baik, termasuk jenis-jenis industri dan jenis garam yang dibutuhkan. Dalam beberapa tahun terakhir, tidak terlihat pertumbuhan industri pengguna garam yang kemudian menyebabkan distorsi besar dalam pasokan. Sifat garam sebagai komoditas kelautan yang memiliki masa awet yang panjang menjadi salah satu poin bahwa stok produksi dapat dimanfaatkan. Kementerian Perdagangan harus lebih menyadari soal permintaan garam ini untuk kemudian disandingkan dengan pasokan yang disiapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kedua, perlunya segera merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018. Kedudukan peraturan yang melindungi impor kurang tepat, apalagi tidak berdasarkan pertimbangan yang komprehensif. Jika diperlukan kebijakan impor, cukup dengan peraturan menteri terkait yang saling menguatkan. Kebijakan impor yang dilindungi peraturan pemerintah menyiratkan bahwa kedudukan importir lebih penting daripada kedudukan petambak yang memasok garam. Ada porsi yang tidak berimbang dalam hal ini ketika kita menggaungkan ekonomi pro-rakyat dan ekonomi pro-pertumbuhan tapi malah permintaan kita diisi barang impor. Sudah saatnya pemerintah menunjukkan bahwa ekonomi yang berbasis kerakyatan dan mampu dihasilkan masyarakat serta menjadi tulang punggung ekonomi diberi prioritas.
Ketiga, akselerasi pembangunan industri usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk tambak garam. Jika ada variasi kebutuhan industri terhadap kandungan natrium yang diperlukan, pada level masyarakat perlu disiapkan skema industri garam rakyat. Kalau dilihat panjangnya sejarah industri pengolahan garam rakyat kita, sudah semestinya kita menyiapkan industri garam yang benar-benar dikelola rakyat.
Melalui tiga langkah ini, harmonisasi kelembagaan teknis, baik yang memasok, memasarkan, maupun melakukan impor, akan terlihat. Jika semua skenario itu dibangun dengan niat mendorong untuk menumbuhkan ekonomi kerakyatan di sektor kelautan dan perikanan, semestinya kita memang tidak perlu impor. Selain adanya tenaga kerja petambak, ada tenaga kerja pengelola gudang dan tenaga kerja industri UMKM garam di setiap sentra produksi garam. Menghentikan impor dan memperbaiki kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan serta mengendalikan langkah kementerian yang merekomendasikan impor dan perdagangan akan berdampak positif pada pertumbuhan sektor kelautan kita. Ini karena sesungguhnya industri garam akan turut menumbuhkan lapangan kerja bagi rakyat kita dari sektor kelautan.
Penyelesaian sengkarut impor garam merupakan bagian dari upaya memperkuat sektor kelautan dan perikanan sebagai masa depan ekonomi bangsa. Semoga Presiden mampu menyiapkan desain pembangunan kelautan yang lebih berpihak pada petambak garam dan ekonomi lokal dengan tetap mengedepankan gerakan ekonomi rakyat sebagai pilar ekonomi bangsa.