Muhamad Ilham
Mahasiswa Magister Kebijakan Publik UI
Belakangan ini masalah timpangnya vonis putusan dalam perkara yang serupa di pengadilan muncul kembali di masyarakat. Contoh paling aktual adalah vonis hakim dalam putusan kasus korupsi bekas Sekretaris Mahkamah Agung yang dinilai relatif ringan dengan pertimbangan atas dasar jasanya terhadap Mahkamah. Apakah jasa baiknya itu yang meringankan ataukah justru posisinya sebagai penyelenggara negara di bidang penegakan hukum yang seharusnya menjadi sisi pemberat?
Negara hukum Indonesia telah mengakui bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dan mandiri serta lepas dari intervensi apa pun. Namun menyederhanakan putusan hakim menjadi semata-mata murni independensi hakim tanpa ada upaya memperbaikinya juga tidak bijak. Ini sama kelirunya dengan menilainya melulu kepada pelanggaran etika hakim—sebuah respons yang tidak pada tempatnya dan tidak sebaiknya keluar, bahkan dari Komisi Yudisial.
Bagaimanapun, putusan hakim bukanlah obyek yang tidak bisa dipelajari atau diberikan solusi. Benarlah yang dikatakan Peter Drucker bahwa "jika tidak bisa diukur maka tidak bisa juga dikembangkan".
Berdasarkan wawancara dan observasi kepada para hakim, dapat diketahui bahwa pangkal permasalahan ada pada basis falsafah sebuah penjatuhan putusan atau pemidanaan. Sejauh ini tidak ada pedoman pemidanaan yang jelas bagi para hakim, terutama dalam pengukuran kadar derajat kesalahan mereka. Dunia peradilan Indonesia, baik intuisi maupun pedoman dalam menentukan kadar kesalahan, masih bias. Banyak pihak berbicara soal jumlah kerugian negara dalam suatu kasus pidana, tapi tidak berbicara mengenai seberapa tinggi kadar kesalahannya. Artinya, perbedaan falsafah dalam memahami apa itu kesalahan belumlah selesai atau setidaknya belum ada upaya serius untuk mendekatkan pada solusi. Tanpa memahami kesalahan secara benar, bisa dipastikan bahwa hakim akan kabur dalam menjatuhkan vonis.
Para sarjana luar sudah mulai masuk ke dalam pengukuran bagaimana kualitas sebuah putusan hakim sekaligus bagaimana cara mengukurnya sebagai bagian dari meningkatkan mutu dan meminimalkan kesenjangan. Setidaknya upaya ini diprakarsai oleh Matyas Beneze dalam How to Measure the Quality of Judicial Reasoning (2018). Masalah klasik tentang disparitas putusan, misalnya, bukannya tanpa solusi. Beberapa upaya telah mulai diajukan oleh banyak pihak untuk mengatasinya, seperti panduan pemutusan perkara (sentencing guideline) maupun jurimetrics.
Panduan pemutusan perkara lebih banyak berkembang di negara dengan sistem Anglo Saxon. Mereka memberikan pedoman tertentu pada perkara dengan variabel-variabel sejenis dan berdekatan, seperti pelaku, kerugian yang ditimbulkan, dampak pada publik/korban, dan nilai perkara. Hal itu kemudian disistematiskan dan pada akhirnya mempermudah peradilan dan para hakim dalam menentukan vonis.
Adapun jurimetrics merupakan sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Lee Loevinger pada 1949. Konsep ini berusaha menerapkan metode kuantitatif dalam praktik penerapan ilmu hukum, termasuk dalam perkara di peradilan. Pendekatan kuantitatif dan statistik diyakini mampu membantu nilai obyektivitas dalam memutuskan sebuah perkara dengan cara kalkulasi, walaupun metode ini juga diakui untuk tidak dijadikan rujukan utama.
Apa pun pilihan yang akan diambil, usaha serius tetap layak dilakukan dalam menekan disparitas putusan hakim. Sebuah tindakan dan kebijakan yang berarti juga perlu diambil oleh lembaga resmi, baik Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial, untuk mengatasi masalah ini. Menyerahkan urusan putusan pengadilan hanya kepada subyektivitas masing-masing hakim dengan alasan independensi sama sekali bukan pilihan yang bijak. Lakukanlah riset mendalam secara empiris, ambillah pilihan dari beberapa opsi dan preseden yang tersedia, uji cobalah melalui pilot project, dan akhirnya formulasikan dalam sebuah peraturan Mahkamah Agung, yang juga harus sesuai dengan undang-undang.