Dhenny Yuartha Junifta
Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef
Pandemi Covid-19 yang memukul jatuh ekonomi dunia memunculkan ketidakpastian yang tidak kunjung usai. Mengacu pada indeks ketidakpastian dunia oleh Dana Moneter Internasional (IMF), pandemi ini merupakan yang paling tidak pasti dibanding krisis apa pun sejak 1990. Ketidakpastian tersebut kemudian menghadirkan kerentanan. Jika negara tidak mampu mengelola ketidakpastian, kerentanan jangka panjang menjadi risiko yang tidak bisa dihindari. Karena itu, fondasi keberlanjutan ekonomi yang kokoh mesti disusun.
Perkara lingkungan bagi ekonomi bukan perkara remeh. Pemanasan global yang terjadi nyatanya telah mengurangi waktu kerja efektif pekerja ruang terbuka, yang pada gilirannya berdampak pada penurunan output sektor ekonomi. McKinsey Global Institute mengkalkulasi pengaruh ini terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) global dan angkanya mencapai 2-3,5 persen pada 2050.
Di satu sisi, krisis sebenarnya menjadi momentum bagi setiap negara untuk menata kembali bangunan ekonomi yang kokoh. Bangunan ekonomi itu tentunya lebih hijau dan berkelanjutan. Berkaca pada krisis finansial 2008, banyak negara mengalokasikan anggaran besar untuk isu ini. Bahkan, untuk negara seperti Cina, yang selama ini dikenal sebagai konsumen energi “kotor” dunia sekalipun, anggaran yang digelontorkan untuk isu lingkungan saat itu bahkan mencapai US$ 221 miliar. Demikian juga dengan Korea Selatan dengan green new deal dan Amerika Serikat dengan The New American Recovery and Reinvestment Plan (ARRA).
Bagi Indonesia, momentum tersebut juga hadir saat pandemi Covid-19 melanda pada 2020. Namun catatan merah terhadap dukungan lingkungan justru mewarnai agenda pemulihan pandemi. Vivideconomics (2020) dalam rilisnya bahkan menempatkan alokasi stimulus hijau Indonesia sebagai yang terburuk kedua. Selain memfasilitasi sektor yang tidak berkelanjutan, pengesahan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara yang baru menjadi pertimbangannya. Yang terbaru, deregulasi lingkungan dalam Undang-Undang Cipta Kerja juga semakin memukul mundur kemajuan pembangunan ekonomi hijau.
Isu ekonomi hijau tentu akan semakin menguat, terlebih di tahun pemulihan pada 2021. Adapun prospek tahun depan setidaknya dipengaruhi oleh tiga hal: kebijakan pemerintah, ketersediaan alternatif energi bersih yang lebih murah, dan dukungan akses terhadap sumber modal. Dari tataran internasional, kemenangan Joe Biden dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat akan meningkatkan euforia terhadap isu ekonomi hijau. Janji alokasi pendanaan Amerika hingga mencapai US$ 2 triliun bagi komitmen net-zero emission tentu akan banyak mempengaruhi wajah kebijakan ekonomi di banyak negara. Selain itu, komitmen pengurangan emisi di negara-negara Eropa sedikit-banyak akan berpengaruh terhadap dukungan akses modal. Hingga 2020, ada lebih dari 11 negara di Eropa yang berencana menghilangkan batu bara dari bauran energi sampai 2030. Institusi keuangan di Eropa, Amerika, dan Australia bahkan telah berkomitmen untuk tidak berinvestasi pada pembangunan pembangkit listrik tenaga uap berbasis batu bara.
Meski demikian, pada tataran domestik, isu ekonomi hijau pada tahun depan sepertinya masih akan menghadapi tantangan yang besar dalam implementasinya. Dukungan akses finansial domestik dalam mewujudkan pelaksanaan ekonomi hijau masih rendah. Pendanaan pembangunan rendah karbon (PRK), misalnya. Saya turut memetakan alokasi belanja kementerian pada periode 2018-2020. Hasilnya, anggaran inti (belanja langsung) untuk PRK pada 2018 hanya mencapai Rp 18,6 triliun dan Rp 18,9 triliun pada 2019 atau berkisar hanya 2 persen terhadap belanja kementerian atau lembaga. Alokasi tersebut bahkan berkurang signifikan menjadi Rp 13,7 triliun pada 2020.
Tantangan berikutnya berasal dari pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi pembangkit listrik yang masih mendominasi hingga 64,7 persen pada 2021 berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2018-2027. Sentimen pemulihan ekonomi Cina juga turut mengangkat permintaan dan harga batu bara dunia. Meski demikian, harapan muncul karena banyak investor dan bank asing yang mulai menarik diri dari menanamkan dananya untuk sektor ekstraktif yang tidak ramah lingkungan.
Pandemi Covid-19 tentu tak boleh dijadikan alasan untuk mengendurkan komitmen pemerintah terhadap pembangunan ekonomi hijau. Justru sebaliknya, pandemi dapat menjadi momentum me-reset ulang warna ekonomi Indonesia agar lebih hijau.