Paul Sutaryono
Staf Ahli Pusat Studi BUMN dan Mantan Assistant Vice President BNI
Pada 18 Februari lalu, Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate, dari 3,75 persen menjadi 3,50 persen, untuk mendorong pemulihan ekonomi. Sejauh mana "kesaktian" suku bunga acuan mampu mendorong suku bunga kredit?
Sebelumnya, suku bunga acuan lama bertengger di angka 6 persen sejak 15 November 2018 hingga 20 Juni 2019, lalu turun terus hingga 3,5 persen. Hal itu bertujuan untuk menurunkan suku bunga deposito yang kemudian menyetrum penurunan suku bunga kredit.
Bagaimana kesaktian suku bunga acuan sehingga mampu menurunkan suku bunga kredit yang lantas mendorong permintaan kredit? Apa saja faktor kunci keberhasilan yang harus dipenuhi? Bagaimana penipisan suku bunga kredit?
Statistik Perbankan Indonesia menunjukkan, suku bunga rata-rata kredit telah menipis. Suku bunga rata-rata kredit investasi menipis 106 basis point (bps) dari 10,02 persen per November 2019 menjadi 8,96 persen per November 2020. Hal itu disusul suku bunga rata-rata kredit modal kerja yang menipis 92 bps, dari 10,24 persen menjadi 9,32 persen, dan kredit konsumsi yang hanya menipis 49 bps, dari 11,49 persen menjadi 11 persen.
Namun, ternyata, suku bunga acuan belum mampu mendorong kenaikan permintaan kredit. Kredit justru mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) 1,92 persen, dari Rp 5.303,95 triliun per November 2019 menjadi Rp 5.201,89 triliun per November 2020. Dana pihak ketiga naik 11,38 persen, dari Rp 5.672,71 triliun menjadi Rp 6.318,54 triliun, tapi turun dibanding pada bulan sebelumnya yang sebesar 12,04 persen.
Sekalipun bank masih mampu meraih laba sebelum pajak, tapi angkanya turun 28,73 persen, dari Rp 193,73 triliun menjadi Rp 138,08 triliun. Hal ini menurunkan imbal hasil total aset alias return on assets (ROA), dari 2,47 persen menjadi 1,64 persen. Angka ini masih di atas ambang batas 1,5 persen.
Itulah sekilas pandang kinerja bank umum hingga November 2020. Tapi stimulus bukan hanya itu. BI telah menurunkan loan-to-value (LTV) menjadi 100 persen untuk kredit properti (rumah tapak, rumah susun, rumah toko, dan rumah kantor). Hal itu hanya berlaku selama sembilan bulan sejak 1 Maret hingga Desember 2021. Artinya, uang muka kredit properti nol persen.
Apakah stimulus itu mampu mengerek kredit properti? Itulah pertanyaan besarnya. Uang muka nol persen itu berarti angsuran bulanan akan lebih tinggi, yang dapat memberatkan nasabah. Nasabah justru harus menaikkan uang muka setinggi mungkin supaya angsuran bulanan semakin rendah.
Masalahnya, saat ini daya beli masyarakat menengah-bawah anjlok karena pandemi Covid-19. Bahkan, ada banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Apalagi kondisi masyarakat berpenghasilan rendah.
Harap diingat, penurunan suku bunga acuan, yang akhirnya menurunkan suku bunga kredit dan penurunan uang muka, merupakan sisi penawaran (supply side). Sebaliknya, kenaikan kredit yang diharapkan merupakan sisi permintaan (demand side). Jadi, kenaikan sisi penawaran tidak otomatis meningkatkan sisi permintaan jika penawaran itu tidak "nendang".
Sesungguhnya, LTV 100 persen pernah diluncurkan bank sentral ketika kredit properti menukik ke bawah. Sebaliknya, LTV dapat kembali turun ketika kredit properti melejit, sehingga dicemaskan menjadi gelembung keuangan (financial bubble).
Karena itu, sisi penawaran harus lebih cantik, bukan biasa saja. Katakanlah, selama setahun ini harga jual properti dijamin tidak mengalami kenaikan. Hampir semua nasabah mengetahui bahwa sering terdengar kabar "hari Senin harga rumah akan naik".
Apakah otoritas seperti BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mampu melakukannya? Mungkin tidak. Asosiasi perumahan dapat menjadi corong para pengembang untuk menjamin bahwa harga rumah tak akan naik hingga akhir 2021.
Hal yang menjadi masalah nasabah bukan hanya uang muka, tapi juga angsuran bulanan dan biaya kredit properti. Untuk itu, perlu insentif fiskal berupa pemangkasan pajak. Sebut saja bea pemilikan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) perlu diturunkan dari 5 persen menjadi 1 persen. Biaya pemesanan dan biaya kredit pun wajib dipangkas serendah mungkin.
Kini telah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang efektif berlaku pada 20 Mei 2020 sebagai petunjuk pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera. Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Nah, Tapera dapat menjadi ujung tombak dalam menyediakan rumah layak bagi pekerja formal dan informal ini.