Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), dan penulis buku Ironi Negeri Beras
Operasi pasar beras telah bermetamorfosis. Semula, terutama sejak Bulog berdiri, operasi pasar merupakan manivestasi kehadiran negara atas kegagalan pasar. Ketika harga melonjak tinggi, lewat Bulog, pemerintah mengguyur pasar dengan beras cadangan pemerintah. Intervensi itu bertujuan untuk memastikan daya beli masyarakat, terutama yang miskin, tetap terjaga. Sebaliknya, kala harga jatuh, juga lewat Bulog, pemerintah membeli beras petani secara besar-besaran untuk stok. Pembelian dihentikan ketika harga kembali normal atau sesuai dengan target. Ini agar petani tidak merugi.
Seiring dengan perjalanan waktu, operasi pasar beras mengalami pergeseran fungsi. Bagi Bulog, kini operasi pasar telah menjadi instrumen penting untuk outlet penyaluran beras, bukan lagi instrumen stabilisasi harga semata. Hal itu terlihat dari dominannya penyaluran beras Bulog lewat operasi pasar, setidaknya dalam tiga tahun terakhir, yakni 544 ribu ton pada 2018, 617 ribu ton pada 2019, dan 1.027 ribu ton pada 2020. Sementara itu, rata-rata operasi pasar per tahun pada periode 2014-2017 hanya 147 ribu ton beras. Ditilik dari porsinya, pangsa operasi pasar dalam total penyaluran juga semakin besar: 26,7 persen pada 2018, 45 persen pada 2019, dan 44,6 persen pada 2020.
Mengapa volume operasi pasar beras kian besar? Pertama, operasi pasar digelar sepanjang tahun. Sejak 2018, operasi pasar digelar di semua provinsi dan dilaksanakan sepanjang tahun tanpa jeda, termasuk pada saat musim panen raya. Kedua, operasi pasar kini menjadi outlet utama penyaluran Bulog. Hal itu terjadi seiring dengan menciutnya outlet penyaluran lewat bantuan pangan nontunai (BPNT) ataupun Program Sembako (saat ini): 1.207 ribu ton (2018), 351 ribu ton (2019), dan habis pada 2020. Padahal, ketika outlet masih bernama Beras Sejahtera, penyaluran pada 2014-2017 rata-rata 2,825 juta ton per tahun.
Ketika operasi pasar dilakukan secara masif, tanpa jeda, dan jadi andalan outlet penyaluran Bulog, apakah hal itu efektif? Operasi pasar tanpa jeda, apalagi pada musim panen raya, sejatinya telah melanggar prinsip dasar logistik. Operasi pasar seharusnya dihentikan saat musim panen raya. Kalau operasi pasar tetap dilakukan, ia bakal membuat salah urus di lapangan. Operasi pasar dilakukan agar harga turun atau setidaknya stabil. Harga gabah atau beras saat panen raya biasanya turun. Operasi pasar saat panen raya berpeluang membuat harga gabah yang turun jatuh lebih dalam dan bahkan di bawah harga pokok produksi seperti saat ini.
Selain itu, efektivitas operasi pasar beras menjadi rendah. Sejarah perberasan selama puluhan tahun di negeri ini mengajarkan satu hal penting: operasi pasar beras adalah instrumen jangka pendek. Tujuannya untuk mempengaruhi harga. Tapi efektivitas dalam mempengaruhi harga beras tergantung banyak hal: stok pedagang, stok pemerintah, volume, serta jenis dan harga beras yang digerojok ke pasar serta psikologi publik. Dengan satu jenis beras, yakni jenis medium, mustahil operasi pasar bisa meredam harga seluruh jenis beras di pasar. Apalagi bila beras operasi pasar Bulog berasal dari stok lama atau beras impor yang pera atau tidak pulen. Di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, ada 17-an jenis beras dan di kota-kota lain terdapat 5-7 jenis beras.
Operasi pasar kini tak lebih dari pemadam kebakaran. Apinya bisa saja mati, tapi sumber api tidak tersentuh. Di zaman Soeharto, operasi pasar menuai kritik. Maka, sejak 1998, operasi pasar ditanggalkan lalu diganti pendekatan subsidi terarah melalui beras untuk rakyat miskin (raskin), yang kemudian diubah menjadi Program Sembako. Tapi, sejak era SBY dan Jokowi, aturan operasi pasar dipakai lagi sebagai instrumen stabilisasi harga. Pemerintah sepertinya lupa bahwa operasi pasar beras tidak adil karena, bukan cuma rakyat miskin, kelompok kaya dan pedagang/pengecer juga bisa menikmatinya. Sebagai pemain, keterlibatan kelompok terakhir ini membuat operasi pasar menjadi tak efektif.
Operasi pasar beras akan efektif kalau volume beras yang digerojok ke pasar tidak terbatas jumlahnya dan siapa pun boleh membelinya, baik konsumen, pedagang, maupun pengecer. Apa tidak akan terjadi moral hazard? Jika pasar diisi sampai jenuh, kecil peluang praktik penyalahgunaan. Tapi cara ini memerlukan biaya besar karena butuh stok beras yang besar pula. Dan, yang lebih penting, cara ini tidak adil karena tidak jelas pemerintah mau membantu kelompok mana: kelompok miskin, kaya, atau kedua-duanya?
Kalau pemerintah konsisten, semestinya bukan operasi pasar beras yang digalakkan, melainkan memperbesar volume subsidi atau bantuan pangan. Ketika ada subsidi/bantuan pangan dalam bentuk Program Sembako, seharusnya tidak ada lagi operasi pasar beras. Saat keduanya tetap diberlakukan, terjadi standar ganda: subsidi umum dan subsidi terarah. Selain tak adil bagi warga miskin, langkah standar ganda semacam ini dipastikan bakal menguras anggaran. Belum terlambat bagi pemerintah untuk mendesain ulang operasi pasar dan bantuan pangan. Rekonstruksi dan desain ulang menjadi penting terutama untuk keperluan jangka pendek: menjaga daya beli warga yang terkena dampak Covid-19.